Tetapi tentang kebahagiaan, mungkinkah hanya terasa ketika kita melihat orang lain saja yang terkesan bahagia? Mungkinkah mereka benar-benar bahagia dalam mereka menjalani hidupnya?
Anugrah dari kemalangan ini memang akan aku lukiskan pada perasaan yang tentu sangat membosankan untuk ditulis. Sastra sebagai bagian dari curhatan yang tidak dapat dikesampingkan kasiatnya, bagai jamu-jamu kehidupan yang perlu dilakukan olehku malam ini melepas kegundahan hati.
Saat aku gelengkan kepalaku, anugrah kemalangan adalah anugrah bagi diri yang mempertanyakan semestanya. Lalu akupun seperti terbuai pada obyek diriku bersama persepsi kemalangan hidup, yang dimana pencarian pada bentuk-bentuk rasa bahagia sepertinya akan semakin jauh dirasa ketika kita mengharapkan kebahagiaan itu untuk datang.
Kini, disaat ini, malam-malam kita memang seperti bersembunyi dibalik jutaan bintang yang terbujur kaku ditengah langit. Tentang anugrah apapun harus disadari, secarik bahagia, kemalangan, dan kekalutan yang terbungkus rapi pemikiran manusia. Layaknya seorang yang tersesat dalam pencarian, ia akan menemukan gurun dengan air yang melegakan tenggorokan dikala anugrah dari semseta itu datang pada waktunya.
Dan tentang sebuah anugrah kemalangan itu adalah cara bagaimana semseta menunjukan bawasannya apapuan termasuk kemalangan akan ada jeda dan lawan dari sebuah kemalangan adalah kebahagiaan diri menuju yang tentram, nyaman, dan perasaan lega.
Rasanya akupun ingin terus menulis untuk melepaskan seperti aku melepas kemalanganku pada setiap harpan-harapanku yang tak mungkin orang lain dapat menjawabnya kecuali diriku sendiri.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H