Saat diri mengkurur diri-diri lain, dan kita tidak bisa merasakan hal yang sama. Sakit hatimu adalah penderitaanmu yang tidak disadari.
Menjadi apa dirimu saat ini, puas atau tidak dirimu pada kehidupanmu, dirimu adalah liang lahat yang kau ciptakan sendiri sama seperti aku yang menciptakan hidupku kini.
Hapuslah dan teruslah lupakan renunganmu. Syair-syairmu bagai asam garam rasamu sendiri yang telah nista, mengapung bagai kumbul pancing yang terkoyak dihatam ombak dari angin yang datang.
Untuk itu, tumbuhlah dirimu bersama bintang-bintang malam yang mulai tertutup mendung. Aku sendiri seperti angan yang tidak pernah akan sampai pada waktunya.
Bencilah pada hidup jika kau ingin membenci, bidadari-bidadari itu bagikan rayuan maut yang tidak akan ada gunanya dalam pikiramu.
Sungguh akulah yang frustasi itu, mengahrapkan sesuatu yang sudah hilang, mungkinkah aku harus mengemis pada nyamuk-nyamuk liar malam, yang terus menggerogoti darah dan membuat kulitku kian panas disetuhnya?
Kembali, aku memang selalu ingat wajah cantiknya yang ingin aku jadikan dia menjadi tempat dimana dirinya ingin aku peluk sepanjang waktu.
Namun akulah yang terkadang hilang dari diriku, yang terbuai pada nistanya harapan yang terkadang jauh dari keinginan hari-hari pada kenyataanku.
Biarlah ini menjadi segumpal cerita pada orang-orang yang mungkin tidak dapat lagi diharapkan nasibnya.
Aku sendiri tidak dapat menjamin nasib hidupku akan cukup, lebih, atau kurang pada kenyataan hidupku. Bias-bias diri tenggelamlah engkau dalam lamunan yang terkadang rancu berubah menjadi sang aku.
Kini dirimu hanya ditantang menjadi jinak dalam arti sebenarnya, tulisan ini hanyalah terapi pada ketidakmampuan menjawab angan-anganku sendiri.