Tetapi semua kembali pada ego benarnya sediri antara ketersinggungan dan saling tidak mau direndahkan masing-masingnya. Namun jika tidak mau merendahkan sebagai manusia tetap jangan ikut merendahkan orang lain.
Kasus perseteruan Rizieq Shihab dan Nikita Mirzani dan pendukungnya masing-masing. Dalam perspektif kaca mata saya sebagai seorang yang mengikuti berbagai drama yang ada.
Public belajar banyak akan hal ini, dimana peran media social begitu dominan. Sebab ada suatu rongga besar politik yang ditelanjangi, bahkan dari dasarnya yakni kebudayaan manusia atas manusia dalam hal kepemimpinan dan kemuliaan.
Nikita Mirzani yang dinilai sebagai manusia hina sedangkan Rizieq Shihab sebagai manusia tinggi. Namun setiap manusia pada dasarnya mempunyai martabat yang sama, tidak ada beda dimata dirinya sendiri yang tetap saja semua mempersepsikan dirinya yang tidak sempurna.
Apakah orang lain adalah wujud dari ketersempurnaan bagi manusia? Anggapan senyatanya memang meninggikan melalui lebel yang manusia gunakan, habib yang dinilai kemuliaannya tinggi, lonte yang dinilai rendah.
Mungkinkah itu adalah pandangan social kita yang sudah ditentukan dari kebudayaan? Tetapi yang jelas semua bergantung pada sisi perspektif pribadi itu sendiri masing-masing.
Pada dasarnya siapa yang menelanjangi suatu kebenaran, dialah yang tetap akan disanjung banyak orang.
"Sebab setiap orang punya sisi benar yang tidak dapat disadari oleh segelintir orang lain. Kebenaran sendiri adalah sisi rasa yang tidak bisa diatawar oleh manusia".
Apakah Indonesia belajar banyak dari kasus Nikita Mirzani dan Rizieq shihab? Kenyataanya Indonesia memang harus belajar dari kasus ini.
Tidak lain adalah diantara kehinaan sosial dan kemuliaan sosial menurut persepsi banyak orang diruang media social, mudahnya akses informasi, dan pengaruh kebudayaan baru.
Kasus Nikita Mirzani dan Rizieq Shihab juga menampar keras dunia politik khususnya presiden indonesai ke depan.