Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Resesi, Pupuk Mahal, dan Masalah Kartu Tani

25 Oktober 2020   09:57 Diperbarui: 26 Oktober 2020   13:54 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: paktanidigital.com

Dijaman yang serba sulit ini dengan resminya Indonesia masuk zona "resesi" ekonomi seperti yang disampaikan oleh Sri Mulyani Mentri Keuangan.

Bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 yang diperkirakan minus 2,9 persen - minus 1,0 persen, jelas dampaknya akan sangat luar biasa bagi masyarakat Indonesia.

Untuk itu saat ini semua lapisan masyarakat terdampak bagiamana terpuruknya ekonomi termasuk  para petani.

Usia omnibus law UU Cipta Kerja di sahkan yang menggalaukan buruh, petani juga saat ini menjerit dengan harga pupuk yang mahal naik hampir 250% tingkat eceran di kabupaten Cilacap.

Di pingiran Kabupaten Cilacap tempat saya tinggal saat ini memang sedang memasuki masa tanam. Dimana kebutuhan pupuk belum begitu butuh dalam jumlah pasokan besar.

Tetapi saat bapak saya yang kebetulan membeli pupuk "urea" Sabtu, (24/10) untuk kebutuhan benih padi, 5 Kg pupuk seharga Rp. 35.000.

Tentu dengan harga 5 Kg Rp. 35.000, yang sebelumnya 50 Kg saja Rp. 100.000, berarti saat ini 50 Kg pupuk seharga 350.000 Kg.

Mendengar harga pupuk naik, saya memang sebelumnya sudah mendengar disampaiakan oleh bapak saya yang berprofesi sebagai petani umumnya masyarakat desa.

Pengecer pupuk atau distributor pupuk yang ada di desa saya menyampikan kepada bapak saya bahwa tidak ada lagi subsidi nanti dari pemerintah.

Jika mau subsidi harus membuat kartu tani, itulah yang disampaikan bapak saya ke saya. Karena meminta saya untuk membuatkan kartu tani atas himbauan dari distributor pupuk, bapak saya kuwatir pupuk akan harganya mahal.

Bukan apa bapak saya sendiri adalah petani penggarap yang sama sekali tidak punya kepemilikan lahan sawah. Tetapi dapat menggarap sawah dengan cara kontrak lahan maupun gade lahan sawah.

Oleh karena praktis bapak saya klimpungan bukan main. Harga sewa tanah sudah mahal, ditambah pupuk mahal, harga gabah dipasaran murah.

Jadi bukankah jika seperti itu kebanyakan petani akan merugi jika harga pupuk dipasaran mahal tidak mendapat solusi dari pemerintah?

Dalam hal ini ditengah-pengah pandemic covid-19 dan resesi ekonomi, petani juga butuh subsidi pupuk untuk ketahanan pangan nasional supaya nantinya harga beras "pangan" juga dapat setabil?

Pemerintah dalam mengatur pupuk bersubsidi memang membuat regulasi para petani harus membuat kartu tani untuk mendapatkan pupuk bersbusidi, apakah katu tani efektif untuk subsidi pupuk?

Kartu Tani Mendiskrimniasi petani penggarap

ilustrasi: paktanidigital.com
ilustrasi: paktanidigital.com
Sebagai petani pinggiran yang tidak mengenyam pendidikan bapak saya memang meminta saya membuatkan kartu tani atas saran dari distributor pupuk.

Beberapa syarat untuk membuat kartu tani yakni dengan menyertakan KK seta KTP petani yang bersangkutan dan SPT tanah.

Rasa keprihatinan saya atas nasib bapak saya nantinya membuat saya harus cepat-cepat membuat kartu tani. Karena bapak saya tidak bergabung dikelompok tani yang sebelumnya sudah dibuatkan kartu tani para anggota kelompok tani.

Tidak punya lahan secara pasti hanya ngontrak sawah membuat bapak saya berpikir kartu tani tidaklah mendesak dibuat. Tetapi kartu tani yang nantinya untuk membeli pupuk subsidi untuk itu sangat penting untuk petani termasuk bapak saya menurunkan biaya produksi tani.

Namun kendala terbesar dari bapak saya memang dengan SPT tanah yang hanya punya sedikit itupun tanah darat bukan sawah. Maka dari itu saya ingin menjelaskan kepada petugas di kantor penyuluhan pertanian untuk menjelaskan status petani bapak saya saat akan membuat kartu tani.

Apakah nantinya tidak ada keringanan jika memang katu tani tersebut harus ada tanda bukti kepemilikan sawah dengan SPT? Karena secara kepemilikan tanah bapak saya tidak punya lahan sawah?

Untuk itu saya mengurus dan mempertanyakan kepada petugas penyuluhan pertanian di salah satu kecamatan di Kabupaten Cilacap, ternyata SPT dimana bapak saya mengontrak tanah tersebut dapat disertakan untuk mengukur seberapa luas garapan bapak saya tidak harus sawah yang ber-SPT milik sendiri.

Tetapi yang mungundang masalah sendiri adalah kartu tani terealisasi tahun depan 2021, sedangkan masa tanam sudah dilakukan oleh banyak petani di desa saya, tidak hanya bapak saya.

Maka dari itu jika pupuk mahal seperti baru-baru ini, bapak saya membeli pupuk untuk pembenihan yang harganya naik 250%. Bukankah dimasa tanam kali ini biaya oprasional petani akan membengkak jika tidak ada solusi kongkrit dari pemerintah untuk masa tanam kali ini mengenai pupuk yang mahal?

Belum dengan masalah kartu tani, dimana nantinya pupuk disesuaikan dengan jumlah lahan yang tersedia di kecamatan. Bukankah jikalau itu sudah diukur dengan kuota lahan sawah atau pertanian yang ada, SPT ganda bapak saya tidak berlaku sebagai petani penggarap lahan bukan milik sendiri?

Sebab di banyak kasus, bapak saya mengontrak tanah pada sama-sama petani lain "pemilik lahan"  juga menyertakan STP yang menjadi sawah miliknya membuat kartu tani. Praktis SPT yang digunakan bapak saya tentu ganda dengan pemilik lahan yang bapak saya sewa, yang juga sama menyertakan SPTnya untuk membuat kartu tani?

Dalam pemaparannya petugas penyuluhan pertanian juga menjelaskan nanti pupuk bersubsidi harus dibeli dengan kartu tani.  Menyesuaikan kuota luas lahan sawah yang ada di kecamatan sebagai jumlah pasokan pupuk bersubsidi dan data luas sawah kepemilikan petani di kartu tani sebagai ukuran membeli pupuk bersubsidi.

Bukankah dengan seperti itu, banyak SPT ganda didalam kartu tani tersebut sebagai indicator luas garapan? Saya kira akan menimbulkan kekacauan, dimana nantinya pupuk bersubsidi tersebut yang disesuaikan kuotanya dapat disalah gunakan oleh oknum sama-sama petani sendiri.

Dapat pula menimbun pupuk karena lahannya luas dan kekehawatiran tidak akan lagi mendapat pupuk subsidi. Belum dengan nantinya kecurangan dari distributor pupuk sendiri jika ada pupuk subsidi dan non subsidi, dapat juga sebagai celah mengambil keuntungan, pupuk subsidi dijual non subsidi.

Kekacauan lainnya, missal karena pasokan subsidi pupuk untuk 3 hektar sawah satu kecamatan, sedangkan jumlah data kepemilikan lahan dalam kartu tani, ada SPT ganda seperti bapak saya yang mengcopy SPT pemilik lahan yang dikontrak. Tentu  akan menimbulkan pembengkakan jumlah lahan, umpamanya menjadi 6 hektar jika ada copy-copy SPT sedangkan pasokan pupuk subsidi 3 Hektar sebagai data luas lahan pertanian yang dipunyai kecamatan.

Jika memang pasokan pupuk subsidi mengukur dari data luas lahan yang ada di kecamatan misalnya 3 hektar. Mungkin saja nantinya yang jumlah lahan di data kartu tani bengkak dan orang membeli pupuk langsung sesuai garapan lahannya, saya kira tetap akan terjadi ketidak berimbangan, yang nantinya sejumlah kuota pupuk subsisdi yang disediakan tidak akan merata karena ketimpangan pembelian sendiri yang dilakukan petani.

Untuk itu saya kira melibatkan petani dan pupuk, pemerintah haruslah lentur saja dan bebas saja tanpa aturan seperti halnya subsidi BBM yang memang menyeluruh. Siapa-siapa yang butuh pupuk ya harus disubsidi tanpa ada aturan mengikat dengan kartu tani dan menyesuaikan lahan-lahan yang ada, dimana jumlah tersebut lahan untuk mengukur subsidi pupuk pemerintah.

Yang jelas pupuk bersubsidi, juga untuk aktivitas pertanian dan ketahanan pangan nasional. Maka dari itu jika tidak dibebaskan subsidi dan banyak aturan yang menyulitkan petani, bukan tidak mungkin petani sendiri yang tergencet, petani tergencet akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional.

Jika memang pupuk mahal, harga pangan tinggi. Bukankah nanti berimbas pada masyarakat luas? Mengapa tidak disubsidi bebas saja tanpa aturan seperti subsidi BBM dulu untuk subsidi pupuk pertanian?

Tetapi pemerintah justru membuat keribetan sendiri, setelah UU cipta kerja menggalaukan buruh, kini petani juga ikut dijepit dan menjerit dengan mahalnya harga pupuk dan regulasi yang tidak memudahkan petani lewat kartu tani untuk membeli pupuk bersubsidi yang saya kira juga tidak akan membuahkan keadilan dan justru akan banyak menimbulkan kecurangan.

Subsidi covid-19 untuk pekerja pemerintah mampu. Untuk masyarakat luas senilai 600 ribu setiap bulan pemerintah juga mampu. Subsidi listirk pemerintah juga mampu, subsidi UMKM pemerintah mampu. Mengapa subsidi pupuk yang lebih vital mempengaruhi harga pangan nasional justru malah dihamabat? Pemerintah adilah pada petani dengan pupuk bersubsidi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun