Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Aristoteles dan Generasi Kini yang Semakin Tidak Bahagia

24 Oktober 2020   16:48 Diperbarui: 24 Oktober 2020   16:55 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak dipungkiri bawasanya kebanyakan apa yang menjadi pikiran manusia kini adalah bagaimana mencukupi hal-hal yang kurang dari dirinya sendiri.

Saya tidak dapat menampik, jika kita adalah seorang pengangguran, kita hendaknya dan sudah sewajarnya berpikir harus mulai bekerja, meskipun secara kebutuahn makan dan minum kita sudah terpenuhi.

Karena pekerjaan sebagai status, tidak mudah dilepaskan begitu saja ketika kebanyakan dan umumnya orang saat ini bekerja. Bahkan karena modifikasi interpretasi, pekerjaan menjadi ukuran dalam menjalin sebuah ikatan pernikahan.

"Banyak ungkapan jika belum mapan tidak mau menikah dulu. Dan saat ini menikah adalah keputusan yang paling sulit dibuat oleh manusia jika memang tidak mentok dengan keadaan".

Memang saya sendiri berpendapat mengapa menikah adalah keputusan yang sulit. Tentu karena banyangan dari ketakutannya sendiri. Tentu tidak takut dengan siapa-siapa tetapi "takut" dengan dirinya sendiri yang tidak percaya diri dalam menjalani sebuah pernikahan.

Oleh karena itu sebagai seorang lajang, mungkin sebagai trasformasi hidup karena banyak dilakukan oleh orang lain yang sudah menikah. Hidup tidak dalam keadaan pernikahan adalah suatu beban pikiran juga.

Karena secara alamiah berhasrat tetapi pikiran tidaklah sampai pada suatu tindakan. Untuk itu "menikah" untuk generasi saat ini dipandang sangat dilematis. Bahkan untuk menikah seharusnya seseorang meniadakan pikirannya, yang penting jalan berani menikah.

Tetapi saat ini manusia selalu menggunakan pikirannya untuk itu sesuatunya dapat menghambat termasuk pernikahan, yang kemungkinan adalah potensi kebahagiaan manusia dengan membangun dan membina keluarga lewat nikah.

Sebab dijelaskan oleh Aristoteles filsuf Yunani, tentang kebahagiaan manusia sebagai tujuan hidup, bawasannya kebahagiaan adalah kebaikan. Bukankah menikah adalah sebuah kebaikan yang nyata?

Di mana tujuan hidup paling puncak adalah kebahagiaan dan ketika dalam keluarga saling mencukupi hidup satu sama lain dengan kebersamaan? Bukankah menikah dapat pula menjadi suatu jalan kebahagiaan bagi manusia?

Kenyataannya kini, generasi saat ini adalah generasi pemikir yang hidup sesuai dengan pertimbangan nalar yang dikehendaki atas dasar apa yang sedang dirasakan orang lain melalui expresi media social dalam segala bidang.

Apapun yang orang lain punya, secara hasrat diri kita sendiri juga ingin mempunyai itu. Sebab majunya media sosial menjadi perkara yang merumitkan hidup manusia adalah kenyataannya saat ini.

"Bagaimana bayangan kita terhadap orang lain adalah pembunuh dari tidak bahagianya generasi kita saat ini yang maju secara media social, memungkinkan berbagai perbandingan nasib yang akan dibanding-bandingan dengan diri manusia dengan manusia lain".

Begitu juga ketika ketika kita merasakan sesuatu yang kita nilai berbeda dengan orang lain. Adalah ganjalan hidup besar yang kenyataanya "kita", lagi-lagi tidak mampu memimpin diri kita sendiri untuk diarahkan. Sebagaimana jargon menjadi diri sendiri yang sebenarnya kita tidak pernah bisa menjadi diri kita sendiri saat ini.

Selalu saja kita berada pada arus permainan media yang zaman tunjukan sebagai suatu exspresi yang membuat hiburan diri. Tetapi membuat diri tertantang bagaimana caranya membuat diri semakin menarik juga tidak hanya terhadap orang lain, juga terhadap diri kita sendiri.

Maka dari lemahnya kepemimpinan diri manusia memimpin dirinya sendiri seperti terdegradasi jauh melampui hidup manusia, di mana ada anggapan yang penting sudah terpenuhi kebutuhan dasar.

Namun seringkali justru kebutuhan dasar manusia yang seharusnya kita syukuri adalah kebutuhan yang paling tidak disyukuri oleh manusia yang hidup saat ini. Karena semua yang kita lihat dari hidup adalah orang lain, bukan apa yang sedang kita rasakan sebagai sebuah nikmat dari hidup seyogyanya manusia yang sudah kenyang perut seharusnya tidak mengeluh.

Bukankah kini kita tidak dapat mensyukuri bagaimana perut ini sudah kenyang, rumah ini sudah bagus, dan kebutuhan sandang kita sudah terpenuhi sebagai manusia?

Ada ruang besar hasrat yang lain ingin kita kejar dan bagikan kepada khalayak umum. Bagaimana diri memang harus mendapat pengakuan social yang ingin kita tentukan seperti apa mimpi kita atau keinginan kita menjadi sebuah kenyataan.

Yang pasti dalam menentukan itu adalah sesuatu yang menjadi kelemahan kita untuk dikedepankan sebagai tujuan hidup. Semisal kita tidak kaya, disitulah kita akan selalu menyalahkan diri mengapa tidak dapat di posisi itu, dapat menjadi kaya juga.

Tentang kemapanan orang lain yang seperti tanpa hambatan ekonomi, mampu menjawab apa yang kita inginkan sebelumnya, seperti posisi strata hidup yang diperhitungkan banyak orang jelas kita inginkan posisi itu.

Salah satunya  seperti menjadi pegawai pemerintah dengan gaji dan jabatan tunjangan yang tinggi. Memungkinkan diri selalu menjadi yang menarik bagi lawan jenis untuk hidup bersama dalam pernikahan. Tentu  karena tawaran dari kemapanan hidup, yang hasrat manusia itu sendiri inginkan tidak terkecuali dan manusiawi saat ini yakni jaminan hidup mapan.

Tidak lain adalah alasan dari tawaran suatu hidup yang pasti dan tercukupi faktor bagaimana kekuarangan diri selalu ditampilkan dalam setiap imajinasi kita. Dimana nantinya menjadi beban kemudian pada sisi psikologis, bawasanya manusia saat ini berlomba dengan kemapanan yang sebenarnya ilusi itu  "kemapanan" tidak dibuat oleh diri kita sendiri. 

Kita sebagai manusia masa kini seperti hilang dalam bab kepemimpinan diri yang dominan akan idealisme pada realitas yang kita rasakan. Begitu juga dengan tawaran-tawaran nasib yang begitu jauh melampaui kadar kebisaan kita mengakses itu, nyatanya semua itu adalah hal yang kita inginkan.

Saya kira jelas sekali apa yang dikatakan oleh Aristoteles seorang pemikir "Filsuf" Yunani itu dalam menjabarkan sebuah kebahagiaan manusia. Tetapi tidak sedikit manusia kini yang hilang dan tenggelam bersama dirinya sendiri. Bahkan generasi tidak bahagia adalah generasi yang benar-benar layak disematkan pada generasi saat ini.

Aristoteles  berkata jika ingin kebahagiaan, "tapakilah jalan kebajikan". Sebab kebajikan sendiri akan membuat manusia dapat hidup nyaman, tentram, dan bahagia sebagai manusia.

Bukankah generasi saat ini adalah generasi yang egois, dimana kebersamaan sebagai sebuah jalan kebajikan sendiri jarang dilakukan?

Kebanyakan manusia saat ini focus pada dirinya sendiri, karirnya sendiri, dunianya sendiri yang diimitasi dari orang lain. Serta jarang bersosial secara langsung aktif dimedia social, saya kira itu adalah akar dari ketidak bahagiaan manusia saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun