Terkadang jika dipikir lebih dalam, bagimanapun saat ini yang punya uang itu berkuasa, tidak dapat disangakal.
Saya ingat bagimana nasehat dariMmangkunegara IV, salah satu Raja di pulau Jawa dari Keraton Surakarta pernah berkata; "jika tidak jadi pedagang dan bertani, mengabdilah pada Raja".
Kata-kata mengabdi mungkin itulah yang membuat orang tidak punya daya upaya lagi atau tidak punya modal, hidup haruslah rela memang mengabdi atau kerja untuk orang lain.
"Istilahnya saat ini kita tidak ada penghasilan bekerjalah ikut bos. Jika memang kita tidak bisa menjadi bos untuk diri kita sendiri. Berbeda dengan petani dan pedagang yang bekerja hasilnya untuk sendiri"
Maka dari itu bukankah kata mengabdi  sama dengan kerja dengan orang lain? Dari situlah pentingnya filosofi nerima ing pandum atau menerima apa yang sudah menjadi ketentuan oleh nasib kita sendiri?
Untuk itu mau seberapapun kita melawan apapun yang memang bukan ada dalam kuasa diri kita sendiri, sangat amat sulit untuk dapat terealisasi cita-cita apa yang ingin kita kehendaki.
"Adanya omnibus law UU Cipta Kerja yang dinilai meringankan beban pengusaha, kita sebagai pekerja, orang yang megabdi pada pengusaha tersebut, memang harus seyogyangya menerima".
Mau bagaimanapun kita sebagai pekerja tidak punya daya upaya modal. Jika memang punya modal bekerjalah dan membangun usaha sendiri menjadi pedagang atau petani, supaya tidak mengabdi pada bos "raja".
Mungkin seperti itulah abdi atau pekerja, dimana kekuatan yang kecil haruslah disadari dengan rasa prihatin, atau sadar dengan nasib kita sebagai manusia yang hidup di dunia membawa nasib diri masing-masing.
Sebab mau seberapa pun kita seorang abdi melawan Raja (pengusaha) tidak akan dapat menang, meskipun kita punya daya upaya yang banyak yakni tenaga. Karena saat ini untuk dapat menggerakan tenaga harus lah dengan modal.
Tetapi apakah kita akan memgambil hak orang lain pada akhirnya dengan tenaga-tenaga kita? Bukankah jika seseorang mengambil sesuatu yang bukan haknya, apakah nantinya tidak hanya akan menimbulkan konflik saja yang ada?
Mungkin sebagai seorang abdi atau pekerja, tidak bisa kita menggantungkan nasib pada raja atau pengusaha, hanya saja ketika kita mau bekerja sama, penghasilan tetap akan ada dengan cara bekerja.
Seyogyangya nasib diri sendiri kitalah yang menentukan, dimana jika tidak ingin menjadi abdi atau pekerja mulailah berusaha dan sadar akan nasib. Karena diri sendirilah yang bisa mengubah nasib kita, bukan siapa-siapa.
Maka dari itu dengan berbagai regulasi pekerja sendiri jika memang dasar dari pungupahannya setiap jam, bukankah itu adalah porsi dimana tenaga kita sebagai pekerja yang harus di keluarkan, kemudian dibayar?
Jelas sistem pengupahan haruslah disesuaikan dengan produksi yang dapat kita lakukan. Maka dari itu jika ada regulasi pengupahan per jam, bukan tidak mungkin tidak ada lagi ada keterikatan.
Upah perjam secara otomatis mungkin saja dapat memunculkan generasi freelance, di mana bekerja sesuai dengan project yang ada saja, mungkinkah freelance tidak mananusiakan pekerja?
"Freelance sendiri memungkinkan adanya kebebasan, tergantung dari pada pekerja itu mau bekerja atau tidak, dimana mereka tidak ada ikatan dengan perusahaan atau pemberi kerja".
Maka dari itu upah per-jam dapat dikatakan juga upah per project pekerjaan, di mana kita akan kembali ke jaman dulu, tanpa bekerja ya tidak dibayar berbeda dengan system dibayar bulanan.
Meski terkesan akan kembali ke jaman dulu jika upah dilakukan per- jam. Karena kemungkinan freelance, perusahaan atau pemberi kerja tidak memberi apapun termasuk penghasilan tetap per-bulan, tujangan, dan jaminan kesehatan. Itulah dugaan jika upah dilakukan per jam otomatis akan mengikuti project pekerjaan.
Untuk itu menjadi pekerja, memanglah dilemma jika pekerjaan disesuaikan dengan porsi kerja dan tidak ada tunjangan apa-apa dari bekerjanya tersebut jika dilakukan secara freelance karena pekerja bebas.
Namun kembali lagi pada nasehat Mangkunegra IV jika memang kita belum mampu menjadi pedagang atau bertani dan masih kerja mengabdi para pemberi kerja atau pengusaha.
Seharusnya memanglah diterima apapun keputusannya walaupun nantinya jika upah per-jam otomatis akan melahirkan generasi freelance. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H