Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Langgar Protokol Kesehatan: Hajatan Perlukah Didenda?

24 Agustus 2020   12:00 Diperbarui: 25 Agustus 2020   17:07 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com

Pandemi covid-19 tidak dipungkiri ia membombardir hancur lebur segala aktivitas manusia termasuk aktivitas perekonomiannya.

Memang kalau sedikit saja menyadari dan memaknai saat pandemi covid-19 ini. Rasanya benar, kita seperti diperintah sedikit melambat dengan segala aktivitas-aktivitas yang ada sebelumnya.

Tetapi apakah dengan aktivitas melambat. Daya manusia mencukupi kebutuhan makan sehari-hari juga secara otomatis melambat? Yang tadinya makan tiga kali sehari menjadi satu kali?

Inilah yang terkadang dalam diam saya berpikir. Apakah dengan segala aktivitas-aktivitas yang dibatasi itu, benar-benar tidak akan menyengsarakan hidup manusia?

Pandemi covid-19 memanglah bukan sesuatu yang terlihat. Tetapi yang tidak terlihat itu nyatanya menakutkan jika orang-orang terus di takut-takuti.

Bagi orang kecil seperti saya yang tidak mendapat dan merasakan lancarnya gaji dari pemerintah, mau di takut-takuti seperti apapun tidak bakal takut, tak kala perut lapar menjadi sebabnya.

Namun yang terkadang membingungkan itu. Mengapa orang-orang dalam pemerintahan sendiri tidak cenderung berpikir dan merasakan juga beban-beban orang kecil seperti saya, yang terkena PHK dan bingung mau apa saat pekerjaan tidak ada?

Belum dengan pelambatan ekonomi yang terjadi saat ini. Kenyataannya akan kapan lowongan kerja dan saya dapat diterima bekerja kembali saja saya tidak tahu.

Belum dengan orang-orang yang mungkin punya kepentingan dan nasib seperti saya yang bekerja di sektor informal.

Pedagang, pekerja seni, juga pekerja-pekerja event lainnya seperti hajatan, festival dan lain sebagainya yang saat ini terganggu perekonomianya akibat pandemi.

Sebab secara regulasi pemerintah dan mengingat dimasa covid-19. Saat ini masyarakat tidak bebas dalam rangka membuat acara besar yang mendatangkan banyak masa sudah menjadi aturan adaptasi hidup baru.

Ditengah keadaan yang mencengangkan ini pagi tadi (24/8) saya membaca media masa detik.com yang pada intinya pengantin sebuah hajatan terkena denda Rp. 500 ribu langgar protokol kesehatan di Bandung, Jawa Barat.

Meskipun sudah menjadi peraturan walikota Bandung, adaptasi kebiasan baru tentang wacana protokoler kesehatan, apakah memang harus benar-benar di denda?

Tidak kah lebih baik pemerintah hanya menegur saja? Mengingat uang saat ini sedang sulit dicari oleh masyarakat akibat pandemi covid-19?

Saya memang tidak mau mengambil suatu pendapat bahwa saya tidak setuju adaptasi kebiasaan baru yang dicanangkan pemerintah pada masa pandemi ini.

Sebab saya merasakan sendiri orang-orang yang mungkin saat ini terkena PHK, pedagang, pekerja seni, dan jasa-jasa event lainnya sedang menjerit.

Jika hanjatan sendiri ramai sedikit dengan dalih tidak menerapkan protiokoler kesehatan di denda dan dibubarkan.

Bukankah masyarakat yang hajatan sendiri akan takut dan tidak akan menggelar hajatan? Siapakah yang dirugikan?

Jelas mereka-mereka yang mempunyai hubungan ekonomi dengan hajatan seperti pedagang, penyedia jasa event, dan para pekerja seni.

Sedikit banyaknya hajatan adalah salah satu penggerak ekonomi yang nyata bagi masyarakat tidak di perkotaan maupun pedesaan.

Adanya kondangan, belanja bahan makanan, serta jasa-jasa kru mendukung hajatan sendiri adalah potensi ekonomi yang nyata.

Dengan keadaan yang sulit saat ini dan menuju tertibnya masyarakat mematuhi adaptasi kebiasaan baru dimasa pandemi.

Bijakah pemerintah melakukan denda kepada yang terlanjur mengelar hajatan, meski dampaknya tetap positif untuk orang banyak menjalankan roda perekonomian?

Bukankah dengan pembubaran itu sendiri ketika hajatan sedang dijalankan sudah merugikan yang hajatan, ditambah denda Rp. 500 ribu tersebut?

Memang keadaan yang sulit, jika dipikir kita semua memang ingin sehat, tetapi ingin juga perut dan kebutuhan-kebutuhan lain terpenuhi. Menjadi dilema memang saat ini, menunggu bantuan pemerintah tidak semua masyarakat dapat.

Terkadang yang lebih membingungkan lagi, dimasa pandemi ini dengan kesulitan ekonomi ada saja denda yang harus dibayar--- hanya tidak mematuhi protocol kesehatan. Apakah oleh pemerintah denda tersebut akan dijadikan ladang uang baru?

Kalau tidak seperti itu menjadi ladang uang baru, bisakah hanya teguran saja, jangan melakukan denda. Kesannya seperti covid-19 ini menguntungkan masyarakat, sehingga mereka punya uang untuk membayar denda.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun