Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia Terbunuh: Tidak Bunuh Diri

22 Agustus 2020   20:22 Diperbarui: 23 Agustus 2020   01:48 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selagi angin masih berhembus dari selatan, tidak mungkin gerangan disana membuat suatu kenistaan dalam hidup. Tetapi, apapun bentuk dari segala kenistaan, ada kalanya itu dibuat oleh diri manusia sendiri.

Memang yang terus menjadi rancu, keinginan yang mulai banyak. Pikiran yang selalu berpikir bagaimana hidup ingin dibahagiakan. Menjadi sandungan hidup yang harus dihadapi oleh manusia.

Tetang diri, apakah aku harus membunuh diriku untuk hidup lebih tenang malam ini? Kenyatanya menjadi aku kini, bercita-cita, bermimpi, hanyalah sebuah kebodohan dari hidup yang sebenarnya menyiksa diri sendiri.

"Batin, jiwa, dan segenap pikiran. Jenihkanlah diriku sekali waktu saja dalam sehari, supaya dalam ketenangan menjalani hari-hari, aku dapat memenuhi kontemplasiku, menyembuhkan segalanya yang harus sembuh".

Apakah salah hidup banyak keinginan itu? Seperti para lajang disana yang ingin hidupnya ditemani oleh bidadari-bidadari cantik. Lamunan pada sitiap nasib. Magrib kali ini sebenarnya ingin aku kutuk dia bersama beratnya pikiran ini dalam berpikir.

Tentang sesuatu yang kini menjadi nasib. Bayangan hidup selalu saja terbayang. Sudahkan manusia hidup tidak membunuh dirinya sendiri? Dengan keinginan nyata lebih baik memang dibunuh saja.

Derita dan segudang penderitaan adalah faktor diri. Karena aku ini adalah orang-orang yang telah terkubur pada ilusi keinginan. Cenderung memaksakan diri, apakah aku ini memang orang bodoh yang seharusnya menjadi bodoh saja untuk tenang?

Dalam bayang kenyataan kewarasan manusia selalu saja memperberat dirinya. Waras berarti dalam gambaran manusia abad ke-21, selalu mempertanyakan diri, sudahkah kali ini manusia berkeingianan?

Berbagai referensi hidup, nyata dalam bayang bait ini, menjadi hiburan dalam sudut-sudut internet. Dimana selain hiburan juga terkandung imajinasi keinginan, yang lagi-lagi jika tidak mampu merealisasi keingianan itu menjadi kesengsaraan.

Tetapi langkah beruntungnya orang yang dapat merealisasi bentuk keinginan imajinasinya. Ia akan menjadi orang yang paling bahagia didunia. Namun dalam langah bayang hidup ini, semua seperti terkutuk untuk tidak dapat lepas dari penderitaan.

Kebahagiaan pun sebenarnya memanggil, tetapi alangkah naasnya manusia. Banyak buku-buku pengembangan diri tentang keinginan hidup bahagia. Mengembangkan diri dalam eksplorasinya, bahwa keberhasilan hidup harus mereka wujudkan apapun caranya.

Mungkinkah tidak ada buku untuk mencintai sebuah penderitaan? Apakah pederitaan adalah kutukan hidup yang harus dimusnahkan, dilawan, bahkan ditikam agar ia mati berasama manusia yang identic dengan penderitaan?

Sungguh tak kala keniscayaan hidup ini bergema dari atas bukit. Ingin aku rasanya menjadi seorang petualang lagi. Tetapi dalam petualangan itu, aku ingin terus bersuara dengan ketikan laptopku yang aku sebut sebagai pacarku itu.

Kemanapun aku tidak dapat lepas dari dirinya, laptop kesayanganku, dimana bait-bait paragraph ceriminan diriku tersimpan di memorinya. Alangkah ringannya penderitaan manusia yang tidak berpikir. Dalam angannya tidak terdapat keinginan yang harus ia wujudkan sebagai manusia. Laptoku yang mati tidak bersuara.

Seharusnya mungkin menjadi manusia abad ke-21, mencintai harusnya benda mati yang akhirnya hanya mencintai diri sendiri. Tetapi dengan mencintai orang lain terhadap pengakuan ingin dicintai balik, rasa-rasanya, aku ingin mengutuk manusia itu.

Karena mengapa ketika ada bayang pertimbangan antara manusia yang mencintai manusia lain. tidak ubahnya adalah untaian drama yang tidak ada habisnya. Kebebalan selalu saja, mereka manusia--- ingin diakui seperti apa oleh manusia lain?

Ada yang mencintai dirinya seharusnya saja sudah syukur--- hidupnya disayangi. Tetapi dengan rasionalitas ugal-ugalan manusia, dimana rasa syukurnya pada Tuhan adalah dalih yang palsu mengakui kebersyukuran itu.

Keganjilan dari hidup tiada yang benar-benar sempurna. Maka dari pada bentuk kasus mencintai manusia lain saat ini, nyatanya adalah buah-buah dari problematika manusia itu sendiri.

Tidak ada yang benar-benar "ada" dalam kepastiaanya. Semua mencintai atas dasar penalaran rasional, mereka yang tidak ingin cacat seperti drama-drama sinetron yang menjijihkan itu.

"Memang problematik ketika mencintai manusia lain yang polos berurusan dengan mental pikiranya yang masih banyak pertimbangan. Mencari sesuatu yang sudah mapan mental, berurusan dengan masa depan ekonomi sebagai harapan kehidupan manusia".

Dalam keterbagiaanya memandang bertrasaksi cinta seperti harus ada pengharapan yang pasti sebagian besar manusia. Lambat laun berurusan dengan kehendak hatinya sendiri. Apakah senyatanya kehendak hati harus mati?

Langkah yang rancu aku langkahkan sebagai buah-buah pikir. Menjelma menjadi singa-singa yang buas dalam angan-angannya. Aku ingin menari saja melupakan cintaku padamu yang membosankan itu.

Tetapi bagaimana lagi seperti memancing, nyatanya harapan bahagia mencintai orang lain dengan kehendap reproduksi tidak memudarkan manusia-manusia waras untuk mencintai orang lain.

Ada saja upaya ketekunan-ketekunan dalam mencintai manusia lain menjadi pembanding dalam angan-angan mereka. Tidak saja hal yang lumrah terjadi dalam semesta wacana kehidupan ini yang ganjil.

Aku kira tidak ada satu katapun yang dapat membunuh rasa manusia selain kata: "aku telah muak pada hidup itu sendiri". Mengharap-harap sesuatu yang hanya akan menjadi kebodohan semata.

Jadi manusia jangan-janganlah banyak mensyaratkan. Pada nyatanya kau akan lusuh ditelan tanah-tanah datar yang dilubangi satu meter setengah itu.

Langkah hidup, nyatanya adalah selumbung kepalsuan rohani yang arogan, terkekang tiada bentuk tetapi selalu memilih. Realistis hanyalah ilusi bagi manusia yang tidak mau melangkahkan keputusannya. Itu tercermin dari kata-kata--- ketidakpastian yang mencengankan.

Tidak lain pantasnya memang dikutuk sebagai batu seperti malin kundang yang bengal itu terhadap ibunya. Terkadang apa yang dipikirkan memang tidak akan pernah selsai sebagai tidakan, itulah suatu kebebalan yang nyata dalam hidup manusia.

"Kenyataaanya: orang berani karena sudah tidak banyak pilihan. Orang takut sebaliknya: karena mereka punya banyak pilihan"

Untuk para manusia yang ingin terbunuh dalam setiap keinginan semua yang menyiksa dan hanya membuat penderitaan. Dengarkanlah minimal satu jengkal suara nurani yang tertinggal.

Bawasannya menjadi diri, ia pun bermasalah ketika ia tidak berusaha mendamikan dirinya sendiri setiap malam-malam menjelang tidurnya. Demikian para-para manusia yang ingin terbunuh tetapi tidak bunuh diri---damailah dengan kebebalanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun