Inilah yang terkadang menjadi sangat rancu itu. Warga sipil tidak dibayar sepeser pun oleh negra justru memberi pajak kepada negara.
Kalau memang wagra sipil menjadi tentara sebelumnya, itu memang sudah kewajibanya. Dan tentara dibayar oleh warga sipil untuk menjadi aparatur militer Negara menjaga kemungkinan adanya krisis keamanan termasuk perang.
Tetapi dengan tentara jika mereka jujur dan rasional, maukah benar-benar diajak berperang jika memang bukan tuntutan profesi? Dengan sekarang yang berprofesipun dimiliter bukankah juga belum tentu mereka menghendaki perang?
Inilah yang terkadang menjadi rancu orang-orang sipil non militer diproyeksikan sebagai cadangan pasukan Negara. Beberapa pihak masyarakat sipil memang berpandangan: disinyalir tetap akan mengundang masalah hak asasi manusia (HAM) meskipun itu hanya para mahasiswa yang mengikutinya.
Belum dengan status atau arogansi yang akan ditimbulkan warga Negara sipil itu sendiri jika memang dibekali kartu anggota dan sebagainya jika nantinya program komponen cadangan pertahanan Negara sejenis militerisme tersebut benar-benar terealisasi.
Bukan apa, sesama aparatur Negara yang sah saja terkadang bertikai di jalan merasa yang paling tinggi posisinya dan mentang-mentang ada dan bagian aparatur tersebut.
Apakah tidak mungkin ketika banyak orang dididik secara militer tidak akan menimbulkan kekacauan berikutnya disebabkan arogansi di masyarakat?
Merasa bahwa mereka keras dan layak dihormati seperti ormas layaknya preman nantinya mengatasnamakan komponen pasukan candangan Negara?
Bukankah saat ini banyak ormas berlatar belakang sipil tanpa didikian militer saja keras kepada masyarakat, apa lagi nanti merasa sudah dididik oleh militer?
Komponen cadangan: Saat ada Perang Juga Tidak Berguna
"Program Kemenhan pasukan cadangan pertahanan Negara: Pemerintah memang berdalih program itu tidak wajib diikuti dan bukan militerisasi. Tetapi nyatanya ada target merekrut 25 ribu mahasiswa, fungsinya sesuai Undang-undang mendukung TNI".