Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ilusi Keadilan dan Kontradikasi

13 Agustus 2020   08:37 Diperbarui: 14 Agustus 2020   20:58 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: thecolumnist.id

Bagi manusia pemikir berat, segala sesuatunya memang harus untuk ditulis. Karena setiap apa yang menjadi kegelisahan dalam pikirannya, ia bukan saja tidak punya lawan bicara yang mengerti dirinya, tetapi untuk dimengerti ia harus terus berdialog dengan dirinya sendiri lewat tulisan.

Pikiran yang cara berpikirnya terlalu rumit dan kompleks. Hanya dengan menulis, ia dapat dimengerti oleh manusia lain. Tetapi tentang manusia itu, tetap hanya dirinya sendiri yang paling mengerti dirinya, lewat tulisan yang terus dibacanya sendiri.

Namun beberapa tahun yang lalu ketidak puasan dalam menjadi manusia yang diharapkan seperti telah menemui bom waktu. Dalam kerumunan kerja sama, kecurigaan satu dengan lainnya memang menjadi dasar penafsiran yang utama bagi yang sama-sama bekerja untuk saling membenarkan dirinya sendiri.

Pada dasanya semua urusan dalam kebersamaan itu harus menjadi jalan yang menyenangkan, tetapi apakah ada keadilan didalam semua jenis kerumunan termasuk ruang kerja sama?

Tentu keadilan dari sikap semua manusia hanyalah ilusi besar belaka. Tidak ada yang benar-benar bersikap adil jika manusia masih dalam tubuh manusia yang sama. Ia masih berkepentingan, mengamankan posisi, dan tidak mau dirugikan atas dasar posisi dirinya yang telah mapan.

Tetapi jika dirasa dengan kesadaran intelektulitas yang sepadan. Semua adalah tentang bagimana kepentingan mereka tidak terancam. Apalagi dengan kepentingan itu, mereka "manusia" hidup enak menikmati apa yang telah dinikmatinya sebagai nasib yang jarang ditemui oleh manusia lain. Dan itu merupakan kewajiban untuk dipertahankan sebagai daya tawar hidup yang terjamin dalam ningkai kesejahteraan.

"Menjadi manusia memang harus begitu, jika memang ia dapat sejahtera disuatu tempat, menjaga terus tempatnya sebagai ladang kesejahteraan adalah hal yang harus menjadi kepastian. Tidaklah usah berpikir-pikir lagi, bahkan siapapun yang sekiranya mengancam lahan itu, sikat mutlak dilakukan. Karena dasarnya dalam kehidupan, semua manusia berkepentingan untuk saling sikat antara manusia satu dengan lainnya".

Memang bukan seberapa banyak manusia bersyukur, bukan seberapa dekat pula manusia bersama Tuhan-tuhan menurut konsep dalam setiap tafsir-tafsirnnya sendiri. Ketika manusia hidup dengan manusia, disanalah kau harus menyadari kemanusiaan itu bersama dengan kehendak akan kuasa yang secara alamiah manusia punya.

Namun dalam kesaadaran akan intelektualitas yang manusia harus gali untuk pembelajaran dirinya, bukankah kemanusiaan masih lebih penting dari pada mencidrainya? Inilah dalam filsafat jawa diperkenankan suatu cara yang arif dan bijaksana bahwa; "untuk menang haruslah diraih secara kesatria, tanpa memakan korban dan pertumpahan darah dan nyawa; bahkan tidak mempermalukan lawan. Begitulah sikap dari keluhuran kesatria yang sejati".

Menjadi manusia memang kompleks, ia bukan saja punya rasa yang selalu ingin berkuasa, tetapi ingin pula menjadi kekuasaan mutlak tanpa ada penolakan dalam kebereartiannya sebagai yang telah mempunyai kuasa.

Untuk itu, memaknai keadilan seperti tidak akan pernah terwujudkan didalam suatu kenyataan kehidupan dunia kapan pun abad-nya. Mungkin adanya ketidakadilan bagi manusia, ia bukan saja akan menambah sebuah penderitaan, lebih dari itu yakni; kesengsaraan tiada akhir bagi dirinya.

Tetapi dengan berbagai penderitaan dan kesengsaraan itu, apakah tidak akan menjadi sesuatu yang menyadarkan hidup manusia itu sendiri bahwa; manusia benar-benar hidup ketika mereka menderita?

Ketidakadilan ketika terwujud-pun saat ini didunia, apakah akan ada dinamaika hidup dari setiap manusia bahwa; hidup memang harus ada yang menindas dan ditindas pada akhirnya? Misalnya dari mereka yang hidupnya dibaktikan diri untuk menentang ketidakadilan, apakah mereka sadar yang diperjuangkan itu?

Tidak lebihnya, ini hanyalah sebuah bentuk dalam permainan kata-kata, dan setiap dari mereka adalah memihak para anak-anak ideologis yang sama seperti mereka. Hidup memang ada dua tempat yang menjadi sakralnya kehidupan yaitu; antara ide atau ideologis dan hati atau nurani sebagai manusia.

Pada dasarnya tidak ada manusia yang adil, begitu pula dengan manusia-manusia yang akan baik seterusnya. Kehidupan adalah kontradiksi itu yang harus terus disadari oleh manusia, juga banyak manusia-manusia disana bahwa; "seribu kebikan akan musnah dengan hanya satu kesalahan, itu merupakan sebuah hukum dalam menjadi bagian dari kehidupan manusia".

"Maka untuk satu manusia adil terhadap dirinya sendiri saja dipertanyakan, antara bisa atau tidak bisa, tetapi hal yang paling dekat dengan keadilan adalah: ia  (manusia) bisa adil jika membuat versi keadilan untuk dirinya sendiri".

Contohnya misalnya: "manusia selalu menganggap atau bahkan ia dibenarkan karena menjaga kewarasan sebagai "manusia" lebih penting dari pada uang dan nama besar untuk dirinya sendiri. Tanpa waras, manusia tidak akan menjadi manusia dan aktivitas menulis, bukan saja hobi tetapi lebih dari itu yakni; menjaga api agar tetap waras menjadi manusia, setidaknnya ini pandangan subyektif saya".

Itulah mengapa keputusan dalam bekerja sama dengan krumunan bagi saya menjadi sangat sederhana diputuskannya. Memang manusia butuh kerja, dapat uang, tetapi bukankah cara mendapat uang dari kerja tidak hanya dalam satu bidang kerja saja? Banyak bidang-bidang lain dan juga tempat lain yang sama: kita dapat bekerja dan mencari uang disana?

Suatu ketika manusia sudah merasa tidak enak dalam kerja sama itu, dirinya harus membuat keputusan untuk pergi. Apapun masalahnya sebagai manusia benar atau salah disini, tetapi untuk apa membela sesutau yang hasilannya akan sama saja?

Menghindari konflik itu sendiri adalah sikap yang sering dilakukan mansia untuk menjaga kesehatan batinnya sendiri. Karena sensitifnya seorang nurani manusia, ia bukan saja akan tersiksa dengan berbagi konflik yang ada pada waktu kehidupannya, tetapi juga tersiksa setiap harinya jika masih ditempat yang sama dengan beban mental ya ia terima.

Tetapi dimanapun tempat itu, jika masih sebagai manusia, hidup memang akan terus diseret oleh konflik, bukan saja dengan dirinya sendiri, tetapi juga dengan orang lain. Senyatanya hidup memang harus dijalani, ia bukan saja akan terus-terus untuk dirasa. Tetapi dibawakan dengan kebijaksanaan dalam keutamaan kita dalam menggali ilmu dari pengetahuan pengalaman-pengalaman manusia itu sendiri.

Dalam hidup dan bekerja di perusahaan semua memang begitu, mengamankan posisi masing-masing adalah hal yang dipertaruhkan mereka. Karena mereka tidak punya pilihan lain, apalagi dengan bayaran besar yang mereka terima.

Intinya mereka pun dengan beban yang harus ditanggung, apakah mereka dan yang sudah ditanggungnya "keluarganya" mau hidup menderita tanpa uang? Bukankah semua orang tidak mau hidupnya menderita, oleh karena itu ia "manusia" mencari kebahagiaan?

Abad ke-21, dengan uang-uang itu, apakah manusia dapat hidup tanpa uang. Inilah berbagai pertanyaan itu yang masih terpendam seperti menjadi hal yang tabu untuk dipertanyakan. Sebab diabad ke 21 ini, pertanyaan kau butuh uang atau tidak dalam menjalani hidup adalah konyol!

Bekerja adalah hidup dan mati mereka "manusia", meskipun terkadang mereka harus mengutuk manusia lain dalam ruang kerja tersebut. Tetapi ini hidup, manusia harus paham betul, seakan nasib manusia adalah garis. Ya garis dimana kelahiran yang mereka ciptakan sendiri, sebagai seseorang yang terlahir dari keluarga mana, punya modal apa, dan itulah menjadi manusia.

Namun bagi saya, keadaan lahir memang sudah terlanjur, ia "manusia" memang tidak dapat memilih dimana ia akan lahir. Tetapi dengan cara  yang bisa lakukan, ia pun sama seperti mereka, dan apa yang bisa dilakukan mereka-pun akan sama dengan apa yang dilakukan saya sebagai manusia.

Hidup memang tidak sesederhana itu, namun dengan tekad yang dilakukan, semua akan dapat terwujud meskipun sedikit melenceng dengan harapan. Ya, hidup adalah sebuah perjuangan yang suci, tetapi bagaimana bentuk dari keutamaan setiap perjuangan itu dalam kehidupan ini, yang mewujud menjadi menusia?

Berjuanglah untuk dirimu sendiri sampai dia bahagia dari kedalaman nuraninya, karena ketika nurani seorang manusia bahagia, bukan tidak mungkin; ia dapat membahagiakan manusia lain yang ada dalam kehidupannya. Merasa harus teradili oleh hidup dan selalu merasakan kontradiksi merupakan hal yang wajar dirasakan manusia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun