Dalam semesta wacana politik suatu ketatanegaraan, regenerasi mencetak politikus yang handal dan berkompeten di bidangnya sangat diperlukan.Â
Ditambah saat ini dimana politik dinasti seperti zaman kerajaan-keraajaan dulu sudah tidak diperlukan lagi.
Semua tahu bawasanya dalam pemerintahan yang demokratis, faktor turut serta walaupun bukan trah atau krabat-kerabat dalam suatu jabatan politik termasuk partai politik bukanlah suatu yang menetukan "harus" seperti zaman kerajaan dulu.Â
Melainkan dapat dijalankan oleh siapapun mengingat yang dipahami dari esensi berpolitik adalah manfaatnya yang besar untuk masyarakat berkat adanya aktivitas politik.
Tetapi lagi-lagi dengan berbagai kronik, fenomena, serta kenyataan yang terjadi didalam panggung politik Indonesia.Â
Saya kira seperti tidak akan menunjukan kemajuan yang berarti bagi dunia politik di masa yang akan datang, selalu tersendat argoansi kehendak akan kuasa.
Tentu semesta wacana berpolitik di Indonesia masih sangat kental dengan tradisi trah figure pendiri.Â
Serta yang terbaru dalam demokrasi kaptalistik--- modal awal terbentuknya suatu partai juga merupakan suatu yang kusial bagi oragnisasi partai termasuk didalamnya seluruh partai yang ada di Indonesia.
Mengamati semua fenomena politik di Indonesia serta kapasitas politikus dalam suatu partai terhadap orang-orang yang berpengaruh dalam berpolitik.Â
Tidak jauh adalah komoditas figure, serta para pelaku pendiri partai yang berperan penting sebagai modal awal berdirinya suatu partai politik modern Negara berkembang seperti Indonesia.
Tidak ubahnya pasca reformasi 1998 dengan membludagnya partai-partai baru yang ikut dalam kontestasi politik nasional. Mereka terlahir berkat figure-figure nasional yang kuat secara ketokohan, juga "kuat" secara modal finansial menggerakn partai.Â
Oleh karena itu dalam wacana berpolitik saat ini, politikus yang belum mendirikan partai politik sampai kapan pun tidak akan pernah bersinar karir politiknya sebagai orang yang berpengaruh dalam partai politik.
Seperti tokoh politik Amien Rais yang melekat dengan PAN, atau figure Gus Dur dengan PKB, serta Megawati dan SBY masing-masing melekat dengan PDIP dan Partai Demokrat.Â
Karena mereka adalah pendiri atau tokoh, bahkan memegang kendali modal awal pembentukan partai, disanalah mereka akan menjadi sosok abadi yang berpengaruh dalam partai.
Joko Widodo yang sebelumnya merangkak menjadi kader PDIP dari daerah sampai dengan menjadi tokoh partai nasional yang mengantarkanya sebagai Presiden Republic Indonesia dihadapan partai politik, ia punhanya seorang kader partai.
 Dimana jabatan strategisnya menjadi presiden hanyalah suatu tugas dari partai politik untuk memangku jabatan public Negara, representasi partai politik meskipun dirinya seorang Presiden.
Maka tidak heran dengan figure, Prabowo Subianto di Partai Gerindra yang saat kongres luar biasa (KLB) di Hambalang Jawa Barat, Sabtu (8/8/20) lalu, diputuskan dirinya untuk menjadi ketua umum partai berlambang burung garuda tersebut.
Alasanya adalah figure yang kuat Prabowo Subianto di Partai Gerinda yang belum dapat tergantikan.
Dengan pernah vakumnya Prabowo Subianto sebagai ketua umum gerindra yang jabatan "ketua umum" sempat diemban Suhardi, mantan guru besar UGM, selama kurang lebih enam tahun.Â
Namun jabatan ketua umum kembali ke tangan Prabowo usai Suhardi meninggal dunia pada 2014.
Kembalinya Prabowo duduk di jabatan ketua umum serta lamanya periode dia menjabat menandakan Partai Gerindra itu justru menunjukkan tersendatnya regenerasi figur mumpuni.Â
Menyusul partai-partai lain seperti Demokrat dan PDIP yang belum lepas dari tokoh kuatnya keluarga SBY dan Megawati.
Bukan tidak mungkin jika memang budaya ketokohan, serta siapa-siapa dulu dalam pembentukan partai penyumbang modal terbesar untuk mendirikan partai tidak dapat melepas sama halnya pemegang saham perusahaan, dari sanalah figure-figure politikus mempuni masa depan "ketokohannya" akan tenggelam jika memang tidak ada ruang sebagai elit partai (ketua umum) partai.
Langkah yang tepat diambil oleh politukus Surya paloh serta Hary Tanoe Subdibyo mendirikan Partai Nasdem dan Perindo guna mendukung ketokohannya dalam kancah politik nasional Indonesia.
Tetapi pun partai lain seperti Airlangga Hartanto di Golkar serta Zulkifly Hasan di PAN sebagai regenerasi ketua umum.
Sudah pasti untuk melangkah kesana sendiri, "modal" baik finansial maupun ketokohannya seperti mendirikan partai baru, harus di kocek dari kantong pribadinya sendiri meskipun partai tersebut merupakan partai lama.
Namun tanpa figure yang kuat sebagai pendiri yang disandang Airlangga Hartanto di Golkar dan Zulkifly Hasan di PAN, kekuatan akan ketokohannya jelas berbeda dengan pendiri partai serta penyokong terbesar modal mendirikan sebuah partai.
Oleh sebab itu, tanpa dukungan modal yang kuat sebagai ketua umum partai mereka dapat dirong-rong dari kepengurusan partai tersebut berbeda dengan tokoh sentral pendiri sekaligus penyokong modal awal seperti SBY, Megawati, Prabowo dan lain sebagianya politikus pendiri partai.
Maka dari itu politikus muda sebagai regenerasi partai politik yang mempuni tanpa mereka mendirikan sebuah partai sendiri seperti Adian Napitulu, Budiman Sujatmiko, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Sandiaga Uno, Anis Baswedan serta politukus muda lainnya.Â
Sampai kapanpun tetap saja akan menjadi kader bukan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam elite partai politik seperti ketua umum.
Berkaca dari Presiden Joko Widodo yang ada di dalam puncak karir politiknya sebagai presiden, bukankah ia hanya didapuk sebagai petugas partai politiknya PDIP?Â
Oleh karena itu, madegnya regenerasi dengan berbagai kepentingan politik elit partai pendiri serta pemodal, seperti itulah gambaran kedepan arah semua partai politik yang ada Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H