Mungkin bagi saya orang-orang yang banyak bercerita disana adalah orang-orang yang butuh pengakuan diri.Â
Memang sah-sah saja untuk itu. Sebab dalam manusia berpergaulan, kita memang benar-benar ingin diakui sebagai "ada" dalam tempat krumunan kita itu.
Dalam menjadi diri, seyoganya sesuatu yang berlebihan tetap akan dipandang miring oleh siapapun juga tidak terkecuali diri kita. Karena tidak oleh siapapun, terkadang rasa miring dan timpang juga dirasakan oleh diri kita sendiri saat--- kita merasa bahwa "kita" punya kelebihan berada dalam krumunan tersebut.
"Sesuatunya jika ingin kita paksakan dalam setiap mengada "eksis" tersebut bersama orang lain, lalu kita ingin dianggap hebat dengan berbagai kelebihan yang kita punya, disitulah saat kita melihat kedalam diri kembali, rasanya sungguh timpang antara diri dan pujian tersebut".
Mungkinkah pujian tbenar-benar pantas untuk diri kita? Apakah dipuji-puji saat ada didalam krumunan memuaskan diri?Â
Kenyatanya pada saat kita sendiri dan berlarut hari demi hari, sesuatu yang berbau pujian orang lain itu sudah tidak berarti lagi.
Senyatanya manusia, bukankah kita hidup selalu merasa kurang? Mungkinkah untuk sesuatu yang mengganjal nilai-nilai kepatutan prilaku kita--- kita tidak pernah merasakannya bahwa itu patut atau tidak dalam kemapanan rasa pergaulan kita?
Berwacana dengan sikap orang banyak atau menjadi pribadi dalam sekumpulan orang itu tidak akan pernah mudah.Â
Apa yang akan menjadi masalah dalam bentuk pergaulan itu adalah mampu atau tidaknya diri kita dalam menahan suatu ego untuk dinilai ada sebagai sebuah kelebihan kita.
Tetapi apa yang dinamakan hidup itu. Mungkinkah kita semua serba tahu apa yang menjadi bidang-bidang orang lain, yang setiap dalam krumunan tersebut sangat menarik untuk dibahas sebagai suatu bahan obrolan?
Saat kita seperti seakan tahu, apakah ketika benar akan dipandang sebagai jenius, dianggap yang paling tahu dalam kerumunan tersebut?
Tentu tidak, karena pada saat yang sama semua berkemungkinan untuk tahu sesuai dengan kapasitas duniannya masing-masing.Â
Disitulah orang tidak akan takjub melihat segala pengetahuan kita mengenai dunia mereka. Begitu pun juga saat kita bercerita dunia kita yang tidak diketahui mereka.
Berangkat dari rasa tidak tahu, apakah benar-benar mereka terkesan pada ketidaktahuan itu? Dalam bayang-bayang narasi diri, maka dari itu tidak ada yang "patut" jika kita ingin membanggakan diri pada orang lain.
Sebab senyatanya orang lain tidak akan pernah tahu apa yang menjadi kebanggan diri kita sendiri begitupun dengen kebanggan diri mereka sendiri.
Seperti saya sebagai orang desa yang punya hobi lain dan saat ini mencari rezeki dengan menulis. Mungkikah ketika budaya literasi di desa saya saja tidak bergema sebagain besar dari mereka "warga desa" bekerja sebagai petani, nelayan, dan profesi-profesi lainnya, kita akan nyambung berbicara tulisan dan pemikiran dengan mereka?
Penggambaranya mungkin sama seperti Raden Saleh, pelukis masyur Indonesia yang sudah melanglang buana ke Eropa dengan tradisi hidup yang saat itu berbeda dengan Indoensia "Hindia Belanda".Â
Katanya di Indonesia tidak lebih hanya berbicara gula dan kopi, tidak ada seni, pemikiran, serta hidup-hidup kreatif lainnya dalam menjalani kehidupan.
"Maka saat diri manusia terasing dengan dunia manusia yang lain. Mereka tidak akan betah dalam lingkungan krumunan tersebut ketika ego memaksakan diri sesuai dengan kehendak diri dilingkungan yang berbeda itu".
Raden saleh memang tidak betah di Indonesia, namun apakah dengan keterikatan tanah airnya sendiri dan keluarganya di Indonesia, Raden Saleh dengan serta merta ingin terus melanglang buana ke negri orang sepanjang hidupnya?
Dalam cerita Raden Saleh sang pelukis yang hidup ditengah-tengah buruh tani waktu itu tentu benar dirinya merasa terasing.Â
Tetapi bukankah sikap terasing merupakan sandungan untuk menjalani hidup dapat berbaur dengan orang lain? Disinilah arti penting menginduk diri dengan siapapun.
Memang saat kita berada dilingkungan yang sama dengan diri kita, "sama" dalam hal hobi, profesi dan berbagai kesamaan itu pasti: "kita seakan ingin dibawa pada pergaulan yang dipuji-puji oleh lingkungan kita".Â
Begitu pun Raden Saleh saat itu tidak ada yang dapat menikmati karya lukisnya ketika bergaul dengan buruh tani, berbeda ketika Raden Saleh bergaul dengan sama-sama pelukis di Eropa.
Manusia didalam pergaulannya, secara naluriah, kita ingin menjadi yang paling tahu, patut dipuji, dan paling besinar dari yang lain sebagai seorang pribadi manusia itu memang tidak salah. Apakah "salah" sebagai diri manusia meninginkan semua seperti itu?
Tentu dalam kehidupan yang terkadang terbalik, apa yang digemborkan sebagi pelajaran akan ajaran moralitas itu nyatanya adalah penggamabaran sifat asli manusia.
Ada ungakpan "Jangan terlena jika dipuji". Bukankah kita senang saat dipuji orang lain, sebab pujian itu sendiri termasuk kebutuhan mental manusia tanpa disadari?
Jika seperti itu, apakah menginginkan pujian itu salah? Kenyatanya ajaran moralitas itu ada sebab secara alamiah manusia senang akan pujian dan moralitas tersebut seperti memberi tahu bahwa; "siapapun patut dipuji, tetapi kita tidak boleh merasa tinggi saat menerima pujian".
Takut memuji sendiri tetapi tidak seperti yang dipujikan tersebut justru berbalik menyerang diri pada akhirnya. Saat kita tidak akan puas dengan diri kita sendiri.Â
Maka seyogyanya dalam pergaulan itu jika memang kita tidak dalam bidangnya, tidak tahu segala aspek yang dibicarakan krumunan, tetapi ingin dipuji keberadaannya tidak akan mungkin dan jangan pernah berharap untuk dipuji.
Sekalipun kita menjadi bintang dalam bidang kita pun tidak perlu memamerkan bintang itu pada krumunan kita.Â
Apalagi dengan orang-orang yang bukan di bidang yang sama. Bukankah itu tidak pernah ada gunannya bagi mereka?
Dalam pergaulan "rem" diri memang diam, yang saya maksud dengan diam bukan "diam" tidak bicara dalam krumunan bukan.Â
Tetapi diam yang saya maksud adalah berbicara semengertinya pembahasan saja dan diam lah untuk tidak ingin dipuji orang lain apapun segala jenis kelebihan yang kita punya.Â
Sebab pujian sampai kapanpun tidak akan memuaskan diri kita sendiri, yang sejatinya kita sebagai mana manusia selalu merasa kurang.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H