Memang saat kita berada dilingkungan yang sama dengan diri kita, "sama" dalam hal hobi, profesi dan berbagai kesamaan itu pasti: "kita seakan ingin dibawa pada pergaulan yang dipuji-puji oleh lingkungan kita".Â
Begitu pun Raden Saleh saat itu tidak ada yang dapat menikmati karya lukisnya ketika bergaul dengan buruh tani, berbeda ketika Raden Saleh bergaul dengan sama-sama pelukis di Eropa.
Manusia didalam pergaulannya, secara naluriah, kita ingin menjadi yang paling tahu, patut dipuji, dan paling besinar dari yang lain sebagai seorang pribadi manusia itu memang tidak salah. Apakah "salah" sebagai diri manusia meninginkan semua seperti itu?
Tentu dalam kehidupan yang terkadang terbalik, apa yang digemborkan sebagi pelajaran akan ajaran moralitas itu nyatanya adalah penggamabaran sifat asli manusia.
Ada ungakpan "Jangan terlena jika dipuji". Bukankah kita senang saat dipuji orang lain, sebab pujian itu sendiri termasuk kebutuhan mental manusia tanpa disadari?
Jika seperti itu, apakah menginginkan pujian itu salah? Kenyatanya ajaran moralitas itu ada sebab secara alamiah manusia senang akan pujian dan moralitas tersebut seperti memberi tahu bahwa; "siapapun patut dipuji, tetapi kita tidak boleh merasa tinggi saat menerima pujian".
Takut memuji sendiri tetapi tidak seperti yang dipujikan tersebut justru berbalik menyerang diri pada akhirnya. Saat kita tidak akan puas dengan diri kita sendiri.Â
Maka seyogyanya dalam pergaulan itu jika memang kita tidak dalam bidangnya, tidak tahu segala aspek yang dibicarakan krumunan, tetapi ingin dipuji keberadaannya tidak akan mungkin dan jangan pernah berharap untuk dipuji.
Sekalipun kita menjadi bintang dalam bidang kita pun tidak perlu memamerkan bintang itu pada krumunan kita.Â
Apalagi dengan orang-orang yang bukan di bidang yang sama. Bukankah itu tidak pernah ada gunannya bagi mereka?
Dalam pergaulan "rem" diri memang diam, yang saya maksud dengan diam bukan "diam" tidak bicara dalam krumunan bukan.Â