Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Semua Bentuk Kontradiksi

30 Juli 2020   09:19 Diperbarui: 9 Agustus 2020   00:50 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angan dan ke-egoisan manusia memang bukanlah sesuatu yang terpisah dari badan kita. Mengambil suatu keputusan bukanlah hal yang mudah untuk diambil. 

Apalagi keputusan tersebut adalah aktivitas kerja dimana disana "ada" ketergantungan ekonomi manusia sebagai pekerja.

Tetapi bagaimana jika didalam ruang kerja tersebut tidak merasakan bahagia? Yang ada selalu takut, khawatir, dan lelah setaip harinya meski tenaga tidak terporsir terlalu berat.

Menjadi pertanyaan, mengapa ruang kerja bagi saya selalu mengundang beban-beban itu. Kerja saja pengasilannya terkadang hanya cukup, apalagi dengan manusia yang tidak bekerja.

Pendapatannya sudah dipastikan---- tidak akan "pasti" bahkan bisa tidak ada sama sekali. Dengan keadaan yang teretebak itu, mengapa saya berani untuk keluar dari tempat kerja?

Apapun semua adalah pilihan dari hidup manusia--- dan menjadi manusia umum nyatanya memang harus bekerja. 

Namun jaman yang terus berubah bidang kerja juga sama, terus akan berubah pola dan juga bentuknya sebagai dasar dari sama-sama menjadi pekerja itu sendiri.

Keputusan yang saya ambil untuk keluar dari pekerjaan dan mencoba menatap nasib baru itu memang sangat beresiko. Tentu resiko itu adalah perkara pendidikan saya. 

Oleh karenanya saya bukanlah orang yang ahli dalam bidang kerja, yang banyak dibutuhkan perusahaan saat ini. 

Ditambah usia saya yang sudah tidak lagi muda untuk bersaing dengan mereka para adik-adik yang masih segar tenangannya--- yang dicari oleh perusahaan, yang butuh tenaga kerja secara prima dari jenjang usia.

Tetapi di abad ke-21 ini, bukankah potensi manusia semakin terbuka lebar dengan adannya kemajuan teknologi? 

Mungkin inilah yang harus digarap oleh setiap manusia yang tidak selalu betah dengan bentuk kerja konvensional.

Bukan apa, kerja secara konvensioanl bukan saja akan terus mengalami keadaan stagnan dalam berpendapatan. 

Karena kebanyakan kini pengupahan dalam kerja sendiri mengacu pada nilai upah minimum regional yang paling minim.

Namun seberapapun nilai itu memang benar, setidaknya dengan pendapatan yang tetap setiap bulan dapat mengakomodasi hidup "manusia". 

Tetap saja beraktivitas kerja tetap lebih baik. Namun pertanyaannya apakah dalam "berpikir" sebagai  manusia tidak ada upaya untuk terus melaju dalam arti: tidak terus diposisi stagnan seperti itu terus?

Jika pendapatan itu hanya cukup untuk dirinya, apakah tidak menjadi ganjalan ketika mereka sudah berumah tangga? Dimana tanggung jawab itu bukan hanya untuk dirinya sendiri? 

Karena alasan semua itu, saya adalah laki-laki yang visioner sekaligus progresif. Tetapi terkadang saya juga menjadi manusia "nihil"---- nihil diambil dari kata nihilisme yang berarti hidup saya terkadang dalam perjuangannya berpikir tidak ada tujuan apa-apa.

Terlebih saya bisa dikatakan bahwa; saya adalah manusia paling gagal sedunia. Tidak berhasrat melanjutkan kuliah yang hanya tinggal menyelsaikan sidang akhir. 

Di tempat kerja tidak pernah betah dan serius mengejar karir untuk lebih baik. Menginginkan punya anak tetapi tidak berani terhadap wanita, apa lagi menggodanya. 

Sisi kontradiktif saya seperti tanda itu---- saya benar-benar akan manusia menjadi yang paling gagal.

Akhir bayangan dari keluar kerja. Saya ingin serius menggarap karya tulis sebagai karya kedua setelah baru saja cetak karya pertama buku saya "Interpretasi Aku" sebagai karya manusia paling gagal untuk tetap semangat melanjutkan hidup.

Karena sehebat-hebatnya kata motivasi dari siapapun asalkan dari dalam dirinya sendiri tetap menyala melajutkan hidup, se-indah-indahnya kata motivasi sudah tidak diperlukan lagi bagi manusia.

Motif dan manusia memang tidak dapat terpisahkan sebagai daya hidup. Saya yang ingin membuat seorang wanita suka padan saya, supaya wanita itu mau menjadi istri saya. 

Tetapi jika dihadapkan pada kenyataan memang kontradiksi, disisi lain saya adalah pria yang patut sekali wanita benci----- di sisi lain saya berharap wanita dapat mencintai berbagai sikap saya itu. Namun apakah mungkin wanita bisa cinta dengan lelaki yang dingin dan pemikir?

Tetapi denga sikap saya, bagiamana wanita tidak ilfil (hilang feeling) pada saya. Saya bukan hanya orang yang keras hati dan pikirannya. 

Saya juga bodoh dan sering tidak focus dengan pikiran saya sendiri, yang membuat wanita jika dihadapkan dengan saya pada saat komunikasi kerja sama sendiri---- hanya membuat lelah hati wanita. 

Karena ketotololan itu sendiri yang masih sering bertanya walaupun sudah wanita jawab berkali-kali.

Bagaimana saya tidak menjadi tolol. Pikiran begitu serius, apa yang mungkin dipikiran saya tidak akan pernah ada dipikiran orang lain. Apakah saya sudah gila dengan pikiran saya sendiri? 

Dengan tulisan-tulisan yang saya garap sebagai curahan. Atau dengan buku-buku berat filsafat yang saya jadikan pedoman bagaimana hidup saya agar tidak terlalu berjarak dengan penderitaan untuk mendapat sentuhan kebijaksanaan.

Sepertinya kelahiran jika bukan dirinya sendiri yang membuat penderitaannya sendiri sumber penderitaan itu tetap orang lain. Saya yang sama sekali tidak dapat membuat asyik ketika berteman dengan wanita mungkin saja alasan saya tidak pernah memandu cinta dengan wanita sejauh ini.

Dan wanita itu mungkin selamanya tidak akan pernah cinta dengan saya terkecuali wanita itu memang sudah benar-benar jodoh saya. 

Apakah jodoh akan se-absrud itu? Sama sekali sikap yang tidak mengenakan hati tetapi tetap saja membuat jatuh hati?

Tanpa mengesampingkan berpikir rasional, saya memang sudah tidak seharusnya berharap pada wanita. Karena wanita sendiri juga sudah punya sosok ideal calon suaminya kelak.

Karena harapan sudahlah tidak untuk diharapkan lagi meskipun mempercayai Tuhan untuk mengembalikan keadaan----- pasti yang ada kita seperti manusia gila yang terus berharap-harap pada sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh manusia.

Hidup yang sudah terlajur soliter pernah kenal lebih dalam wanita juga belum. Saya yang selama hidupnya hanya bergaul dengan buku, laptop dan handphonenya sendiri. 

Sebab hidup adalah penderitaan bagi manusia menderitalah agar rasa hidup itu ada. Keadaan terbalik bukan imajinasi manusia sendiri yang menentukan tetapi kenyataan itu adalah bagian dari neraka yang tidak dapat dikesampingkan untuk dirasakan oleh manusia.

Manusia yang aneh itu adalah saya, bukan saja saya manusia bodoh. Tetapi daya kreatif yang melampaui cenderung suka dengan seni, pengetahuan, dan filsafat.

Artikel pernah saya baca menjelaskan bahwa sikap seperti saya adalah orang yang jenius. Tetapi bagimana tidak jenius dan linglung untuk "nyaman" ngobrol-ngobrol ringan (basa-basi) dengan orang lain saja saya tidak bisa, sangat sulit dilakukan. 

Saya juga canggung dalam lingkup sosial, sering melamunkan ide-ide menyendiri tetapi tidak disadari.

Mungkin sepertinya jiwa saya telah menjadi anti terhadap sosial itu. Entah mengapa hari-hari saya selalu murung. Tetapi apakah ada seseorang lain yang mengetahuinya? 

Sikap sekeptis itu, sepertinya harapan adalah kekecewaan. Dan tentang harap mengharap itu, apakah manusia layak menjadi seorang pengharap didepan dirinya sendiri?

"Jika hidup dan masih manusia; ia tidak akan pernah menjadi sempurna dibalik ketidak sempurnaan manusia lainnya yang juga sama-sama tidak sempurna. 

Oleh karena itu, letakanlah pikiranmu malam ini manusia---- beban hidupmu akan menunggu lagi esok hari. 

Maka bersabarlah engkau menunggu hari kematian itu datang, entah berpuluh atau beratus-ratus tahun lamanya engkau akan mati, bagi manusia mati adalah sebuah keniscayaan".

Tetapi apakah tanpa keresahan dan kegelisahan hidup bagi manusia "kreativitasnya" akan mati dengan sendirinya?

Kontradiksi hidup, tunjukan dimana hidup ini akan bermuara pada akahirnya sebelum hari kematian itu datang? Karena yang hidup pasti akan mati dan yang mati mungkin bisa saja ia dihidupkan kembali---- selama masih ada bentuk-bentuk energy, dimana daya-daya gerak itu kembali.

Jikalau hidup memang harus berkawan baik dengan kebebalan itu, saya sadar kesempurnaan tersebut adalah bahasa dari tuhan, angan-angan akan tuhan, dimana dan dari mana saya berasal.

Tentu di sini dapat terjawab; dari pikiran yang tidak dapat manusia nalar perwujudannya. Karena sejatinya manusia itu makhluk pencari tetapi ia sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang dicari. 

Apakah tuhan yang selama hidup manusia cari bisa tertemui? Pertanyaan itu, tersisa jika manusia percaya tuhan, bukankah kepercayaan itu ada pada: mengapa dirinya itu ada disini dan saat ini?

Yang tidak terlihat memang seperti akan menjadi kekosaongan dari hidup belaka. Manusia dan titik dimana ia akan bertemu dengan dirinya sendiri untuk eksis.

Mengapa dari kejauhan sana kata eksistensialisme yang idealis seperti kata bias jika berada dalam lingkungan kerja konvensional? 

Menjadi penurut, tanpa bertanya dan sesuailah dengan system, apakah bentuk kerja manusia konvensional dewasa ini sudah tidak manusiawi?

Atau jangan-jangan manusia pekerja kini berada dalam ketakutan itu sendiri. Manusia pekerja bukan takut pada toleransi dari kerja sebagai manusia pekerja, tetapi takut pada sistem yang sangat structural itu justru membelenggu cara kerja pekerja. 

Memang tidak mudah ketika kerja sudah diteknologikan "sistematis". Praktis manusia dengan manusia sudah tidak ada kepercayaan lagi; bahwa otak manusia dalam berpikir yang mempengaruhi tindakan jauh patut dicurigai dari pada barang mati seperti komputer yang dapat menyajikan kejujuran tanpa disadari.

Curiga dan hanya saling curiga sebagai bagian dari kerja sama, benar memang bentuk kemajuan itu, pasti meminggirkan orang-orang yang tidak maju didalammnya. 

Tetapi apakah kemajuan tidak sediki tpun dapat dipertanyakan atau dibantah mekanismenya bagimana kemajuan itu sendiri berjalan?

Jika sistem dari kerja adalah dogma baru itu dalam kehidupan manusia; memilih diam atau berbicara tidak akan berujung dan pasti tetap akan disalahkan. 

Dalam sistem: diam adalah kesalahan, berbicarapun lebih dari kesalahan itu. Dan tetap saja yang benar adalah sistem----sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. 

Dalam hal ini "kediktatoran" belumlah berhenti, ia hanya bertransformasi, lebih luas bukan hanya perkara politik, tetapi ruang-ruang hidup manusia yang lebih fundamental yakni; aktivitas untuk berpendapatan uang dari kerja mereka.

Memupuk sebagai keyakinan memang harus saya lakukan tanpa ditawar. Menulis sebagai jalan hidup, perkara berhasil atau tidak, jika behasil ya syukur, tidak juga tidak salah manusia menulis. 

Hidup adalah bentuk dari usaha, masih banyak jalan mengusahakan mempertahankan hidup dan kehidupan manusia.

"Karena itu "Yesus" berkata kepada murid-murid-Nya: janganlah khawatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan, dan janganlah khawatir pula akan apa yang hendak kamu pakai. 

Sebab hidup itu lebih penting dari makanan dan tubuh itu lebih penting dari pakaian. Manusia betapa jauhnya kamu melebihi burung-burung itu, siapakah diantara kamu yang merasa terus khawatir dengan jalan hidupnya sendiri?"

Sesuatu yang belum terjadi memunculkan banyak tanya untuk manusia. Kekhawatiran akan hidup itu sendiri rasanya wajar. 

Kita masih manusia yang punya pikiran dan berpikir secara terus-menerus memang akan dilakukan jika manusia itu masih hidup. 

Dengan berbagai kekhawatiran manusia itu hidup, maka; "tidak ada keadaan yang dilalui tanpa khawatir termasuk dalam memandang kerja diperusahaan itu sendiri bagi saya".

Karena itu uang atau "gaji" merupakan alasan paling rasional yang saya sampaikan ketika akan mengajukan surat keluar kerja ke perusahaan. 

Meskipun saya sendiri sadar dalam kerja seberapa-pun uang itu tidak akan pernah cukup---- tidak hanya saya semua manusia juga menyadari itu. 

Tetapi hal lain selain uang merupakan alasan paling beralasan dari manusia mengajukan keluar dari perusahaan tersebut. 

Entah apa itu intinya; jika manusia sudah merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri ketika berada diruang kerja konvensional secara definitive, ia pasti akan keluar kerja seperti saya.

Maka menemukan diri dengan menulis yang saya rasakan seperti saya telah menemukan cahaya didalam gelap diri. 

Setiap potensi diri manusia, saya sadar hanya dirinya sendiri yang dapat menggapainya. Namun entah mengapa dengan saya, nyatanya saya bukan anak dari priyayi, bapak-ibunya saja tidak sekolah.

Secara diakui resmi di sekolah, saya  hanya tamatan sekolah menengah pertama. Tetapi mengapa saya sangat cinta terhadap pengetahuan yang kemungkinan besar itu dicintai ilmuan dan akademisi di kampus sana?

Ini bukan saja pertanyaan tetapi alasan, apakah orang hidup harus berpengetahuan apapun latar belakangnya meskipun muda dan miskin seperti yang dijelaskan dalam Serat Wedhatama itu karya dari filsuf raja jawa Mangkunegra IV?

Namun dalam berbagai kuasa itu sebagai manusia ini memang tidak dapat ditebak. Manusia dapat tertebak menjadi apa dirinya ketika mereka punya uang untuk membeli apa yang diinginkannya. Dengan uang itu, manusia pun belum tentu jelas akan sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Seperti seorang penulis yang ingin diterbitkan bukunya, dan ia menganggap itu karya terbiaknya.

Karena proses editing yang kurang memuaskan sebagai karya dalam tulisan buku itu, ia menjadi sangat kecewa, bukan pada penerbitnya tetapi pada keputusannya menerbitkan buku.

Bahwa untuk menjadi sesuatu yang menabjubkan orang tidak dapat bekerja sendiri. Dan ketika kita ingin yang terbaik, pilihlah orang-orang terbaik, yang akan mengantarkan kita pada tujuan kita. 

Percaya pada setiap orang memang perlu, tetapi apakah semua orang dapat dipercaya ketika kita sudah berharap sebelumnya? Tentang harapan itu, apakah keyakinan akan menjadi kebenaran dikala apa yang terjadi justru malah kekecewaan?

Ini sungguh tragis, bukan saja berharap yang menjadi akar permasalahaannya, tetapi harapan itulah yang terkadang membuat manusia kecewa. 

Mungkin seharusnya harapan itu dimatikan dan jangan pernah berharap! Sepertinya menjadi "manusia" lebih baik hidup dengan kebodohannya yang tidak tahu apa-apa sebagai keutamaan. 

Karena jelas bahwa; sebagai orang bodoh yang tidak ingin apa-apa dan mengaharapkan apa-apa adalah media untuk lepas dari segala penderitaan, yang manusia itu perbuat sendiri atas dasar keinginan dan harapannya.

Tentang keyakinan pada dunia kepenulisan setidaknnya ini yang harus dipikirkan oleh saya--- menulis akan saya jadikan sebagai apa? Ajang kesuksesan untuk dilihat banyak orang seperti penulis masyur disana? 

Atau memang sebuah "katarsis" yang dia mengeluarkan unek-unek dipikirannya untuk lari dari masalah hidup? Kemudian menyeimbangkan diri melalui jalan kepenulisan itu sebagai sesuatu yang menyembuhkan diri saya?

Perkara nanti karya itu dibaca oleh jutaan orang didunia itu hanya bonus dari mimpi orang yang sakit jiwanya dan kesembuhan jiwa dari menulis sendiri haruslah menjadi hal yang paling utama.

Setiap tulisan yang saya tulis haruslah melampaui uang, ketenaran, dan kekuasaan. Bagi saya seorang "pemikir berat" menulis seharusnya hanya dijadikan katarsis, dimana menulis juga upaya dari manusia menjaga kewarasan manusia. 

Maka yakin sebagai "penulis" merupakan jalan menyembuhkan diri hidup manusia--- siapapun manusia yang menulis itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun