Diujung pulau sana, apakah gerangan bisa menjanjikan suatu kebahagiaan? Hidup memang sulit, tetapi kesulitan itu tetap diri sendirilah yang akan membuatnya. Lamunan dalam diam seperti tidak akan pernah berujung, apakah kita "manusia" tidak pernah merasa bahwa memberi "kedamaian" kepada diri kita sendiri menjadi sesuatu yang penting?
Tidakkah akan menjadi sesuatu yang  menabjubkan pada akhirnya, terkadang pengelanaan, memang hanya pengalaman pengetahuan yang akan mereka dapatkan--- bagi manusia yang dan membaktikan hidupnya untuk berkelana.
Tetapi mungkinkah pengetahuan tidak menjadi sesuatu yang penting bagi hidup manusia? Tentang pengetahuan, dia bukan hanya menjadi sangat "penting" tetapi setitik penyucian diri bagi manusia yang harus melatih dirinya untuk berpengetahuan. Karena saat manusia tahu memungkinkan bahwa dirinya dapat sadar bagaimana menjadi manusia hidup tersebut.
"Lihatlah bagaimana seseorang disana rela "treveling" menghabiskan uang tabungannya, atau dengan manusia-manusia yang rela mengikuti pelatihan-pelatihan agar mereka tahu. Dan dengan uang yang harus mereka bayar itu, bukankah mereka juga rela membayarnya demi sesuatu yang belum mereka ketahui dalam hidupnya sendiri?"
Inilah yang terkadang menjadi pertanyaan mendasar itu, sebenarnya hidup manusia, pada hakekatnya mencari apa? Atau kah manusia hidup hanya mencari uang, lalu manusia akan dapat membeli semuanya termasuk pengetahuan yang dirinya perlukan sebagai jalan hidup?
Uang memang benar merupakan jalan untuk tahu, tetapi dengan orang-orang yang sedikit dalam hidupnya menghasilkan uang--- didalam hari-harinya bekerja menghasilkan uang, apakah mereka tidak perlu dalam hal berpengatuan, yang pada intinya dapat melampaui uang itu sendiri ketika sebuah pengetahuan itu digali peruntukannya mecapai titik sadar dalam hal apapun?
"Karena apapun sebelum adanya uang, mereka "manusia" harus berpengetahuan. Sebab uang itu tercipta juga karena pengetahuan, untuk kemudahan hidup yang harus ditukarkan pasa setiap narasi kehidupan".Â
Yang tidak pernah terbagi, memang itu tidak harus digarap dengan suatu yang "harus". Namun dengan apa yang dibutuhkan manusia untuk hidup, ia "manusia" bukan harus memperjuangkan, tetapi ditunaikan sebagai suatu bahan bawasannya; "hidup memang mencari sesuatu, sebab dari sesuatu itu, ia akan terus menjadi sesuatu nilai---- nilai yang akan berarti untuk hidup manusia itu sendiri".
Lelah yang tidak tergambar, sesuatu yang memang harus terbayar, saya dengan berbagi pertimbangan pemikiran, adakalanya  didalam renungan hidup saya sendiri. Tentang uang yang tidak dapat membeli kesenang saya seluruhnya, pada akhirnya uang juga sama fungsinya  yaitu bahan mengumpulkan pengetahuan apapun bentuknya, sesuatu saat ini butuh uang didalamnya.
Tetapi apakah untuk manusia yang "berpengetahuan", ia harus berkelana jauh kesudut-sudut dunia yang tidak terketahui banyak orang dengan uang-uang yang harus mereka belanjakan sebagai akomodasi kesana?
Pertanyaan tetap mengundang ingin menjawabnya ,tetapi dengan berbagai pertanyaan yang tidak terjawab itu, apakah saya harus terus ditanyakan pada akhirnya?Â
Pendapatan akan uang yang sudah tidak mungkin bagi saya "lebih" sebatas gaji UMK "Upah Minimum Kabupaten" di Jawa Tengah untuk berkelana jauh dari kampung halaman. Realitasnya gaji setiap bulan hanya cukup untuk makan, "dimana treveling jauh memang sudah tidak mungkin untuk dikejar".
"Oleh karena itu saya harus berpengetahuan dengan sumber daya yang ada, membeli buku-buku, menonton video di youtabe, atau baca-baca artikel di website yang dalam segi biaya sendiri lebih murah dan hakekatnya sama untuk berpengetahuan".
Namun kerinduan untuk berkelana, memang adakalanya datang, saya juga ingin merasakan energy dari semseta bagaimana spiritnya berbicara, memberi tahu, dan memberi suatu pengetahuan baru pada saya. Tentang tempat-tempat bersejarah itu, apakah sebagai bentuk "pengetahuan" orang tidak berhasrat untuk mengunjunginya selagi masih ada waktu?
Tentu orang yang berhasrat tinggi pada pengetahuan seperti saya, hidupnya mungkin harus terus dalam pengelanaan itu, supaya saya sendiri terpuaskan secara lahir dan batin. Karena dalam sabda "Plato" seprang filsuf Yunani kuno juga pernah berkata bahwa: "ilmu adalah makanan bagi jiwa manusia".
Maka ketika memang pendapatan akan uang dari kerjanya tidak dapat membeli hasrat akan mengtahuinya, haruskah sebagai manusia, saya harus kembali berkelana sekaligus mencari uang untuk penghidupan saya? Dimana sebagai manusia, saya harus berkelana jauh lagi memandang dunia untuk hidup?
Sesuatu yang rancu, ia terpola bukan dari bagaimana minat "hidup" pada akhirnya berbicara. Lamunan itu adakalanya ia datang bersama angin-angin yang menyelimuti kalbu, bawasannya  sebagai bentuk pertanyaan itu, mungkinkah hidup manusia dapat terpenuhi kebutuhannya sekaligus terpenuhi kebutuhan batinnya ( jiwanya) akan pengetahuan sebagai dari makanan-makanannya dalam berkelana sekaligus mencari uang?
Kebutuhan akan hidup dengan badan yang terus menerus ingin dipenuhi kebutuhannya dengan dibeli seperti makanan yang harus mereka "manusia" asup, juga pakaian yang harus mereka itu pakai, dan tempat-tempat berteduh untuk melindungi dirinya sebagai manusia, haruskah itu lebih diutamakan sebagai peranan utama dibalik kebutuhan akan pengetahuan yakni; butuh sebagai makanan kejiwaannya sendiri?
Dalam setiap pengelanaan, kebutuhan untuk tahu, bahkan kebutuhan untuk memenuhi hidup dari makan-makan kita sebagai manusia, yang butuh makan untuk hidup itu sendiri melanjutkan kehidupan. Memang benar dalam pengelanaan itu mencari kebutuhan badan dan kebutuhan jiwa harus sama-sama terpenuhi sebagai kebutuhan hidup manusia.
Karena sebagai manusia, bukan hanya "hidup" namun dalam perjalanannya akan terus untuk memenuhi kebutuhannya hidupnya sendiri--- dibalik memenuhi apa yang kurang dari dirnya termasuk memenuhi segenap rasa yang kurang untuk diri dan hidupnnya.
Berbagai rasa yang kurang sebagai manusia, memang sadar atau tidak disadari ia akan terus hadir bagaikan arwah-arwah yang bergentayangan sebagaimana dirinya--- juga bergentayangan dalama wacana untuk hidup didunia ini. Mungkinkah tanpa pengetahuan manusia akan menjadi badan-badan yang bergentayangan ataukah manusia adalah badan-badan yang hidup saja?
Apa mungkin hidup tidak untuk berpengetahuan? Hidup--- "hidup" saja seperti binatang-binatang pada umumnya? Tetapi jika manusia hidup hanya "hidup" saja, bagaimana pertanggung jawaban manusia sebagai makhluk yang katanya "cahaya" pembawa pengetahuan bagi dunia ini?
Sebagai binatang yang berpikir itu, peradaban memang bukan hanya milik manusia, tetapi juga milik-milik semua mahkluk-makhluk yang ada. Tetapi manusia sebagai mahkluk yang dapat berpikir membawa laju kehidupan dunia, apakah mungkin manusia tidak pernah berpikir bahwa; kehidupan dunia haruslah sesuai dengan apa yang dicitakannya sebagai ideal? Â Â
Bahkan untuk menjadi berkepribadian itu, manusia harus mampu membahagiakan dirinya sendiri terlebih dahulu apapun keadaannya? Supaya hidup tidak menuntut yang lain, tentu untuk membahahagiakan diri sendiri oleh kehadiran mereka "manusia" lain.Â
Karena saat hidup manusia cukup dengan dirinya sendiri, saat itulah hidup manusia tanpa tuntutan, ia tidak akan pernah menuntut, meskipun hidup harus dalam pengelanaan-pengelanaan itu.
Menjadi manusia pengelana; bukan berarti tidak menyukai dunia sosial yang masyarakat bangun sebagai yang "umum", tetapi tidak ada manusia yang tidak suka dengan kehidupan sosial yang ada kini. Semua manusia secara naruliah pasti menginginkannya; bersosial dengan sehat. Karena sejatinya manusia adalah mahkluk sosial. Namun tetapi, apakah benar tentang menjadi sosial itu tanpa ide bersosial sebagai manusia?
Tanpa ide bersosial manusia tidak akan menjadi apa-apa termasuk menjadi manusia itu sendiri. Oleh karena itu saya menyadari sebagai manusia dan mahluk sosoial didalammnya bahwa; menjadi sosial itu tidaklah harus mengikuti pakem yang disepakati menurut perspektif manusia lain.
Manusia bersosial sejatinya harus membawa dirinya dengan autentik. Terkadang dalam pengelanaan mengenal banyak budaya, bersosial dari tempat-tempat yang mereka singgahi membantu manusia menjadi sosial itu sendiri secara orisinil. Tentu karena bekal pengetahuan yang mereka sudah ketahui sebelumnya.
Dan saya yang sudah hidup dalam pengelanaan itu selama bertahun-tahun lamannya paham betul, memang ketika manusia sumpek dengan kehidupannya, sumpek dengan rutinitasnya, atau bahkan sumpek dengan dunianya dan dirinya sendiri, menjadi manusia berkelana merupakan sebuah jawaban itu bagi siapa pun asal dia masih manusia.
Dalam sebuah pengelanaan sesuatu yang berbeda akan manusia ketahui, bersama lingkungan yang baru, orang-orang yang baru, dan juga suasana yang baru, tentu akan mereka rasakan sebagai sebuah pengalaman yang tentu juga baru--- jawaban dari hidup seutuhnya untuk mencapai kesadaran hidup sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H