Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

PHK dan Krisis Kepercayaan Melamar Wanita

23 April 2020   12:48 Diperbarui: 28 April 2020   15:30 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dunialukisan-javadesindo.blogspot.com

"Langkahku semakin lelah berjalan menyusuri. Mondar-mondir ditengah keramaian kota. Hati yang bingung lamaran kerja di tolak. Enggak tahu kenapa mungkin  kurang syaratnya. Andai saja aku punya harta yang melimpah. Aku tak kan terhina. Pikir-pikir dari pada ku melamar kerja lebih baik aku melamar kamu!"

Saya teringat beck sound lagu sinetron dulu, kala ketika sinetron Gengsi Gede-Gedan menjadi tayangan menarik sinetron pilihan waktu itu. Usia saya memang saat itu sekitar tahun 2000-an terbilang masih bau kencur, bahakan belum duduk di bangku SMP masih SD. Namun tayangan Televisi berlebel sinetron,  yang saya rasa sebagai hiburan terbaik tidak ada pilihan lain.

Tetapi saat itu masih sangat sedikit referensi pilihan tayangan sinetron yang ada, dimana pada intinya sinetron lain masih berkutat pada warisan dan harta kekayaan. Channel Televisi saja belum seperti sekarang. Di desa masih hitungan jari, itupun belum semua gambar channel televisi sudah bagus. Masih banyak kata orang desa semut yang ada di televisi, menggambarkan sinyal televisi yang masih kurang bagus.

Karena bagi orang desa seperti saya, sinetron seperti tontonan wajib membunuh waktu dikala setelah magrib tiba untuk bercengkrama juga dengan keluarga. Bahkan budaya menonton sinetron tersebut, masih digunakan masyarakat desa seperti desa saya, yang masih menggandrungi sinetron, termasuk sebagai aktivitas membunuh waktu ketika setelah magrib tiba.

Keponakan-keponakan saya-pun sama, menonton sinetron lagi seperti saya dahulu untuk membunuh waktunya menjelang kantuk tiba. Mungkin kuatnya minat pada sinetron saat ini disebabkan karena sinyal internet didaerah saya masih minim. Buat browsing internet saja susah sekali jikalau didalam rumah. Saya saja kadang merasa kesal. Mengapa lamban sekali insfrastrukture Telekomunikasi masuk ke desa kami. Terasa jika keluar desa, ketimpangan sinyal intenet menjadi ganjalan suara hati. Diabad 21 ini yang katanya jaman digital masih ada saja ketimpangan sinyal.

Padahal desa di pinggiran Kabupaten Cilacap ini banyak warganya sekitar 5000-an. Sedangkan ponakan saya yang berjumah dua  orang saja sudah pegang smart phone satu-satu. Belum orang tua mereka. Saya kira kebutuhan layanan internet di desa saya juga tinggi, meskipun sinyal kurang dan susah digunakan ketika didalam rumah. Abad ke 21 jamanya sudah digital, dimana internet merupakan kebutuhan utama baik untuk hiburan maupun kerja tidak orang desa maupun kota kebutuhannya sama didepan internet.

Kembali berbicra sinetron, tidak ada bedanya memang kalau dilihat jaman sekarang memandang sinteron. Saya berkaca pada keponakan-keponakan saya. Anak TK atau anak SD nontonnya "Anak-Anak langit", yang isinya geng, cinta, dan keglamoran". Mungkin karena peradaban saat ini, mengapa sinetron dewasa ini selalu saja mengobjektifikasi bahwa kekayaan, kekuasaan, dan serta kepemilikian barang mewah menjadi bahan mereka bercerita.

Ekonomi yang setabil atau pergeseran budaya telah mengubah hal tersebut. Mengubah kepada hal mendasar cerita sinetron kotemporer dengan wadah semakin menawarkan sikap konsumeris kepada penontonnya. Bahkan menggiring penonton untuk seperti dalam cerita tersebut. Yang didalam ceritanya disisipi prodak-prodak sponsor yang justru mengubur estetika cerita. Bahkan esensinya sering terjadi yang terpenting produknya laku.  

Tidak mengindahkan realita sosial yang terjadi merupakan ciri sinetron saat ini.

Tatanan kelas ekonomi atas selalu menjadi cermin mereka "sinetron" untuk bercerita.

Sehingga membawa penonton untuk merasa bahwa yang cenderung menjadi manusia diterima adalah mereka para kelas-kelas atas dalam ekonomi. Mungkinkah karena penduduk Indonesia kebanyakan merupakan kelas bawah dan menengah?  Sebab banyak dari mereka belum pernah merasakan menjadi kelas atas. Jadi fiksi cerita sinetron tersebut juga untuk membangkitkan emosi mereka konsumen sinetron yang justru adalah menengah ke bawah.

Tidak ada progres cerita lebih baik dari sebelumnya pasca sinetron "Gegsi Gede-gedean" yang bercerita bagaimana kondisi sosial waktu itu pasca krisis tahun 1998. Dimana pengangguran ada dimana-mana. Bingung mencari kerja. Dan kehidupan ala pemuda kampung pasca krisis menjadi bahan cerita, tetapi tidak lupa bahwa kehidupan cinta anak muda tetap harus jalan apapun strata sosialnya.

Berbeda dengan sinetron saat ini dimana keglamoran anak muda, kemapanan kerja, serta kemampuan daya beli menjadi dalih dari delik percintaan secara rasa patut anak muda. Saya sendiri, saya terkesan mider mendekati wanita, apa lagi melamar tanpa ada pekerjaan. Karena diabad ke-21 ini, punya penghasilan tetap seperti tawaran menggiurkan menarik cinta anak muda yang ingin melangsungkan ranah berkeluarga.

Oleh sebab itu dalam wacana pemikiran kita, saat ketika tidak punya pekerjaan, penghasilan tetap, kita sudah tidak peduli cinta itu harus jalan dengan pernikahan. Banyak dari kita berpikir mending cinta tidak jalan dalam pernikahan ketika menjadi seorang pengangguran atau baru terkena PHK oleh perusahaan saat bekerja.

Perbedaan yang tipis antara krisis ekonomi 1998 dan pandemi covid-19 saat ini juga berangsur mengubah segalanya  seperti saat pasca krisis ekonomi 1998. Tetapi apakah perubahan sosial yang terjadi akan sama seperti dulu pasca 1998? Dimana kualitas sinetron, dunia percintaan, serta realita-realita sosial akan tersorot lagi membangkitkan daya-daya kepercayaan manusia yang ikut krisis akibat krisis ekonomi ini?

Kompleksnya dunia sosial pasca krisis covid-19

Siapa yang akan menyangka virus Covid-19 benar-benar akan melumpuhkan ekonomi dan menciptakan krisis sebagain besar Negara-negara di dunia. Media yang memberitakan covid-19 ini juga tidak ada henti-hentinya. Bahakan di Negara Ekuador sendiri, mayat dibiarkan tergeletak mati katanya akibat dari covid-19. Tetapi saya tidak ingin berlarut-larut memahami covid-19.  Pada akhirnya saya sendiri terkena dampaknya, bukan covid-19-nya tetapi krisis ekonomi yang diakibatkan oleh covid-19. Saya terkena PHK atau pemberhentian kerja dari perusahaan saya tempat saya bekerja.

Jelas siapa pun kaget dengan yang dinamakan pemberhentian kerja (PHK). Apa lagi ini abad 21 ketika uang dan kerja menjadi dalih manusia untuk eksis secara mendalam. Dimana kemendalaman itu mempengaruhi kehidupan sosial mereka. Sebab tawaran akan kerja dan uang yang dihasilkan merupakan cermin dari tidak tanduk mereka untuk dihargai secara sosial, termasuk dalam upaya-upaya percitaan anak muda.

Tidak dipungkiri kerja dan punya uang tetap akan menarik mereka lawan jenis untuk mau hidup bersama kita. Apa-apa yang sudah membutuhkan uang untuk eksis, membawa dunia pada krisis ekonomi merupakan pukulan yang berat untuk masyarakat. Manusia abad ke-21 tidak dapat dilepaskan dari uang. bahkan: "kekuasaan dan uang" akan terus menjadi dalih manusia eksis ditahapan abad-abad berikutnya pasca abad ke- 21.

Tentu upaya semu ini menjadi sebuah kebenaran karena bebrapa faktor media yang saat ini cepat berkemabang mempengaruhi sendi kehidupan dari mode, hingga gaya hidup populer saat ini, seperti sinetron-sinetron yang mengerdilkan mental dengan kegalamoran untuk para konsumennya. Belum dengan media social yang terus meracuni hidup manusia bereksistensi supaya kekinian, modis, dan segalam macamnya memungkinkan mereka dapat menjadi selebriti di media sosial.

Maka hidup tanpa kerja dan uang adalah mimpi buruk tersmasuk saat akan mendekati atau melamar wanita bagi pria.

Bahwa; tidak kerja otomatis tidak ada pula uang. Jelas akan sangat mempengaruhi krisis kepercayan terhadap bagiamana ingin melamar wanita tersebut. Belum dengan calon mertua, melamar anaknya dengan status pengangguran. Orang tua sendiri saja mungkin sedih jika anaknya menjadi beban keuangannya ketika sudah dewaasa, apa lagi calon mertua yang tidak melahirkan kita.

Tantangan. Setiap krisis ekonomi merupakan sebuah tantangan besar bagi kehidupan manusia. Mungkin pemikiran pada sinetron "Gengsi Gede-gedean" waktu itu pasca krisis ekonomi 1998 ingin menunjukan bahwa factor manusia harus menjadi penarik apapun starata social dan ekonominya; termasuk dalam hal percintaan anak muda. Untuk itu ide-ide baru dalam mempengaruhi sosial pasca krisis ekonomi pandemi covid-19 haruslah sama, mengankat harkat dan martabat manusianya.

Namun apakah mungkin jika dari peradaban sendiri saja sudah berbeda, dimana faktor peradaban abad ke-21 dan majunya kapitalisme sudah mempengaruhi hidup kita saat ini? Faktor uang dan kerja menjadi pemantik ketertarikan mereka dalam menjadi manusia? Dan gengsi sebagai manusia yang sudah terpinggirksan dengan mode dari gaya hidup yang glamor, serta jaminan pada kondisi ekonomi yang mapan? Tetap faktor manusia akan menjadi fokus utama nanti pasca krisis covid-19 dalam memepngaruhi kegidupan sosial?

Mulai hari ini PHK dan krisis ekonomi adalah mimpi buruk setiap manusia. Tidak hanya yang sudah berkeluarga, tetapi juga dengan seseorang yang akan membina keluarga. Setiap manusia kini tidak dapat lepas dari ekonomi, bahkan untuk hidup nyaman dan tentram harus selalu mempunyai uang. Maka dibalik krisis ekonomi akan selalu menjadi biang dari awalnya krisis kepercayaan. Untuk itu dalam membangun kembali tatanan pasca krisis ekonomi, bukan hanya daya beli dan produksi yang dibenahi, tetapi manusia didalamnya juga harus terbenahi dengan baik.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun