Sehingga membawa penonton untuk merasa bahwa yang cenderung menjadi manusia diterima adalah mereka para kelas-kelas atas dalam ekonomi. Mungkinkah karena penduduk Indonesia kebanyakan merupakan kelas bawah dan menengah? Â Sebab banyak dari mereka belum pernah merasakan menjadi kelas atas. Jadi fiksi cerita sinetron tersebut juga untuk membangkitkan emosi mereka konsumen sinetron yang justru adalah menengah ke bawah.
Tidak ada progres cerita lebih baik dari sebelumnya pasca sinetron "Gegsi Gede-gedean" yang bercerita bagaimana kondisi sosial waktu itu pasca krisis tahun 1998. Dimana pengangguran ada dimana-mana. Bingung mencari kerja. Dan kehidupan ala pemuda kampung pasca krisis menjadi bahan cerita, tetapi tidak lupa bahwa kehidupan cinta anak muda tetap harus jalan apapun strata sosialnya.
Berbeda dengan sinetron saat ini dimana keglamoran anak muda, kemapanan kerja, serta kemampuan daya beli menjadi dalih dari delik percintaan secara rasa patut anak muda. Saya sendiri, saya terkesan mider mendekati wanita, apa lagi melamar tanpa ada pekerjaan. Karena diabad ke-21 ini, punya penghasilan tetap seperti tawaran menggiurkan menarik cinta anak muda yang ingin melangsungkan ranah berkeluarga.
Oleh sebab itu dalam wacana pemikiran kita, saat ketika tidak punya pekerjaan, penghasilan tetap, kita sudah tidak peduli cinta itu harus jalan dengan pernikahan. Banyak dari kita berpikir mending cinta tidak jalan dalam pernikahan ketika menjadi seorang pengangguran atau baru terkena PHK oleh perusahaan saat bekerja.
Perbedaan yang tipis antara krisis ekonomi 1998 dan pandemi covid-19 saat ini juga berangsur mengubah segalanya  seperti saat pasca krisis ekonomi 1998. Tetapi apakah perubahan sosial yang terjadi akan sama seperti dulu pasca 1998? Dimana kualitas sinetron, dunia percintaan, serta realita-realita sosial akan tersorot lagi membangkitkan daya-daya kepercayaan manusia yang ikut krisis akibat krisis ekonomi ini?
Kompleksnya dunia sosial pasca krisis covid-19
Siapa yang akan menyangka virus Covid-19 benar-benar akan melumpuhkan ekonomi dan menciptakan krisis sebagain besar Negara-negara di dunia. Media yang memberitakan covid-19 ini juga tidak ada henti-hentinya. Bahakan di Negara Ekuador sendiri, mayat dibiarkan tergeletak mati katanya akibat dari covid-19. Tetapi saya tidak ingin berlarut-larut memahami covid-19. Â Pada akhirnya saya sendiri terkena dampaknya, bukan covid-19-nya tetapi krisis ekonomi yang diakibatkan oleh covid-19. Saya terkena PHK atau pemberhentian kerja dari perusahaan saya tempat saya bekerja.
Jelas siapa pun kaget dengan yang dinamakan pemberhentian kerja (PHK). Apa lagi ini abad 21 ketika uang dan kerja menjadi dalih manusia untuk eksis secara mendalam. Dimana kemendalaman itu mempengaruhi kehidupan sosial mereka. Sebab tawaran akan kerja dan uang yang dihasilkan merupakan cermin dari tidak tanduk mereka untuk dihargai secara sosial, termasuk dalam upaya-upaya percitaan anak muda.
Tidak dipungkiri kerja dan punya uang tetap akan menarik mereka lawan jenis untuk mau hidup bersama kita. Apa-apa yang sudah membutuhkan uang untuk eksis, membawa dunia pada krisis ekonomi merupakan pukulan yang berat untuk masyarakat. Manusia abad ke-21 tidak dapat dilepaskan dari uang. bahkan: "kekuasaan dan uang" akan terus menjadi dalih manusia eksis ditahapan abad-abad berikutnya pasca abad ke- 21.
Tentu upaya semu ini menjadi sebuah kebenaran karena bebrapa faktor media yang saat ini cepat berkemabang mempengaruhi sendi kehidupan dari mode, hingga gaya hidup populer saat ini, seperti sinetron-sinetron yang mengerdilkan mental dengan kegalamoran untuk para konsumennya. Belum dengan media social yang terus meracuni hidup manusia bereksistensi supaya kekinian, modis, dan segalam macamnya memungkinkan mereka dapat menjadi selebriti di media sosial.
Maka hidup tanpa kerja dan uang adalah mimpi buruk tersmasuk saat akan mendekati atau melamar wanita bagi pria.