Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Covid-19 dan Kejengahan Berpikir

2 April 2020   23:12 Diperbarui: 3 April 2020   15:09 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: kompas/DIDIE SW)

Seperti kehilangan satu bab dalam kehidupan. Memang disaat manusia memaknai sebauh rasa pada setiap bentuk kehidupannya, ia bukan hanya akan menjadi sepucuk kepentingan tetapi menjadi hal-hal yang tentunya meyakinkan. 

Bawasanya kehidupan ini, tetap akan menunjukan bagaiamana manusia akan menjalani hidup yang pada dasarnya, ia tidak dapat bertumpu pada oraang lain melainkan; ia harus menjalani hidup ini dari dan untuk dirinya sendiri.

Setiap bentuk kekhawatiran dari hidup, ia tidak akan berarti dikala perut-perut manusia itu sendiri mulai lapar. Panas, hujan, ataupun badai menghadap manusia sekalipun, yang dalam ruang hidupnya sendiri telah menjadi teman tidak dapat ditinggalkan.

Namun manusia dalam wacana pemikiranya, apa yang merugikan haruslah dihindari. Tetapi kenyataan hidup itu merupakan buah-buah dari sisi kontradiktif yang harus diterima oleh manusia. 

Karena kebutuhan untuk makan sendiri, lebih wajib dari pada setiap hari ia "manusia" harus ibadah menatap surga. Sebab tanpa perut merasa kenyang, surga adalah janji yang bohong dikhayalkan oleh manusia.

Bahkan dalam situasi dimana mencari makan disandingan dengan potensi terkena penyaikit melalui virus corona atau covid-19 misalnya atau dengan ancaman-ancaman penyakit lain. 

Apakah benar manusia akan menurut pada ketakutannya akan penyakit itu, jika kepentingan akan kebutuhan makannya sendiri tidak terpenuhi? Seringkali saat pikiran ditaburi berbagai informasi ragam ketakutan, keganasan, atau dengan doktrin-doktrin yang mereka terima tentang kehidupan sengsara menjadi manusia adalah wadah sebuah kekhawatiran.

Tetapi tentang bagaimana pikiran itu mempengaruhi. Dalam satu titik pikiran manusia mampu melampaui ketakutan untuk menjadi sebuah keberanian. 

Karena tentu permainan pikiran merupakan salah satu kelemahan manusia di balik gagahnya sifat alamiahnya menaklukan alam dengan berbagai ancaman yang akan diterima. 

Di sini jelas, alam dan interpretasi keganasannya seringkali mengancam. Namun perkara ancaman itu, bukankah kehendak manusia hanya untuk bertahan hidup di dunia? Dimana salah satu cara yang tidak dapat ditinggalkan adalah kebutuahan untuk makan?

Oleh sebab itu seberapa pun takut pikiran manusia mempengaruhi kehidupannya, ketakutan paling nyata adalah bagaimana ia sendiri tidak dapat makan, sebab disana "manusia" tidak dapat melanjutkan kehidupan.

Maka ancaman apapun, tidak akan pernah mempan dalam pikiran jika manusia memang belum tercukupi kebutuhannya untuk makan.

Kebutuhan makan merupakan distrosi dari pikiran, karena seberapa hebat pemikiran, ia tidak akan pernah jalan ketika perut manusia belum merasa kenyang.

Ketakutan apapun yang timbul dalam semesta wacana pemikiranya memalui media keterpengaruhan, sebenarnya ia hanya mempengaruhi perut-perut manusia yang sudah kenyang dan hidup tanpa kekhawatiran.

Maka kabar yang setiap hari berhembus dimedia sana merupakan alat untuk menyasar orang-orang yang sudah kenyang perutnya tersebut untuk mempengaruhi pikirannya, lalu ia akan memperngaruhi manusia-manusia lain disekitarnya.

Sebagai argument sendiri, apakah dengan berbagai isu ketakutan masyarakat dunia akan virus Covid-19 ini mempengaruhi manusia-manusia yang lapar butuh makan?

Tentu tidak demikian, seseorang yang lapar dan tidak punya apa-apa lagi untuk memenuhi kebutuhan makannya seperti uang, atau bahan makanan misalnya. Tetap manusia akan berontak mencarinya meskipun dengan rasa ketakutan untuk melawan pikirannya sendiri. Begitu pula dengan Negara dimana mereka takut melakukan karantina wilayahnya. 

Mereka adalah Negara-negara lapar yang takut dan khawatir tidak dapat makan atau berjalan hidup dihari depan, yang dalam semesta wacananya sendiri tetap yang dipikirkan adalah ekonomi. Sebab jika negara bangkrut secara ekonomi, meraka orang-orang yang ada di dalam Negara sendiri yang justru sebenarnya takut mati kelaparan.

"Indonesia" juga Negara lapar

Covid-19 dan ungkapan karantina wilayah merupakan satu dari berbagai kata ketakuan pikiran masyarakat Indonesia yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam wacananya sendiri, media di indonesia sangat gencar memberitakan kasus covid-19 dengan narasi ketakutan. Tetapi dari sekian banyak pengonsumsi kuat media adalah mereka kelas menengah yang mapan secara ekonomi, memungkinkan perut mereka dapat tetap kenyang walaupun selama setahun ini issu virus corona atau covid-19 tetap berlaku?

Tetapi berbeda dengan kelas bawah yang secara ekonomi sendiri untuk kebutuhan makan sangat rentan. Mana peduli mereka terhadap media, atau tentang omongan tetangga.

Bahkan omongan para birokrat sendiri yang menganjurkan tetap di rumah atau tidak mudik misalnya untuk warga perantaun ke kampung halaman takut menularkan virus Covid-19. Untuk itu mungkinkah anjuran-anjuran dalam bentuk pesan sendiri tanpa tindakan yang terasa akan benar-benar dilaksanakan?

Tentu ini bukanlah pilihan yang baik dan bijaksana. Ketika "katakanlah" para perantau dengan adanya isu-isu terhadap penularan covid-19 yang melumpuhkan ekonomi kota, yang penduduknya didominasi kelas menengah-atas.

Jika ekonomi lumpuh dan perantau hanyalah menghuni pos kelas bawah rentan secara ekonomi di perantauan, yang bergantung pada aktivitas ekonomi kota dan aktivitas itu lumpuh, bagaimana mereka akan bertahan hidup di kota? Mungkikah manusia akan makan aspal dan beton-beton di kota?

Warga kelas bawah kota yang didominasi pengungsi ekonomi dari desa, tentu juga sama masih manusia yang tidak takut apapun meskipun pikirannya terpengaruh ketakutan akan informasi di media terkait dengan virus covid-19 itu ketika perutnya sendiri lapar, dan takut akan kelaparan dimasa yang akan datang dengan tetap nekad mudik ke desa. 

Ketika di desa mereka para pengungsi ekonomi di kota masih dapat makan. Karena dalam kondisi "krisis" desa lebih tahan secara ekonomi dari pada perkotaan, sebab pertanian masih dapat berjalan memungkinkan manusia masih dapat makan.

Maka wacana hanya sampai kepada wacana kembali. Mungkin gembor-gembor Stay at Home atau Work form Home hanya berlaku untuk para karyawan kerah putih (kantoran) atau keluarga kalangan menengah ke atas yang tidak rentan secara ekonomi. Berbeda dengan karyawan rendahan (pekerja kasar) atau buruh-buruh rendahan yang dibayar sesuai pekerjaan.

Meskipun anjuran dari birokrat Negara dan elit negara untuk menjaga diri supaya tidak terpapar virus covid-19 dengan tetap dirumah atau kerja dari rumah, hanyalah status saja seolah-olah Negara melalui pemerintah memberi perhatian terhadap warganya. 

Namun dalam pelaksanaanya sendiri, birokrat dalam hal ini orang-orang dalam pemerintahan Negara, yang secara ekonomi berstatus menengah ke atas dan menumpang hidup dari keberadaan Negara, juga sebenarnya takut jika Negara melakukan karantina wilayah. Mereka takut Negara bangkrut dengan mematuhi undang-undang Negara yang harus memberi makan masyarakat selama karantina wilayah .

Oleh sebab itu istilah Negara Indonesia juga lapar sebenarnya bukan negaranya yang miskin tetapi para birokrat yang takut miskin ketika Negara bangkrut.

Mungkin inilah sebab mereka melakukan kebijakan terkait kesehatan masyarakat dalam hal pencegahan virus covid-19 cenderung kontradiktif. Mereka mengingikan kebijakan karantina wilayah dengan tetap dirumah, atau kerja dari rumah.

Namun lepas tanggung jawab tidak mau menanggung apa yang menjadi kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan dasarnya yakni kebutuhan makan.

Negara Indonesia yang lapar ini melakukan kebijakan arahnya tetap pada tujuan ekonomi supaya tidak bangkrut. Maka dari itu kebijakan termasuk penggelontoran dana beratus-ratus trilyun dalam pencegahan virus covid-19 sendiri merupakan kebijakan yang tidak ramah penanganan covid-19 untuk kesehatan masyarakat.

Penghapusan biaya listrik sendiri selama masa darurat bencana covid-19 bukanlah solusi tepat, yang dimasa selanjutnya karena listrik harganya sendiri dapat dimonopoli Negara, bisa terjadi ketika sudah tidak darurat bencana harga listrik dinaikan, mengamankan lagi uang Negara pada akhirnya masyarakat-masyarakat juga yang terkena imbasnya nanti.

Atau dengan program-program pemerintah melalui keluarga harapan dan sebagaianya atau dengan kartu pra kerja, yang dapat angin segar tambahan anggaran, bukankah itu program rutin pemerintah, bukan upaya penanganan kesehatan masyarakat terkait kesehatan?

Upaya apa yang dilakukan pemerintah Negara indonesai tidak lebihnya hanyalah politik etis dalam penanganan virus covid-19?

Disisi lain proyek-proyek pemerintah seperti pekerjaan umum dij alan raya pembuatan saluran air masih berjalan, anehnya birokrat berjalan-jalan keliling di jalan-jalan raya nasional dengan menyemprot cairan Disinfektan.

Bukankah jika kesehatan masyarakat nomer satu proyek-proyek tersebut diberhentikan dahulu, sebab dalam pengerjaannya sendiri merupakan elmen masysrakat yang bekerja dan mereka juga butuh kesehatan?

Negara yang para birokratnya lapar akan selalu lamban dalam penyelsaian masalah baik bencana atau apapun yang melibatkan anggaran Negara. Maka tidak heran disaat Negara lain bereaksi atas pandemic virus covid-19 mementingkan kesehatan masyarakat.

Indonesia sendiri justru mementingkan ekonomi dan membuat kebijakan yang justru tidak ramah kesehatan masyarakat. Membuat aturan dan himbauan ini dan itu tetapi hanya omong tanpa tindakan sesuatu yang berarti.

Seperti janggalnya keputusan yang dapat berubah setiap jam yang tadinya tidak dihimbau mudik, kini berubah menjadi diperbolehkan demi untuk terjaganya iklim ekonomi Negara indonesai.

Covid-19 dan tentang sebuah kejengahan aturan dan himbauan, maupuan gemboran media abal-abal ingin hidup dengan issu, terpenting ada konsumsi dan ekonomi untuk media tersebut jalan. Pada dasarnya pemerintah Indonesia yang lapar tidak pernah serius untuk penanganan kesehatan masyarakat. 

Umumnya Negara lapar, ia butuh makan-makan dan makan, siapakah yang kurang makan tersebut dan tidak pernah kenyang, adalah orang-orang yang ada dalam pemerintahan negara.

Disaat masyarakat butuh sehat, Negara melalui pemerintahannya justru lamban dalam mengambil kebijakan, bahakan membuat kebijakan tetap tidak pro rakyat (masyarakat).

Maka selamanya Negara juga termasuk penjajah yang mementingkan dirinya bukan rakyatnya sebagai prioritas utama, membuat kebijakan justru lebih menguntungkan banyak gelintir orang yang ada di dalamnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun