Bahkan omongan para birokrat sendiri yang menganjurkan tetap di rumah atau tidak mudik misalnya untuk warga perantaun ke kampung halaman takut menularkan virus Covid-19. Untuk itu mungkinkah anjuran-anjuran dalam bentuk pesan sendiri tanpa tindakan yang terasa akan benar-benar dilaksanakan?
Tentu ini bukanlah pilihan yang baik dan bijaksana. Ketika "katakanlah" para perantau dengan adanya isu-isu terhadap penularan covid-19 yang melumpuhkan ekonomi kota, yang penduduknya didominasi kelas menengah-atas.
Jika ekonomi lumpuh dan perantau hanyalah menghuni pos kelas bawah rentan secara ekonomi di perantauan, yang bergantung pada aktivitas ekonomi kota dan aktivitas itu lumpuh, bagaimana mereka akan bertahan hidup di kota? Mungkikah manusia akan makan aspal dan beton-beton di kota?
Warga kelas bawah kota yang didominasi pengungsi ekonomi dari desa, tentu juga sama masih manusia yang tidak takut apapun meskipun pikirannya terpengaruh ketakutan akan informasi di media terkait dengan virus covid-19 itu ketika perutnya sendiri lapar, dan takut akan kelaparan dimasa yang akan datang dengan tetap nekad mudik ke desa.Â
Ketika di desa mereka para pengungsi ekonomi di kota masih dapat makan. Karena dalam kondisi "krisis" desa lebih tahan secara ekonomi dari pada perkotaan, sebab pertanian masih dapat berjalan memungkinkan manusia masih dapat makan.
Maka wacana hanya sampai kepada wacana kembali. Mungkin gembor-gembor Stay at Home atau Work form Home hanya berlaku untuk para karyawan kerah putih (kantoran) atau keluarga kalangan menengah ke atas yang tidak rentan secara ekonomi. Berbeda dengan karyawan rendahan (pekerja kasar) atau buruh-buruh rendahan yang dibayar sesuai pekerjaan.
Meskipun anjuran dari birokrat Negara dan elit negara untuk menjaga diri supaya tidak terpapar virus covid-19 dengan tetap dirumah atau kerja dari rumah, hanyalah status saja seolah-olah Negara melalui pemerintah memberi perhatian terhadap warganya.Â
Namun dalam pelaksanaanya sendiri, birokrat dalam hal ini orang-orang dalam pemerintahan Negara, yang secara ekonomi berstatus menengah ke atas dan menumpang hidup dari keberadaan Negara, juga sebenarnya takut jika Negara melakukan karantina wilayah. Mereka takut Negara bangkrut dengan mematuhi undang-undang Negara yang harus memberi makan masyarakat selama karantina wilayah .
Oleh sebab itu istilah Negara Indonesia juga lapar sebenarnya bukan negaranya yang miskin tetapi para birokrat yang takut miskin ketika Negara bangkrut.
Mungkin inilah sebab mereka melakukan kebijakan terkait kesehatan masyarakat dalam hal pencegahan virus covid-19 cenderung kontradiktif. Mereka mengingikan kebijakan karantina wilayah dengan tetap dirumah, atau kerja dari rumah.
Namun lepas tanggung jawab tidak mau menanggung apa yang menjadi kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan dasarnya yakni kebutuhan makan.