Tentu tidak ada sebuah konsep yang tidak berdasar. Karena pada dasarnya tentang konsep-konsep itu merupakan dasar dari cara berpikir mereka menanggapi sesuatu.
"Sebuah perkara yang ingin dibangun manusia, pasti semua berawal dari titik pijak. Tidak mungkin tanpa sangahan-sangahan rancangan sebagai buah dari hasil upaya berpikir mereka sendiri".
Namun segala sesuatunya, bukankah jika sudah terkonsep oleh manusia, nantinya digali untuk diterjemahkan berbagai konsep itu sendiri? Lalu dengan apa yang ingin disampaikan dengan cara berkonsep, sudahkan konsep yang dibangun mereka layak diterima sebagai sebuah kebenaran yang wajar dan dapat diterima oleh mereka yang mungkin tidak pernah mengkonsep itu?
Sepertinya memang akan menjadi "fenomena" yang penting dan baru untuk pembahasan, juga refleksi berpikir manusia kini, dimana ketika masyarakat sudah bingung berpegang pada konsep, ia akan kembali pada apa-apa yang terjadi di masa lalu, sebagai sebuah realitas yang terkonsep secara nyata yang benar-benar terjadi untuk titik pijak hidup mereka.
Bahkan apa yang dinamakan fenomena itu, selalu layak untuk dikaji, bagimana filosofi-filosofi itu tumbuh, merencanakan, membuat, bahkan sampai tahap eksekusi.Â
Suatu konsep dari berpikir, dan itu dapat terwujud, bukanlah sesuatu yang mudah dibangun begitu saja. Pasti ada langkah-langkah persuasi, dimana ia diterima sebagai konsep, dan layak untuk dipercaya oleh manusia, siapapun yang ingin percaya pada konsep tersebut.
Munculnya KASÂ atau (Kerajaan Agung Sejagad) yang viral di media, bukan lelucon belaka anak kemarin sore untuk menjadi viral di media sosial. Tentu dengan bangunan yang sudah terbangun, pengikut yang sudah mencapai ratusan orang, sebelumnya memang sudah terkosep dengan rapi, meskipun belum ada validasi informasi tersebut dari seglintir masyarakat yang mengaku sebagai KAS (Kerajaan Agung Sejagad) secara resmi.
Dengan alasan-alasan padangan kerajaan mereka, tentang warisan dari Majapahit sendiri, tentu inilah konsep yang terbangun untuk mendirikan kerajaan baru, yang mereka akui sebagai cara baru bermasyarakat diabad ke-21 ini. Meskipun konsep sebagai kerajaan memang sudah tidak populer seperti abad-abad terdahulu; misal di abad  pra abad ke-18 yang lalu.
Menjadi pertanyaan, mengapa diabad ke 21 ini ada kelompok-kelompok yang menurut manusia kini "naif" sebagai masyarakat? Bukankah kerajaan sendiri merupakan sesuatu bangunan politik yang sudah usang? Dengan pengikut yang sudah ada, apa yang membuat ketertarikan mereka "masyarakat" untuk mengikuti ideologi itu "KAS"? Mungkinkah ini suatu kemunduran? Ataukah ini bentuk dari rasa kefrustasian?
Atau justru bentuk suatu "kemajuan" membuat masyarakat  jengah dengan sistem yang ada saat ini---- hidup di abad ke-21, yang semakin lebar jarak antara si kaya dan si miskin, kekuasaan negara yang dikusasi oleh oligarki, atau demokrasi yang justru membuat bingung, karena semua orang berbicara menurut kebenaran sendiri-sendiri?
Mayarakat mulai mencari konsep baru
Kata baru mungkin bukanlah kebaruan yang sebenarnya, karena kata "baru" tersebut bisa jadi hanya tranformasi dari sesuatu yang sudah lama, tetapi disesuaikan dengan konteks jamannya.
Memang dalam memandang konsep sendiri disetiap zamannya, manusia menginginkan tatanan yang ideal menurut ideologi masing-masing di masyarakat. Seperti apa model tersebut akan berbicara nanti, dan lalu diwujudkan dalam kenyataan bermasyarakat, sesuatu itu merupakan hak pribadi, sesuai dengan konteks demokrasi yang berarti: dari dan untuk rakyat.
Demokrasi yang terbangun, semua memang ada sumber yang memicu, seperti jengah terhadap kepemimpinan monarki yang berdinasti, atau dengan kediktaktoran politik ala militer yang berpolitik melalui jalan kekerasan, bahkan sering juga dijumpai sampai dengan jalan darah manusia, untuk merebut bahkan melanggengkan kekuasaan.
Tetapi dengan yang namanya siklus itu sendiri, masyarakat yang sejatinya adalah kumpulan-kumpulan manusia yang membawa pribadinya sendiri. Bukankah sifat dasar manusia itu tidak pernah puas dengan dirinya sendiri kapanpun diwaktu mereka hidup? Bukankah ketidakpuasaan selalu menjadi "realitas" manusia diwaktu kehidupan-nya?
Pemerintahan demokrasi yang akhirnya mencipatakan oligarki. Juga dengan kebebasan pendapat yang akhirnya bingung dengan pendapatnya sendiri sebagai masyarakat demokratis. Dengan kejengahan itu, terkadang masyarkat-pun rindu-rindu ada tangan-tangan kuat memegang kekuasaan sebagai pengendali politik.
Di Indonesia sendiri, mengapa ada yang rindu Soeharto dengan jargon "penak jamanku toh"? Atau dengan Soekarno misalnya; dengan gaya kepemimpinannya yang katanya "karismatik"? Menjadi masyarakat-pun sama, ia tidak pernah puas dengan kondisi saat ini, maka mereka terus mencari-cari sesuatu yang ideal bagi dirinya sendiri. Tetapi ketidakmampuan mereka mengubahnya jika sendiri, justru mengantunggkan suara atau ideologinya sendiri; dimana sedang menjadi trand di masyarakat mereka akan ikuti .
Oleh karenanya yang ideal jelas akan terus berganti-ganti pada akhrinya mengikuti trend, yang ketika memang itu sudah usang, maka tatanan itu harus diganti demi memandang harapan dari kebaruan tersebut hidup masyarakat tersebut. Tetapi pergantian itu selalu disesuwaikan dengan konteks jamannya pula yang harus relevan. Seperti Negara republik yang mengantikan sistem monarki dibanyak Negara di dunia?
Tetapi mungkinkah jika dari Republik akan diganti lagi dengan sistem monarki kembali? Bukankah hidup manusia yang bermasyarakat seperti memandang kekembalian yang abadi pada akhirnya ketiaka berkutat terus pada kekembalian itu? Dari monarki ke Republik, atau dari ideologi totaliter tangan besi, menjadi demokrasi, dan kebosanan pada kenyataan hidup yang tetap-tetap saja, jurang kemiskinan masih lebar, bingung ketika semua orang berbicara dengan gayanya masing-masing, akhirnya masyarakat akan muter-muter pada kekembalian yang sama? Dalam hal ini republik yang rindu digantikan monarki berpotensi menjadi nyata? Â
Pengakuan sebagai kerajaan sendiri, mungkin saja mereka sudah jengah dengan konsep republik dan demokrasi yang membuat bingung dirinya sendiri.Â
Segrombolan orang di Purworejo sana yang mendeklarasikan sebagai KAS atau (Kerajaan Agung Sejagad) memang bukan tanpa sebab. Masyarakat saat ini mulai bingung, kemana ia akan berjalan pada akhirnya memandang banyaknya informasi tentang ideal bermasyrakat.
Ketimpanagan sosial, politik republik dan demokrasi yang dikuasai oleh orang-orang dilingkungan oligarki yang akhirnya membuat dinasti, mungkinkah karena itu, mengapa tidak membuat sistem kerajaan pula pada akhirnya jika republik seperti ini?
Jangan-jangan ide-ide dari fiksi kerajaan yang berjaya dimasa lalu sedang melanda semesta ideologi manusia konservatif. Mereka sedang mencoba bereksperiman kembali pada masa lalu. Tetapi sadarkah dari mana dan untuk apa "kas" tersebut jika untuk jalannya kerajaan KAS atau (Kerajaan Agung Sejagad) itu saja masih sama dengan republik, memunguti rupiah dari anggota yang sama sebagai masyarakatnya?
Korupsi yang menjangkit sebagai budaya dalam republik, bukakah sistem monarki juga ada korupsi? Dimana justru kas yang dikatakan untuk Negara justru orang-orang yang didalam Negara juga yang menikmatinya? Negara atau kerajaan dibangun siapa, bukakah masyarakat kini harus curiga, mungkin saja untuk keuntungan mereka-mereka yang membuat kerajaan atau Negara baru tersebut?
Semua ideology memang, ia akan terus menyemukan manusia. Tetapi bayang-bayang ideologi didalammnya, ujungnya pasti kepentingan, keuntungan, dan kehendak akan kuasa dari orang-orang yang membuat "ber-ideologi" tersebut.Â
Pengakuan sebagai pewaris kerajaan memang wajar, karena masyarakat masih banyak yang konservatif, dimana ide kerajaan masih bercokol didalam ide mereka, tentang kejayaan sistem kerajaan dan segala tetek bengeknya.
Namun sebagai masyarakat yang katanya paling rasional dibad ke-21 ini, menaruh curiga pada ide-ide naf memang perlu. Jika memang kebosanan pada sistem ke tatanegaraan terus menjadi problematika, mengapa tidak mengidelakan saja sekalian yang paling rasional dan kembali kepada dunia tanpa Negara dan raja-raja? Masyarakat tidak mengurusi yang lain, tetapi fokus kepada dirinya sendiri dan keluargannya? Bukankah ketika manusia selsai dengan dirinya sendiri, tanpa kehendak akan kuasa, kehidupan tidak saling jahat-menjahati untuk kekuasaan?
"Semacam telah menjadi takdir itu. Mahasiswa dan masyarakat selalu menentang orang dalam kekuasaan yang dianggapnya bebal. Tentang genealogi, apakah yang ditentang dan menentang tidak dari akar yang sama akhirnya dari rakyat jautuhnya ke rakyat juga? Kembali dalam penyangkaan itu.Â
Sejarah ini akan terus berulang dan tidak pernah selsai dengan dirinya sendiri. Siklus yang berulang sebagai ideologi semu, sampai kapan ada kesadaran untuk sama-sama mengakhirinya? Berbagai keriuhan disana, malam ini dengan sedikit ketenanngan, saya ingin terus mendengarkan lagu dari  Jhon Lennon berjudul "Imagine".   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H