Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sumbanglah Buku ke Perpustakaan

13 Januari 2020   12:56 Diperbarui: 14 Januari 2020   18:20 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dokpri

Wajah saya begitu pesimis, saya tidak begitu mengerti mengapa cetakan buku tersebut seperti buku gambar. Tetapi kecewa bukanlah obat, sesuatu yang sudah terlanjur memang, biarlah pergi dari pikiran ini, tidak ada arti juga meratapi rasa kecewa tersebut. Nyatanya semua memang harus bergerak maju "biarkan semua berlalu".

Saya rasa hidup manusia harus merasakan kecewa. Suapaya manusia tahu bagaimana rasa kecewa itu ada, dan manusia harus terus belajar dengan kekecewaan yang menimpanya sendiri. Percaya bahwa: rasa kecewa selalu datang tetapi  sementara.

Buku bertebal sekitar 450-an halaman lebih dengan kertas A4 itu, merupakan buku pertama saya berjudul "Interpretasi Aku". Bertahun-tahun lalu saya tulis, waktu itu, saya ingat saya mulai menulis sekitar tahun 2016 yang lalu, terkumpul-terkumpul lalu saya jadikan buku.

Saya menulis karena saya kecewa terhadap diri saya sendiri. Mengapa sesuatu yang saya kejar sebagai mimpi tersebut dengan melanjutkan kuliah berharap karir lebih baik, karena terlalu banyak berpikir, terlalu banyak menimbang, akhirnya diputuskan juga oleh pemikiran saya sendiri untuk berhenti.

Saya mengakhiri kuliah sebelum ujian sidang, alasannya kuliah tidak akan pernah merubah nasib saya, waktu itu saya punya pertimbangan sendiri, keyakinan saya, hidup saya berubah ketika saya menjadi penulis. Kecenderungan seperti pemikir menjadi sebab, hidup saya hanya dapat seimbang dengan terus menulis. Kesimbangan hidup adalah sebuah kebutuhan yang layak dirasakan manusia.

Terus terang saya kecewa dengan kecenderungan saya yang lebih condong kepada lebel manusia pemikir. Mengapa saya tidak bisa seperti mereka, ya tidak terlalu pemikir sebagai manusia? Tetapi diri manusia membawa dirinya sendiri. Meskipun ini adalah nyatanya dari kekecewaan itu. Kegagalan dan rasa menganggap diri ini gagal. Sesuatu yang tidak dapat diperbaiki selain mengikuti tradisi kegagalan itu dan menjadi diri saya sendiri.

Saya waktu itu mengikuti langkah kaki pergi, mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya mumpung saya masih muda. Pergi dan bekerja sampai ke Pulau Bali, dimana saya menyaksikan bagaimana kebudayaan dan kesenian yang begitu hidup dimasyarakat Bali.

Agama dan masyarakat yang harmonis, bau dupa yang mempengaruhi energi tubuh dan pikiran, juga bunga-bunga indah seperti kamboja yang sedap nian dilihat oleh mata. Sering saya petik bunga itu, lalu saya letakan pada telinga kanan saya, jiwa-jiwa seni, saya seperti seniman yang mencintai bunga-bunga. Saya juga sering bertanya-tanya apakah saya ini memang benar-benar seorang seniman?
 
Buku yang saya tulis ini masih keluarga dengan karangan-karangan memoar, karena sebagain besar isi buku itu merupakan penafsiran-penafsiran saya sendiri terhadap sesuatu yang menjadi pengalaman saya. Saya berbicara tentang romantisme, kontradiksi diri, Tuhan, bahkan masyarakat abad 21 yang seperti ganjil memandang hidup.

Mungkin jika merujuk karya: manusia satu dimensi milik " Habert Marcuse" relevan dengan abad 21 ini, bawasannya kebanyakan manusia saat ini memang lahir, kerja, dan cari uang, lalu menikah, berharap uang pensiun saat tua, tidak ada lagi pikiran lebih baik dari itu, karenanya saya tergoda----tergoda untuk sama-sama juga melakukannya. Tetapi saya tidak bisa melakukan apa yang tidak saya mau dan sama sekali tidak membuat saya bahagia.

Kebahagaiaan apakah mereka-mereka yang sedang bercumbu ria dengan pacarnya? Ataukah dengan mereka yang bangga akan harta yang dipunyainya? Namun menjadi manusia, kebanggan memang perlu ia raih, perlu juga ia kejar, dan perlu juga untuk dipamerkan. Karena betapa indahnya kisah hidup kita, yang bersama-sama dengan mereka, untuk saling membagi kepunyaan dari masing-masingnya.

Saya bukan meratapi nasib, bukan untuk mengurung diri pada akhirnya, lalu mengapa keindahan dari karya-karya sebagai penulis, ia harus hidup soliter, seperti saya yang memikirkan banyak hal. Lalu dengan mereka-mereka yang mungkin enggan menyapa, dalam diam itu, seorang penulis murni akan meratapi dirinya yang malang. Yang tidak bertuah seperti para "Atheis" yang dicurigai habis dinegara paling beragama.

Namun saya kira, hidup bukanlah untuk menghafal yang harus kita hafal, kita harus punya cara hidup sendiri. Meskipun menjadi liberal setengah "Atheis-pun", kau tetap layak untuk hidup dijaman abad ke-21 ini. Berkarya sebagai mana kita bisa membuat karya-karya itu. Gelapnya malam, memang kita "manusia" harus menjadi pelita untuk diri kita sendiri.

Buku saya, yang akhirnya saya cetak akhir tahun 2019 itu. Bukan hanya sebagai dasar manusia hidup bersama jalan-jalan sepi pikirannya yang ingin mendunia. Saya memang tidak menjadi lelah, seperti kecurigaan wanita waktu itu. Kala itu saya menulis tentang manusia yang katanya bertuhan tetapi melupakan kemanusiaan, dan tuhan bagi pemikiran saya adalah konsep yang ia dapat hilang dikala kita menghilangkan konsep itu.

Wanita itu sama sekali tidak mau berdiskusi, dan saya tanya bagaimana sudahkah tulisan saya dibaca waktu itu? Dan wanita itu berkata; "saya baca baru setengah". Saya tidak menyalahkan kenapa minat baca manusia indonesia ini begitu rendah. Berbeda dengan jepang atau negara-negara Eropa lainya misalanya, membaca adalah kebutuhan hidup mereka.

Namun yang kadang kala sering sekali dibaca adalah kitab-kitab yang mereka sebut dengan suci, tetapi melupakan bacaan-bacaan lain sebagai sebuah kajian bahwa: "hidup manusia itu tidak akan pernah mempunyai sisi yang sama, bahkan sisi-sisi itu merupakan sisi dengan kontradiksi yang tajam, setajam silet yang dapat melukai diri kita sendiri".

Mungkin sama-semua orang memang sama, orang indonesia masih sangsi terhadap sesuatu yang berbeda. Orang diam selalu dikatakan bahwa: mereka anti sosial dan mereka tidak layak untuk dijadikan seorang teman.

Sisi yang tersembunyi ada kalanya ia justru merupakan sesuatu yang indah, belum terjamah dan layaknya laut dengan pasir putih yang belum pernah orang-orang kunjungi. Setiap orang berbeda, dan kesangsian terhadap orang lain merupakan kekalahan terburuk yang pernah manusia pertaruhkan dalam hidupnya sendiri

Wanita itu yang pernah saya kirimi tulisan, mengusik jalan pikiranku, mengapa saya selalu patah---- patah untuk menjadi orisinil, memadang dia, mungkinkah dia juga anti pada orang-orang yang mempertanyakan tuhan atau isme-isme yang lainnya?
 
Saya tidak peduli, saya mau menjadi orisinil saja menjadi manusia, perkara cinta ataupun benci sekalipun, hanya orang-orang saja yang memperkarakannya, nyatanya semua bisa menjadi toleran pada akhirnya.

Tentang sesuatu yang lebih berarti; untuk apa memberi buku pada orang-orang yang tidak punya minat baca. Jika pada akhirnya untuk koleksi didalam lemari saja. Setiap penulis, tidak lain harapannya memang bukunya untuk dibaca, dan yang memungkinkan karya-karya saya dibaca, buku saya---- saya letakan diperpustakaan, meskipun ketika masyarakat kurang minat baca juga pada akhrinya tidak dibaca.

Tetapi  perpustakaan selalu dijaga, bisa untuk beberapa dedake kedepan karya dari buku saya tersebut dapat aman disana. Karena ketika saya sudah tiada lagi disini, saya meninggalkan jejak---- jejak pemikiran-pemikiran agak nyeleneh dan liberal pada jamannya. Bukan tidak mungkin kedepan minat pada literasi semakin banyak digemari masyarakat.

Saya lihat bagaimana foto-foto dimedia sosial anak-anak di jepang membaca buku bergerombol puluhan orang. Bukan tidak mungkin saatnya nanti, orang-orang indonesia mencintai membaca, dan perpustakaan adalah tempat yang paling dicari. Tentang wanita, tersenyumlah melihat orang seperti saya---- saya tidak menjanjikan surga tetapi saya dapat berteman dengan baik.

Karena kebahagiaan dan kebanggaan sebagai mansuai itu ada pada dirinya sendiri---- setiap apa yang dapat dicipta oleh dirinya sendiri. Dan apresiasi itu, pegawai perpusatakaan itu bilang kepada saya; Terimakasih "mas" (panggilan kepada saya) sudah menambah koleksi buku bacaan diperpustakaan ini, apa lagi buku ini disumbang langsung dari penulisnya. Terus terang mendengarnya saya sangat bangga dan bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun