Namun bagaimana pun segala bentuknya, kerja, uang, dan kebutuhan sepertinya tidak dapat lepas dari satu manusia termasuk Agus didalammnya. Manusia-manusia lain yang bernasib sama dengan Agus juga masih banyak, malah yang kurang dari Agus juga tidak kurang-kurang, mereka juga berjumlah banyak dan nyata terlihat membawa amplop ngantri untuk memperoleh kerja medaftar ke pabrik-pabrik itu.
Karena itu pekerjaan seperti agama baru bagi manusia yang harus teranut, alih-alih berimbalan uang mau tidak mau harus bekerja, dimana harapan akan hidup nikmat atau sengsara menjadi hasilnya dari uang itu hasil bekerjanya sendiri.
Agus memang tidak menampik, ia menyadari bahwa; berkerja adalah berpendapatan untuk melanjutkan hidup. Tetapi bagiamana ketika dunia ini dapat tanpa kerja dan menikmati liburan atau sebagai manusia penganggur yang hidup hanya bermain-main seperti anak-anak?
Namun apakah seorang penganggur juga tidak sama pusing seperti bapak-ibunya yang mpot-mpotan mencari uang dari hasil kerja mereka? Enak saja kalau orang tua mereka kaya, tetapi mungkinkah sekaya-kayanya orang tua mereka akan hidup terus? Dan warisan jika ada warisanya, tidak akan habis jika dibawa menganggur saja?
Dilema memang akan terus men-dilematiskan pikiran manusia memandang kerja hari ini. Tidak dijalani mau usaha apa tanpa modal besar? Atau keluar negri yang bergaji besar, bukankah itu juga harus bermodal besar untuk berangkat kesana, belum biaya les bahasa dan sebagainya?
Taiwan, Korea, atau Jepang, puluhan juta untuk berangkat ke sana, jika Agus membidik kesana dengan upah rendahnya itu, berapa tahun Agus harus mengumpulkan gajinya dengan laku paling prihatin untuk dapat berangkat kerja ke Korea atau Jepang yang bergaji besar itu?
Nasib memang harus diterima, sebagai mana orang kecil seperti Agus, memang hidupnya kalau tidak menjadi petani dan pedagang, ya mengabdi pada perusahaan atau ikut majikan, mungkin itu kodrat sebagai manusia yang harus tahan dan kuat bekerja walaupun ganjarannya hanya untuk cukup makan saja.
Agus memang tidak patah arang, berlaku prihatin menerima nasib sembari bekerja dan berusaha memperbaiki nasibnya sendiri. Sedilema-dilemanya hidup memang harus tetap dijalani.
Meskipun lelahnya bekerja tetap saja diupah murah, ya-ya-ya, tidak terimapun, tidak terima pada siapa? Pendidikan agus rendah, orang tua sederhana tidak miskin tidak pula kaya, apa yang mau ditutut dan tidak diterima?.
Iya---- jika memang kelahiran dapat dipilih dulu dengan pertimbangan rasional, sayangnnya lahir saja tidak tahu. Sesadar agus, tahu-tahu sudah lahir disini, terus, semakin dewasa semakin menyadari, mungkinkah menjadi manusia hanya untuk menyesali hidupnya sendiri?
Kini ia "Agus" maunya menerima saja, biarkan hidupnya mengalir dengan hikmat, menerima apa yang sudah digariskan dan bisa dilakukukan oleh dirinya; bahasa Jawannya: "Nerimo ing pandum" karena sepertinya ilmu paling tinggi diwujudkan manusia adalah ilmu menerima---- menerima semua nasib yang dapat dibuatnya sendiri.