Setiap pagi Senin-Jumat, Agus membawa sepeda motornya yang sudah butut. Rasanya menjalani hidup di hari Senin tidaklah semudah menjalani hidup di hari Sabtu.Â
Sebab Sabtu, di balik itu hari libur, hari itu juga memiliki malam yang panjang. Besok Minggu, lalu menikmati hidup untuk libur kembali esok hari dengan aktivitas yang membahagiakan diri, menjadi bebas sebagai orang yang tidak bekerja alias "libur".
Perkara menjadi manusia yang berbahagia, memang semua manusia punya konsepnya sendiri untuk mencapai titik kebahagiaan itu. Tetapi dengan gambaran Agus yang memiliki jiwa tua, ia tidak akan ke mana-mana, ia hanya menulis ketika ia libur berharap ia dapat mengubah nasibnya dengan menulis.
"Jika tidak nasib itu berubah, setidaknnya ia sudah bisa bahagia dengan karyanya, lalu menikmati hidup dengan dirinya sendiri sebagai ritus penyucian dirinya, supaya kembali fit lagi tenaga dan mentalnya memandang kerja di hari kerja berikutnya".
Menulis bagi seseorang yang suka dengan aktivitas menulis seperti Agus; merupakan terapi, teman, sekaligus obrolan yang nyambung untuk dirinya. Mengobrol atau berdiskusi sesuai unek-unek yang ada dipikirannya sendiri, supaya setiap apa yang akan diobrolkannya nyambung tanpa ada orang lain bertanya-tanya; si Agus itu ngomong apa dengan bahasa yang susah dicerna?
Suka terhadap hal yang berbau seni, filsafat, bahkan ilmu pengetahuan memang menyulitkan siapapun manusia itu dalam pergaulannya; manusia seperti Agus itu benar "langka", apa lagi tempatnya di lingkungan kerja, mungkin seratus dibanding satu orang bertipe seperti Agus.
Sebab ditemapat kerja sendiri adalah mereka-mereka manusia-manusia yang logikannya structural, oleh karena itu mereka betah dilingkungan kerja. Tetapi berbeda dengan agus, logikanya terlalu bebas, maka dari itu ia cocoknya menjadi pekerja kreatif semacam "seniman" misalnya.
Tentu karena ia "Agus" sadar, hiburan paling efektif dan efisen sendiri bagi pekerja rendahan, gaji sebatas upah minimum Kabupaten di Jawa Tengah yang tidak seberapa, untuk beli bensin, makan di warung yang sama harganya dengan warung-warung nasi kota besar ber-upah tinggi, "sepuluh ribu" makan sederhana dengan nasi, sayur, gorengan, minumnya air putih, tidak akan mungkin cukup setiap week end pergi bertamsaya dengan harapan bahagia.
Bahkan untuk berwisata keliling-keliling kota dengan kulinernnya yang enak-enak, pasti tidak akan cukup, bisa-bisa pertengahan bulan sudah hutang saja ke sana-ke mari.Â
Memang sebagai pegawai rendahan sendiri, tanpa benar-benar melakukan laku "prihatin" orang Jawa bilang: setara dengan menahan diri dari hawa nafsu untuk membeli, pegawai rendahan di masa hidupnya tidak akan punya apa-apa dan tidak dapat menabung apa-apa.
Ya apa-apa itu tentu uang karena sekarang apa-apa itu juga kan harus dibeli dengan uang, hasil yang minim masih lebih baik ditabung sedikit-sedikit untuk membeli kebutuhan yang lebih perlu saja guna menghemat uang.
Mungkin menjadi sebuah kebenaran bawasannya; untuk cukup memang diri sendiri harus mencukup-cukupkan sendiri. Sesuatu yang ambigu, kata "cukup" bukankah harus ada sesuatu yang ditekan?
Atau dengan kebutuhan ingin yang harus ditunda terlebih dahulu, supaya pendapatan rupiah setiap bulannya menjadi pas, syukur bisa sedikit lebih untuk bekal masa depan, bisa buat tabungan nikah atau investasi untuk usaha sendiri, kata cukup berarti uang itu harus cukup untuk ditabung berapapun nominalnya.
Namun apa, Agus bukan saja lebih rasional dari anak-anak yang paling dianggap sarjana di Kampus sana. Olah pikir manusia bukan saja karena rangsangan bagaimana ia harus belajar disekolah, tetapi juga upaya bertahan, lalu mencukupkan sebagai mahkluk hidup sendiri, dan terus belajar menjadi manusia merupakan bentuk dari olah-olah pikir tersebut.
Bahakan olah pikir yang didasari oleh pengalaman itu sendiri, dapat dikatakan menjadi sebuah kebenaran "versi masing-masing" termasuk Agus membenarkan bahwa; menjadi pekerja kini tidaklah mudah, jika tidak kerja tidak ada penghasilan, kerja rasanya hanya cukup untuk makan, tetapi kalau tidak kerja, mau apa? Liburan setiap hari? Dari mana uangnya? Hamsyong!
Maka agus terus menyaka, hidupnya akan sama saja ketika tidak ada harapan akan naiknya gaji setiap setengah semester atau satu tahun. Dan gaji tersebut harus lebih dari aturan yang ditetapkan pemerintah.
Inflasi ekonomi akan naiknya upah terkadang juga dibarengi dengan naiknya harga kebutuhan pokok untuk kesetabilan ekonomi, yang pada akhirnya jika tetap menurut pada aturan upah pemerintah, tetap hasilnya akan sama saja; karena kebutuhan untuk makan Agus juga bertambah nilainya setiap harinya.
Mungkin sebelumnya sepuluh ribu yang hanya makan nasi-sayur plus gorengan, karena ekonomi disesuaikan dengan upah yang di tentukan pemerintah, ia akan naik juga menjadi dua belas ribu tetap tanpa lauk daging atau ikan.
Jadi apa artinya gaji naik jika kebutuhan untuk hidup juga dibarengi naik dan kenaikan upah itu untuk membayar nilai naik dari kebutuhan setiap hari termasuk kebutuhan makan? Â
Pusing atau tidak pusing, kerja sepertinya harus terjalani dan dijalani, namun apakah seseorang pekerja harus terus dan terus bekerja meskipun tidak ada perubahan hidup dari mereka bekerja? Apakah tidak akan menjadi pertanyaan pada akhirnya? Mungkinkah dari hasil kerja itu dimasa akan datang dapat merubah nasibnya jika ia tidak mengupayakan diri untuk mencari pendapatan rupiah lain selain bekerja?
Menjadi pekerja "kantor" meskipun kerja sendiri dilapangan, atau sama dengan kerja lapangan yang disesuaikan dengan kerja kantoran, apalah artinya ia "Agus" tetap hitam cap kuli yang terlebel kulit hitam tersengat matahari.
Sesekali karena kerja diteknik melayani costumer, Sabtu- Minggu jika ada complen dari costumer-pun harus jalan dan bekerja. Masih mending Sabtu-Minggu kerja ada uang lemburnya, jika tidak, ah, gelap! Lembur saja termasuk kegelapan itu, masa untuk dapat tambahan dari gaji yang murah saja harus lembur dahulu, dimana letak kemurahan hati untuk pekerja rendahan bergaji murah?
Namun bagaimana pun segala bentuknya, kerja, uang, dan kebutuhan sepertinya tidak dapat lepas dari satu manusia termasuk Agus didalammnya. Manusia-manusia lain yang bernasib sama dengan Agus juga masih banyak, malah yang kurang dari Agus juga tidak kurang-kurang, mereka juga berjumlah banyak dan nyata terlihat membawa amplop ngantri untuk memperoleh kerja medaftar ke pabrik-pabrik itu.
Karena itu pekerjaan seperti agama baru bagi manusia yang harus teranut, alih-alih berimbalan uang mau tidak mau harus bekerja, dimana harapan akan hidup nikmat atau sengsara menjadi hasilnya dari uang itu hasil bekerjanya sendiri.
Agus memang tidak menampik, ia menyadari bahwa; berkerja adalah berpendapatan untuk melanjutkan hidup. Tetapi bagiamana ketika dunia ini dapat tanpa kerja dan menikmati liburan atau sebagai manusia penganggur yang hidup hanya bermain-main seperti anak-anak?
Namun apakah seorang penganggur juga tidak sama pusing seperti bapak-ibunya yang mpot-mpotan mencari uang dari hasil kerja mereka? Enak saja kalau orang tua mereka kaya, tetapi mungkinkah sekaya-kayanya orang tua mereka akan hidup terus? Dan warisan jika ada warisanya, tidak akan habis jika dibawa menganggur saja?
Dilema memang akan terus men-dilematiskan pikiran manusia memandang kerja hari ini. Tidak dijalani mau usaha apa tanpa modal besar? Atau keluar negri yang bergaji besar, bukankah itu juga harus bermodal besar untuk berangkat kesana, belum biaya les bahasa dan sebagainya?
Taiwan, Korea, atau Jepang, puluhan juta untuk berangkat ke sana, jika Agus membidik kesana dengan upah rendahnya itu, berapa tahun Agus harus mengumpulkan gajinya dengan laku paling prihatin untuk dapat berangkat kerja ke Korea atau Jepang yang bergaji besar itu?
Nasib memang harus diterima, sebagai mana orang kecil seperti Agus, memang hidupnya kalau tidak menjadi petani dan pedagang, ya mengabdi pada perusahaan atau ikut majikan, mungkin itu kodrat sebagai manusia yang harus tahan dan kuat bekerja walaupun ganjarannya hanya untuk cukup makan saja.
Agus memang tidak patah arang, berlaku prihatin menerima nasib sembari bekerja dan berusaha memperbaiki nasibnya sendiri. Sedilema-dilemanya hidup memang harus tetap dijalani.
Meskipun lelahnya bekerja tetap saja diupah murah, ya-ya-ya, tidak terimapun, tidak terima pada siapa? Pendidikan agus rendah, orang tua sederhana tidak miskin tidak pula kaya, apa yang mau ditutut dan tidak diterima?.
Iya---- jika memang kelahiran dapat dipilih dulu dengan pertimbangan rasional, sayangnnya lahir saja tidak tahu. Sesadar agus, tahu-tahu sudah lahir disini, terus, semakin dewasa semakin menyadari, mungkinkah menjadi manusia hanya untuk menyesali hidupnya sendiri?
Kini ia "Agus" maunya menerima saja, biarkan hidupnya mengalir dengan hikmat, menerima apa yang sudah digariskan dan bisa dilakukukan oleh dirinya; bahasa Jawannya: "Nerimo ing pandum" karena sepertinya ilmu paling tinggi diwujudkan manusia adalah ilmu menerima---- menerima semua nasib yang dapat dibuatnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H