Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Filosofi Seni Tari Kuda Lumping

27 November 2019   21:57 Diperbarui: 24 Desember 2019   05:09 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore di suatu Desa, memang hiburan sangatlah ditunggu, apalagi ini merupakan hari minggu dimana banyak anak-anak sekolah juga para pekerja menikmati hari libur. Mungkin menjadi sesuatu yang benar: hiburan adalah kebudayaan!

Seyogyanya hiburan itu, ia dibutuhkan semua lapisan masyarakat untuk mengisi waktu hidup mereka untuk dibudayakan, supaya saling membahagiakan antar manusia satu dengan lainnya di dalam waktu kehidupan mereka.

Kuda lumping dan bau kemenyan memang tidak dapat dilepaskan setiap pagelarannya. Entah apa yang mempengaruhi itu, Kemenyan sepertinya memang mempunyai sisi magis yang tersembunyi dibalaik segumpalan energi yang mempengaruhinya bagi hidup manusia dengan wanginya.

Karena ketika hentakan musik dari gamelan itu meninggi, bau kemenyan semakin menyengat, dukun Kuda Lumping melakukan kontemplasi, sejak itu banyak dari pemain kuda lumping kerasukan (wuru) bersama dengan penonton yang sedang duduk sekitarnya.

Memang baik penonton atau pemainnya sendiri, mereka bukanlah berangkat dari kepolosan tanpa pernah menyelami kebatinan didalammnya. 

Saya kira tetap, ada ritual khusus tertentu agar mereka dapat seperti tidak sadar menikmati musik dari gamelan Kuda Lumping yang disajikan; istilahnya "wuru" dalam bahasa Banyumasan untuk simbol pemain atau penonton yang kerasukan.

Menalar tradisi leluhur berbentuk kebudayaan memang sangat rumit, tetapi ketika kita "manusia" sudah menyentuh dua dimensi antara dimensi badan dan batin, saya menyangka titik cerah dalam menalarnya menjadi mungkin meskipun hanya sebatas menjadi hipotesa pribadi saja. 

Dalam menyelami kebudayaan sendiri, memang bukan hanya dibutuhkan intelektual penalaran otak, tetapi juga penalaran intelektual batin manusia.

Seperti pertanyaan banyak orang, apakah kerasukan dalam tradisi Kuda Lumping tersebut dirasuki oleh arwah leluhur atau jin-jin yang ingin menumpang diwadah atau badan manusia untuk ikut menikmati musik gamelan?

Bukan, tidak semudah dan sesderhana itu dalam kesimpulannya. Saya tarik kesimpulan disini bahwa; "setiap makluk jika ada makluk yang lain, mereka punya dimensi tersendiri, dan dimensi itu tidak akan pernah pada kehidupan yang sama".     

Dan jawaban saya akan nilai dari tradisi Kuda Lumping yang terus dibudayakan oleh latar belakang kapanpun waktu kehidupan manusia Jawa, adalah peranan jiwa yang dilatih oleh manusia itu sendiri sebagai pemian kuda lumping, atau penonton yang sebelumnya sudah melakukan ritual menyentuh jiwanya sendiri dengan musik dalam hal ini "musik gamelan" untuk dapat bersinergi didalamnya.

Karenannya, tradisi yang dibudayakan sebagai warisan leluhur, bukan hanya memiliki faktor kesejarahan yang kuat, tetapi pengambaran jiwa (batin) manusia didalammnya, yang mereka harus terbaca bagaimanapun caranya bahwa; "penggambaran dari hidup manusia bahkan sentuhan-sentuhan makhluk disekitarnya, ia mempunyai sisi yang lain yakni; kebatianan (energi) sebagai lain dari daya hidup masing-masing mahkluk hidup.

Dalam faktor kesejarahannya sendiri, Kuda Lumping dalam seni tradisi masyarakat Jawa memang belum ada yang mendefinisikan secara definitive. Semua mengambang, tentang nilai-nilai  dari tari Kuda Lumping sendiri menurut saya; memang sangat kontroversial!

Dimana Kuda Lumping bukan hanya dipahami sebagai seni tari, tetapi seni spiritual (kebatinan) dari para pemain Kuda Lumping itu sendiri, yang beragam dalam menampilkan tarian, juga keragaman gambaran aura mereka "pemain" saat terjadi kesurupan.

sumber gambar: dokpri
sumber gambar: dokpri
Tentu yang menarik disini dari Kuda Lumping itu sendiri adalah figure tambahannya yakni; Barongan atau sesosok binatang bila digambarkan dipementasan Kuda Lumping Banyumasan merupakan gambaran dari binatang "Celeng" (babi hutan).

Barongan sendiri adalah karakter utama dalam legenda Jawa-Bali, sebagai perwujudan dari nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Ia memimpin kekuatan yang baik dalam pertempuran tanpa henti melawan kekuatan kejahatan.

Dalam mitologinya sendiri melawan pasukan setan yang dipimpin oleh sosok yang mereka sebut "ibu", ratu iblis Rangda, yang digambarkan sebagai seorang wanita tua yang jelek dengan mata yang menonjol dan taring panjang.

Mengapa babi hutan dipilih sebagai figure (barongan) tambahan tersebut tentu menjadi tanda tanya dalam tradisi Kuda Lumping Banyumasan? Apakah gambaran dari sesuatu yang gesit, tahan banting, dan sangar dalam menghadapi sesuatu yang ada dalam figure Celeng atau Babi Hutan sendiri adalah salah satu cikal dari nilai-nilai filosofis kesenian Kuda Lumping disamping sebagai nilai kebaikan dan keadilan?

Inilah sesuatu yang harus terjawab bahkan oleh manusia Jawa itu sendiri, yang mereka bukan hanya diwarisi seni dari tari yang beragam sebagai kebudayaan. 

Tetapi nilai dari  kebudayaan itu yang terkandung filsafat sebagai nilai manusia dalam menghayati "kebudayaan"sebagai cara hidup itu sendiri, yang diwariskan leluhur secara turun-temurun, mungkinkah dapat terbaca oleh manusia-manusia lintas generasinya termasuk saat ini, yang budaya cenderung hanya dijadikan hiburan bukan tuntunan dalam mengali pelajaran kehidupan?

sumber gambar: dokpri
sumber gambar: dokpri
Tari dalam kelompok itu sendiri dalam sebuah grup, merupakan kerja kelompok yang ingin ditunjukan pada seni tari Kuda Lumping. Pentingnya arti kerja sama dalam sebuah perjuangan, dan apa yang diperjuangkan dalam gambaran masa lalu berkuda dan memegang senjata? Adalah peperangan untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan untuk umat manusia.

Sebagai gambaran itu sendiri pada masa lalu, pasukan berkuda dan simbol dari perlawanan, mungkin ini sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. 

Dalam perang Jawa melawan VOC Belanda yang dipimpi oleh Pangeran Diponegoro, atau mungkin lebih jauh dari itu merujuk pada zaman-zaman dimana peradaban yang belum begitu maju di dunia, peperangan dan dominasi pasukan berkuda membawa senjata, jelas Kuda Lumping adalah wujud dari perjuangan-perjuangan seorang prajurit perang yang harus bersemangat dengan kuda dan pedang sebagai senjatanya.

Dimana jiwa-jiwa mereka dibentuk dalam keberanian, perang dengan segenap batin untuk berkorban demi terwujudnya cita-cita mempertahankan tanah air, yang mereka anggap sebagai tempat hidup mereka yang harus terkuasi oleh anggota mereka sendiri untuk sebuah kesejahteraan bersama.

Oleh karenanya dalam seni atau tradisi yang membudaya diwariskan leluhur. Tentu disini terdapat nilai-nilai yang harus kita gali walapun itu sesuatu yang terlihat sangat sederhana.

Bentuk tari memang sederhana atau tradisi-tradisi lain misalnya, tetapi dalam membangun itu, mungkinkah leluhur tanpa maksud, hanya sebagai mengisi cara hidup untuk tidak berada dalam kebosanan hidup tersebut?

Jelas tidak hanya untuk mengisi cara hidup saja nilai tradisi dari kebudayaan itu dilahirkan, leluhur pasti punya maksud, dan ketika maksud itu tidak sempat disampaikan mereka, bukankah sebagai manusia yang terwarisi itu sendiri, dituntut mencari apa sebenarnya nilai dari pelajaran warisan budaya tersebut?

Inilah, memang tidak pernah salah kebudayaan sebagai bentuk hiburan, karena memang dasar dari adanya budaya adalah untuk mengisi kehidupan manusia.

Namun yang harus lebih dipahami dari hanya sekedar menjadi hiburan itu sendiri,. Kebudayaan tetap punya nilai, dan jika kita mau mengagali nilai-nilainya, ia "kebudayaan" bukan saja akan bernilai tetapi memberi nilai pada kehidupan manusia secara tidak disadari sebelumnya. Karena jelas didalam kebudayaan terdapat filsafat sebagai dasar kehidupan.

Begitupun nilai filosofis dari Kuda Lumping, ia merupakan tari dimana, semangat, perjuangan, kebaikan dan pembelaan terhadap kemanusiaan itu dimulai, bukan hanya dari praktik saja tetapi juga dari batin (spiritual) manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun