Karenannya, tradisi yang dibudayakan sebagai warisan leluhur, bukan hanya memiliki faktor kesejarahan yang kuat, tetapi pengambaran jiwa (batin) manusia didalammnya, yang mereka harus terbaca bagaimanapun caranya bahwa; "penggambaran dari hidup manusia bahkan sentuhan-sentuhan makhluk disekitarnya, ia mempunyai sisi yang lain yakni; kebatianan (energi) sebagai lain dari daya hidup masing-masing mahkluk hidup.
Dalam faktor kesejarahannya sendiri, Kuda Lumping dalam seni tradisi masyarakat Jawa memang belum ada yang mendefinisikan secara definitive. Semua mengambang, tentang nilai-nilai  dari tari Kuda Lumping sendiri menurut saya; memang sangat kontroversial!
Dimana Kuda Lumping bukan hanya dipahami sebagai seni tari, tetapi seni spiritual (kebatinan) dari para pemain Kuda Lumping itu sendiri, yang beragam dalam menampilkan tarian, juga keragaman gambaran aura mereka "pemain" saat terjadi kesurupan.
Barongan sendiri adalah karakter utama dalam legenda Jawa-Bali, sebagai perwujudan dari nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Ia memimpin kekuatan yang baik dalam pertempuran tanpa henti melawan kekuatan kejahatan.
Dalam mitologinya sendiri melawan pasukan setan yang dipimpin oleh sosok yang mereka sebut "ibu", ratu iblis Rangda, yang digambarkan sebagai seorang wanita tua yang jelek dengan mata yang menonjol dan taring panjang.
Mengapa babi hutan dipilih sebagai figure (barongan) tambahan tersebut tentu menjadi tanda tanya dalam tradisi Kuda Lumping Banyumasan? Apakah gambaran dari sesuatu yang gesit, tahan banting, dan sangar dalam menghadapi sesuatu yang ada dalam figure Celeng atau Babi Hutan sendiri adalah salah satu cikal dari nilai-nilai filosofis kesenian Kuda Lumping disamping sebagai nilai kebaikan dan keadilan?
Inilah sesuatu yang harus terjawab bahkan oleh manusia Jawa itu sendiri, yang mereka bukan hanya diwarisi seni dari tari yang beragam sebagai kebudayaan.Â
Tetapi nilai dari  kebudayaan itu yang terkandung filsafat sebagai nilai manusia dalam menghayati "kebudayaan"sebagai cara hidup itu sendiri, yang diwariskan leluhur secara turun-temurun, mungkinkah dapat terbaca oleh manusia-manusia lintas generasinya termasuk saat ini, yang budaya cenderung hanya dijadikan hiburan bukan tuntunan dalam mengali pelajaran kehidupan?
Sebagai gambaran itu sendiri pada masa lalu, pasukan berkuda dan simbol dari perlawanan, mungkin ini sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.Â