Aku kira ini yang tidak akan mudah menjadi manusia, kerja, dan keseimbangan. Kerja merupakan bentuk aktivitas manusia: dimana dengan kerja secara kesehatan mental mereka "manusia" dapat terobati, tentu karena banyak dari manusia kini abad 21 merupakan para pekerja-pekerja itu dan semakin mengikatkan diri pada kerja.
Bukankah ketika kita "manusia" menganggur; dalam hal ini tidak bekerja, bentuk alienasi itu semakin besar tekanannya? Inilah sesuatu itu, nyaris tersimak bahkan sebagai suatu fenomena yang besar sosial diabad 21 ini; dimana manusia dan keadaan kerjanya terkadang membuat: "justru menjadi bibit-bibit alienasi baru hidup manusia abad 21".
Keseimbangan dari kerja itu seperti telah menjadi kebutuhan baru manusia abad 21, tentang waktu dari kerja yang kini berangsur-angsur mendominasi sebagian besar waktu manusia. Pertanyaannya apakah manusia dapat lari dari kerja: tapi tetap mengikat diri bersama kerja sebagai kebutuhan dasarnya kini akan pendapatan uang sebagai bahan dasar membeli kebutuhan?Â
Bagaimanakah dapat tercipta kesetabilan mental-mental itu: ketika di dalam hidup sebagai ruang pribadinya sendiri ia masih terbayang-bayang akan penderitaan sebagai masalah pribadi secara mental yang terus terbuai akan setiap dari segala harapan-harapannya?
Yang mungkin tidak terbayang kini, orang-orang abad 21 lari pada kedamaian-kedamaian alam, hingar-bingar kesenangan kehidupan, dan ketenangan-ketenangan jiwa melalui kepercayaan-kepercayaan mereka (spiritualitas), namun  tetap: manusia harus menyandarkan setiap apa yang menjadi masalah hidupnya sendiri bersama dirinya sendiri; dimana ketika diri mereka sudah dibenahi, disanalah lari dari apa yang menjadi sumber-sumber derita namun harus terjalani: oleh karena itu harus tetap jalan dan mencapai suatu keseimbangan itu antara hidup, manusia dan kerja.
****
Harapan dan kebahagiaan dari kerja lalu mengahasilkan uang untuk membeli kesenangan. Tetapi manusia adalah bagaimana ia memandang orang lain, bukan memandang dirinya sendiri, dan kini ketika ada pertanyaan, apakah manusia bahagia dengan dirinya yang sekarang? Bagaimana hidupnya dimaknai dengan kerja, atau posisi-posisi sosial yang mungkin dalam "tanda kutip" menjadi tersohor karena banyak orang mengingiknannya?
Hidup yang terjalani sebagai manusia itu sendiri, terus terang, jika manusia dapat jujur dengan dirinya sendiri menanggapi pertanyaan tentang apa yang akan ditanyakan termasuk; "apakah kau "manusia"; puas dengan dirimu saat ini"? Jelas disini aku akan bilang: " tidak ada satu manusia pun "puas" dengan dirinya sendiri, sebab: apa yang menjadi ukuran puas atau tidak puasnya hidup manusia adalah manusia lain.
Nahasnnya semua manusia itu sama, memandang apa yang lain dari dirinya: oleh karena itu sumber penderitaan manusia bersumber dari manusia lain. Dan ketika manusia menganggap bahwa: "aku, manusia ingin menjadi bahagia, dan saat itulah manusia menyadari: hidupnya ini menderita karena bayangan akan kebahagiaan membayanginya termasuk; menjadi atau melakukan sesuatu atas pengelihatannya kepada orang lain, yang menurut konsep berpikirnya: "ia manusia lain bahagia dengan keadaaanya. Namun begitu pula orang lain, sama memandang manusia lain juga bahwa: "mereka bahagia dengan hidupnya". Disinilah tentang paradoks itu; sebenarnya hidup manusia tidak akan pernah selsai, mimpi akan kebahagiaan sekaligus menjalani penderitaan!
Kini cerita tentang mulai menjadi para nihilis disana, apakah ia "manusia nihil" tidak akan mempunyai suatu tujuan yang pasti bahwa; ia pula harus bermimpi menyeimbangankan hidupnya agar tidak hanya berpikir kosong dengan derita, sesekali mendistorsi dirinya dengan mimpi-mimpi atau buaian untuk menjadi bahagia karena pikirannya sendiri walaupun; "kenyataan tetap tidak dapat dipegang sebagai bentuk dari kebahagiaan itu"? Â Â Â
Lagi-lagi pertanyaan akan hidup dan keseimbangan sebagai manusia dipertanyakan, mungkinkah seorang manusia tidak hidup bersama harapan-harapannya membayar setiap apa yang menjadi penderitaan-penderitaannya? Sesuatu yang rumit itu, menjadi seorang pertapa adalah suatu jalan tengah agar tidak merasakan bahagia dan derita, tetapi apakah hidup harus rela menjadi seorang pertapa?