Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bidadari di Mata Pemikir Sunyi

27 Agustus 2019   08:33 Diperbarui: 27 Agustus 2019   08:41 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : pixabay.com

Yang tidak tertanam lagi, akankah aku hanya akan menjadi penganggum lagi untuk ke beberapa kalinya? Disini aku ingin bertanya kembali, si bebal ini tengah menjadi diriku lagi, ia aneh, terkekang, bahkan seperti inferior yang terus menjadi dirinya sendiri.

Tidak lebihnya ini hanya menjadi sesuatu yang menggoda, mata yang tidak dapat membohongi, aku malam ini bersama lamunan yang sama pada waktu itu, merajut dunia agak lebih "sinis" dari pada rasa yang bergejolak sebagai bahan mempertimbangkan antara aku dan sesuatu yang ada diluar diriku.

Kembali, aku hanya manusia, "manusia" yang butuh tambahan energi di dalamnya. Entah, mengapa jemariku seperti ingin menulisnya, seperti tidak ada batu untuk di ketuk. Oh, manusia setengah bebal yang sedang mengerutu ini, kopi pahit itu, memeranakan diri yang ingin tertidur lelap malam ini. Efek yang berjangka, ada kalanya rindu berintim pada rasa, sebagai kebanyakan manusia dalam rumah tangga sana, di dalam ruang obrolannya.

Suara kaleng yang terdengar dari layang-layang membentuk pesawat terbang diatas sana. Semakin larut malam ini, semakin aku ingin tenang, sembari membayangkan sisa-sisa wajahmu yang membuat "absurd" tetapi terasa itu. Ingin meraih namun aku tidak tahu, si kaku yang mecoba terus dengan dirinya sendiri. Akankah ini menjadi berkah semeseta yang agung seperti Pulau Jawa dengan Candi Borobudurnya sebagai karya warisan kebudayaan yang sangat monumental?

"Kini aku bertanya lagi, bagaimana memetik Bidadari diatas langit, sedangkan aku kini masih berada di bumi"? Pertanyaan yang menggantung, mungkinkah Bidadari dapat turun sebagaimana misi yang terselubung, ingin juga menari bersamaku dengan musik keabadian dunia mutakhir yang ganjil?

Seperti yang tidak terjawab sebelumnya, ada pepatah berkata, "Bidadari tidak akan mendekatimu jika kamu sendiri tidak mendekatinya". Namun dengan apa aku harus mendekati tak kala aku adalah seorang yang setiap hari bergelut dengan pemikiran-pemikiran, yang tidak sepantasnya orang kebanyakan piikir saat ini?

Jiwa yang terpangil, rengkuhlah diriku dengan tuanya kejiwaan "Bidadari" yang aku pandang. Dia "Bidadari" itu bukan saja indah, tetapi adalah pengelihatan dibalik makna yang tersurat dalam lamunan pengelihatan diriku sebagai manusia bebal abad 21, yang terlalu banyak berpikir tanpa ingin lebih membumi bersama jiwa-jiwa muda yang bermain-main dan menari tanpa memaknai dirinya sendiri terlebih dahulu.

Namun apa hendak dikata pada makhluk bumi ini, ia saja masih bertanya dengan dirinya, adakah kesucian yang masih tersisa pada setiap jiwa manusia? Yang tidak melupakan doa-doa, aku seperti menjadi manusia yang terkesan dengannya. Bukan aku tidak mampu lagi untuk berdoa, hanya saja, aku tetap bergelut dengan perenungan dan pemikiran yang "jelas" mengobati rasaku sebagai seorang pemikir yang sunyi.

Malam yang menunggu rasa kantuk tiba, hari yang sudah tidak dingin lagi, rupa-rupa, aku telah menjadi rupa-rupa manusia baru yang kuno, tidak semudah berbaur dengan anak-anak jiwa dalam permainannya, mungkinkah hidup dapat menjadi biasa saja pada akhirnya? Terlalu lelah menanti, mungkin aku harus tetap berdiri tegak, sesekali ikut dalam permainan memandang dunia yang tidak lebih indah dari wajahmu "Bidadari".

Pengelihatan yang tidak dapat ternilai, senyum yang kau hantarkan bagai cahaya di dalam gelap, lamunan, aku masih terbaring disana. Menunggu dan menunggu manis wajahmu "Bidadari" berjiwa tua yang terasa, membuat tertawa, ada kalanya senyum kecil tanpa menggoda, dingin merajut asa yang terlanjur sebagai diri yang masih sendiri.

"Aku kini menunggu esok pagi, akankah aku menjadi biasa lagi? Tanpa ada harapan hati yang menyelimuti? Bidadari, mungkinkah engkau lebih baik tidak dikenali"? Pertanyaan ini menganggu, tentang berpikir, merasa, dan lain-lain sebagainya yang masih menyangkut rasa dan manusia, tertinggal, bahkan penafsiran ini bagai Bintang yang ingin terus dinyalakan seperti lilin, sebagai hantaran-hantaran setiap harapan dan doa manusia disana.

Belaian indah rambutmu, senyuman di wajahmu, melingkar bagai cincin Api yang membara sampai pada tulang rusuk ini. Sekumpulan manusia-manusia, "Bidadari", engakau memang masih manusia atau kekuatan dari langit yang sengaja datang menghampiri. Setiap tulisan, ingin aku buat hanya untukmu, menjemput rasamu, dan belaian angin pagi ini membawa hasrat kita pada kemajuan yang agung, dari kita, dunia, dan harapan perubahan dari dalam diri kita sendiri.

Pengembaraan ini, adakalanya memang harus terlepas. Bukan saja untuk melepas sangkar panahnya, tetapi melepas semua hasrat manusianya tersebut. Tentang hidup menghidupi sebagai pelajaran menjadi manusia, nyanyian sunyi, apakah bermaksud yang terbaca maksudnya? Tentang yang kini menjadi mimpi-mimpi baru, mungkinkah aku akan membiarkan rasa ini untuk hadir kembali?

"Diri-diri, sayap-sayap, bawalah diriku terbang bersama mimpinya. Aku memang si gila, yang terkadang terbawa rasa, yang terkadang tidak ada dasarnya, kosong". Tetapi bagaimana dengan buku "Lahirnya Tragedi" dari Nietzche yang sedang aku baca ini, baru kemarin aku beli di toko buku? Tidak lebih, dari satu manusia adalah satu "seniman" yang perlu menaklukan waktu, bahkan menaklukan Bidadari sebagai bahan berseni itu sendiri, untuk diri dan hidup bersama.

Terlebih jika aku hayati rasa ini, semakin jauh diriku terbang bersama matahari. Terlepas untuk menjadi lepas saja, ia hanya mimpi, pikiran selebihnya hanya fiksi. Bidadari dalam kenyataan rasa yang sunyi, dimana untukmu dan dirimu, aku buat kata-kata ini, yang selanjutnya ingin aku buat bingkai bahwa; Bidadari adalah dasar dari seninya manusia cenderung menjadi pemikir adab ini.

Kopi yang aku minum tadi, racun pikir, membuatku banyak berpikir tentang itu, tentang yang lalu, yang hilang, dan aku seperti ingin terbangkit kembali. Rasa yang merayap, biar saja aku nikmati ini masih sebagai manusia. Tentang segudang pertanyaananku pada dirimu "Bidadari", mungkinkah Bidadari tetap merupakan "Bidadari" dengan segala apapun yang aku "manusia" menjadi sesuatu yang ingin terhayati?

"Aku memang tidak mau terjatuh lagi, pada perasaan yang sesungguhnya kosong tanpa isi. Namun bagaimanapun hidup ini, tetap hanya "nihilisme" rasa yang memulai mengisi rasanya sendiri". Tetapi ungkapan seorang "budhisme" yang sepeluh tahun lalu terdengar, "sejatinya yang kosong itupun isi". Ia tidak memberi, itu juga tidak menerima, hanya saja ungkapan semsetanya adalah jalan untuk mencapai Nirwana, dimana sudah tidak terasa samsara sebagai manusia.

Memang ini seperti akan melepaskan, namun cincin yang terekam, bisa saja adalah ungkapan ketidak bebasan, atau keputus asa-an dari suatu anggapan dalam cinta kemanusiaan. Tidak lebih dari itu, hanya saja kita kosong yang terlahir sebagai perangkai, akan nasib, akan cinta dan akan siapa-siapa kelak yang akan mengantikan wujud kita "manusia" di masa depan.

Terbaring, aku seperti ingin membiarkan saja rasa yang mengganggu alam pikiran ini. Memang nyaman atau tidak nyaman, suka atau tidak suka, inilah jalan yang tetap harus dilalui sebagai manusia di dunia. Sesekali berseni memandangi "Bidadari" yang terlihat sangat manis itu, bersyukurlah sebagai jiwa pemikir, renunganmu merupakan jalan hidupmu yang sejati.

Ungkapan bertanya-tanya, enyalah didalam hati ini saja, rasa yang datang pada akhrinya, aku terima engkau seperti aku menerima diriku sendiri di dalam dunia yang fana ini. Kosong yang sebetulnya isi, dan isi yang sebetulnya kosong. Tiada pikiran, tiada harapan, tiada bentuk, tiada rasa, tiada aroma dan buah-buah pemikiran yang sebenarnya.

Biarlah kau menjadi harapan, kau menjadi jawaban, dan kau menjadi suatu lompatan pada dinamika hidup, yang seorang manusia menjadi "rancu" pada akhirnya dalam menjalaninya. Kesempatan, jika kau bertanya padaku mungkin aku jawab, semua terserah Bidadari-bidadari disana, menerima manusia sebagai kosong atau isi yang dituntut. Tetapi akulah yang kosong tersebut, sebagai roh seni abad 21 ini.

Kesempatan ini, dapatkah akan aku gunakan sebagimana aku ingin terus belajar dengan tingkat intelektualitasku yang sedikit agak dalam, namun berkesan sangat dangkal ini? Sesuatu yang terurai, dimana jejak rambut Bidadari yang tumbuh di atas kepalaku. Mungkinkah kau "Bidadari" ingin juga tumbuh dalam hatiku? Oh, yang kini tengah menjadi kosong untuk isi dan menanti isi untuk kosong kembali sebagai sesuatu yang dihidupkan lalu dimatikan pada akhirnya.

Dirimu "Bidadari" memang sebagai kesempatan, hanya saja, anggapan dapat pula menyakitkan, membawa diri yang terlalu dalam, sedikit tidakan yang mulai akan tertekan oleh rasanya sendiri. Oh, rasa, rasa, dimana nyata dalam "ada" itu sebenarnya? Seperti lirih dalam batin yang tertekan, senyuman palsu, dan setitik berpikir merajut hidup bersama. Kita akan dapat terbang seperti layangan disana, yang sedang menanti angin yang dapat membawanya pergi.

Rindu yang ramping, berharap yang membuat sinting, tidak lebihnya ini adalah manisnya hidup, melihat keindahan, dan harap-harap cemas tidak ingin mengharap. Biarlah menjadi suatu tanda tanya besar, bagaimana alam kelanggengan itu berbicara pada akhirnya. Dirimu yang bermakna, "cobalah untuk sejanak bepikir dengan rasa, selebihnya hanya harapan yang mendera, untuk di kosongkanlah saja sebagai manusia".

Suatu saat, dan saatnya ada sesuatu, aku tidak harus bertanya lagi, tentang apa yang akan aku lakukan, biarlah ini menjadi gerak hati manusia yang terbuang. Dimana derita, dimana bahagia? Biarlah nasib sebagai isi, menjadi kosong, yang mengisi hidup manusia itu sendiri. Aku mengisi pikiranku sepintas tentangnya "Bidadari" penjaga api itu, dengan rasa tersunyi, aku beberapa hari ini terkesan sekali padanya, cara hidupnya, tentang masihnya mengunakan doa sebelum makannya. Bagiku adalah sesuatu itu dibalik langkanya anak-anak yang menggunakan doanya sebelum makan-nya saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun