Dirimu "Bidadari" memang sebagai kesempatan, hanya saja, anggapan dapat pula menyakitkan, membawa diri yang terlalu dalam, sedikit tidakan yang mulai akan tertekan oleh rasanya sendiri. Oh, rasa, rasa, dimana nyata dalam "ada" itu sebenarnya? Seperti lirih dalam batin yang tertekan, senyuman palsu, dan setitik berpikir merajut hidup bersama. Kita akan dapat terbang seperti layangan disana, yang sedang menanti angin yang dapat membawanya pergi.
Rindu yang ramping, berharap yang membuat sinting, tidak lebihnya ini adalah manisnya hidup, melihat keindahan, dan harap-harap cemas tidak ingin mengharap. Biarlah menjadi suatu tanda tanya besar, bagaimana alam kelanggengan itu berbicara pada akhirnya. Dirimu yang bermakna, "cobalah untuk sejanak bepikir dengan rasa, selebihnya hanya harapan yang mendera, untuk di kosongkanlah saja sebagai manusia".
Suatu saat, dan saatnya ada sesuatu, aku tidak harus bertanya lagi, tentang apa yang akan aku lakukan, biarlah ini menjadi gerak hati manusia yang terbuang. Dimana derita, dimana bahagia? Biarlah nasib sebagai isi, menjadi kosong, yang mengisi hidup manusia itu sendiri. Aku mengisi pikiranku sepintas tentangnya "Bidadari" penjaga api itu, dengan rasa tersunyi, aku beberapa hari ini terkesan sekali padanya, cara hidupnya, tentang masihnya mengunakan doa sebelum makannya. Bagiku adalah sesuatu itu dibalik langkanya anak-anak yang menggunakan doanya sebelum makan-nya saat ini.