Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ruang Swadaya Pembicaraan

9 Agustus 2019   06:41 Diperbarui: 9 Agustus 2019   15:39 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dibuat bertanya lagi, namun bukan pada apa realitas yang ada di depanku, bagaimana aku memandang mereka, seperti ada konsep yang harus ditanggalkan bahwa; "aku tidak sepantasnya mengharap", apa lagi dihadapkan pada setiap pemikiran-pemikiran ini, yang "aku" sama sekali tidak pantas memikirkannya.

Berlalu dan semakin berlalu, merupakan acuan realitas waktu, namun apa daya bagi manusia, seperti mimpi, ia tidak akan pernah terbagi selanjutnya. Dalam khayal ini, semua memang membagi, bukan membagi karena ajaran kemurahan hati, tetapi niat sebagai manusia itu sendiri yang mendasari, karena sejatinya semua manusia itu baik. 

Mereka "manusia" menjadi jahat karena belum selsai dengan dirinya, hidupnya penuh dengan konflik kepentingan di dalamnya.

Hidup dan terbawa perasaan, mungkin hanya sebatas permainan dunianya sendiri. Tentang jiwa-jiwa jodoh yang ada, apakah mereka tidak dibelenggu konsep sebagai dirinya sendiri terlebih dahulu? 

Harapan dan keterbawaan diri pada keyakinan akan mengharap itu sendiri, mungkin inilah yang bermain, anggapan dan selalu teranggap lagi oleh diri manusia masing-masing.

Tentang kemurnian jiwa, biarlah menjadi sebuah misteri untuk diri kita sendiri "manusia". Mereka yang mencintai kita dengan kosong, apakah sudah tidak ada harapan yang mengikat? Memang hanya menjadi pertanyaan, sekali lagi, beratnya berpikir tentang manusia yang selalu saja begitu, tidak akan pernah ada habisnya.

Tetapi beginilah menjadi manusia, semua dipikir secara manusiawi tidak sampai, tidak dipikir menjadi manusia juga terperangkap oleh sikap manusianya itu sendiri, membelenggu, jatuh, dan terombang-ambing angan, yang harus menjatuhkan diri pada akhirnya sebagai manusia. 

Mereka yang tengah lari, mencari obat mengobati rasanya sendiri, yang tengah berlubang, dan cenderung kurang sebagai dirinya saat ini.

Manusia memang perlu obat untuk lari dari kekurangan  rasanya sendiri. Sekiranya obat mana yang dibutuhkan manusia menyembuhkan dirinya sendiri? 

Semua tergantung, bukan tergantung oleh lingkungannya, tetapi oleh preferensi dirinya akan kesenangannya, judi, narkoba, sex bahkan agama sekalipun, adalah tempat manusia lari dari apa yang kurang dari dirinya sendiri.

Perihal makanan bagi jiwa manusia "pengetahuan" merupakan unsur itu, upaya untuk lari, seperti ungkapan Plato, "ilmu atau pengetahuan adalah makanan bagi jiwa". 

Karena semua pengetahuan akhirnya akan menyadarkan, bukan semua bentuk upaya lari itu salah, yang harus dihindari adalah lari justru malah menambah masalah penderitaan manusia, menjadi tanpa dapat lepas dari obat-obat itu yang membuat candu seharusnya dapat dihindari.

**

Seperti akan tertinggal jauh, dimana keterbatasan yang ditentang itu sendiri, bias sebagai yang hidup dalam ambigu, berawal dari kesalahan dan di akhiri sebagai anggapan kesalahan oleh manusia. 

Dasarnya kesalahan adalah dirinya sendiri yang perlu terus diperbaiki, ungkapan tidak mungkin manusia itu benar, ada kalanya salah, namun dapat di perbenar kembali, menjadi anggapan yang tidak pernah sampai, tetap hanya dalam perdebatan yang manusia agungkan.

Gemerlapnya malam ini dibalaik lelahnya jiwa manusia memandang dirinya sendiri, disudut ruang  manusia yang tertata hidupnya oleh budaya, mungkinkah aku akan menjadi orang yang berbudaya saja pada akhirnya? 

Mengikuti dan tetap mengikuti tanpa aku menjadi manusia yang membangun budayanya sendiri seperti para manusia pertapa disana yang dapat menaklukan dirinya sendiri, untuk akhirnya setaraf dengan manusia berbudaya lainnya secara sempurna.

Yang mulai suntuk dengan kejengahan dunia sebagai hidup dan manusia di dalamnya. Rasanya mengikuti arus akan mengenakan segenap hati ini, mungkinkah akan menjadi nyata dalam ada menjadi manusia? 

Ikut arus tanpa mengendalikan arus itu untuk sesuai ritmenya sendiri, guru-guru, dan para manusia pemcerah itu, mungkinkah kini masih berada dalam Goanya sendiri?

Terang di dalam gelap ini, terlihat warna-warni simetris disudut ruangnya. Tentang yang sama-sama gelap, apakah ia dapat saling mengetahui satu sama lain? Riang yang tidak terjamian bahagia, diam terkesan bertanya-tanya, belum tentu juga hidupnya menderita. 

Separo dari bulan yang muncul malam ini, semua hanya tafsir yang dijadikan sebagai acuan hidup oleh manusia. Tentang siang dan malam yang terus dan akan terus dikutuk olehnya sendiri.

Gemerlap dan Merdeka, bukankah hanya berdasar interpretasi saja sebagai manusia berbudaya? Tidur nyenyak tanpa kekhawatiran besok, "Merdeka" yang sesungguhnya, "celaka" justru banyak orang melupakannya. 

Tetap mereka hanya bermain-main di dalam permukaannya, yang mencoba memaknai sesuatu hanya karena sudah menjadi budaya sebelumnya. Gemerlap dan palsu, apakah tetap akan dijadikan parade hidup yang senyap, dimana keadilan sosial yang semakin menyembah kepada modal?

***

Sekiranya di abad ini, siapa dan bagaimana manusia paling menarik itu untuk diikuti? Di ujung sana ada angkringan, di ujung sana pula ada roti bakar, tetapi apa yang harus kita tahu jika berada disana? 

Ekonomi bergeliat apik, sinar menggelegar kota, mulai terang benderang mengalahkan lilin-lilin masa lalu, yang terjungkal di kala ia sudah tidak di butuhkan lagi.

Motor-motor berjejer, tatakan dari terpal ini, menjadi alas kaki manusia "abad 21" menongkrong indah membunuh malam selepas kerja. Yang tidak dapat lepas, tidak ada obrolan-obrolan menarik di dalamnya. Pembicaraan hanya seputar kerja, kerja, dan kerja, sebagai dampak lingkungan dari modal yang sangat membosankan.

Saat-saat ingin berlari menuju keterlepasan dari dunia kerja, disana ruang-ruang itu juga terisi dengan pembahasan "kerja" di dalam ruang obrolan, rasanya aku ingin membunuh waktu, untuk menepi sejenak bahwa; hidup manusia bukanlah hanya bekerja saja. Mereka "manusia" butuh ruang dimana hidup tidak kaku dan terlalu keras menerpa dirinya.

Tentang para penari disana, apakah memang ruang obrolan memang begitu? Mereka hanya mengisi apa yang ia kini sedang jalani? Yang tidak dapat lepas dari semua itu, tunjukanlah jalan dimana tempat yang baik untuk aku ingin berpijak sejenak melangkah dari dunia.

Yang menjadi berharap-harap, ditepi lautan sana, suara gemuruh badai, masihkah seorang nelayan dapat membunuh waktunya ketika hanya ada air disekitarnya? Keterpandangan orang diatas gedung itu, sungguh apa yang ingin sebenarnya dilihat oleh mereka. Lamuan seakan kau hadir lagi untuk beberapa kalinya, duduk diam seperti akan menjadi keadaan yang lebih baik.

Dalam bayang ini, hidup lari sebagai obat diri memang perlu, kualitas dari apa yang disebut obat tersebut, hanya orang-orang yang menangkap kesadaran yang dapat menilainya. 

Sungguh aku segera ingin berlalu, mencoba melepas ingatan, tentang apa yang menjadi harapan yang telah bermetamorfosa menjadi sedikit penderitaan batin, yang seharusnya tidak harus kita "manusia" terima.

Iyakah manusia bukan seperti burung-burung disana? Terbang, berlari, mencari makanan yang tersisa dari dunia, namun yang sedikit berbeda itu, burung-burung tidak butuh uang, mereka juga tidak butuh menyatu dalam identitas sebagai modal sosial hidup mereka. Dan burung mungkin tidak akan terjebak oleh pikiran mereka sendiri seperti manusia.

****

Ruang swadaya pembicaraan ini, bukan dari beberapa ruang yang bicara, ini adalah ungkapan pada diri sendiri, tentang melukis kata untuknya sendiri, berpacu dengan syair-syair yang sedikit agak syahdu. 

Mungkinkah pertanyaan dirinya dijawab oleh dirinya sendiri? Sangat sempit sebagai jagad kecil, masih sangat mungkin, bahkan manusia dapat bercengkrama dengan jagad besar disekitarnya.

Siang ini panas yang begitu terik di Kota Cilacap, bukan saja aku harus "jelas" menikmati kotaku sendiri, pertanyaan yang tidak dapat bisa dijawab, "dejavu itu". Seperti pernah mengalaminya dalam mimpi, tentang menggarap sesuatu diruang tertentu, berjalan-jalan keliling Kota. 

Yang hadir, akankah engkau dapat menyadari hidup ini? Senyuman itu, terkadang tidak harus melarikan diri untuk tahu, aku akan tetap dengan diriku yang santai menangapi semua ini.

Namun lamunan hanya tertinggal lamunan, tentang menjadi merah dibalik warna biru, pembicaraan kosong memang tidak selalu patut untuk di ikuti. Memang menjadi mengakarabkan, tetapi apakah akrab harus dengan seperti itu, berbicara tanpa tahu esensi? 

Akrab adalah berbicara tentang apa yang sama-sama belum manusia ketahui, menjadi pertanyaan itu, sudahkan harus tidak bertanya lagi agar dimengerti?

Bercanda yang penuh dengan tawa, mungkin itulah cara manusia yang sudah lelah di dalamnya, tentang kesuntukan berbicara, dari pada melamun dengan beban, akrab di permukaan memang perlu. 

Tidak untuk dijadikan ruang yang gelap, pada dasarnya setiap ruang bercanda adalah keakraban kecil. Aku harus mengerti akan ini, semua hanyalah bagaimana ruang yang kosong terisi dengan baik tanpa ada rasa saling curiga di dalamnya.

Bicara tentang manusia di dalam lingkungan kerja memang ketika sore hari tiba. Tetapi kembali kepada perkara rasa yang tidak perlu pada akhirnya. Sebijaksana-bijaksananya menjadi manusia adalah bebas dari konsep apa yang membelenggu dirinya sendiri "sebagai" dan "yang". 

Aku tahu, aku memang harus melepas, perkara jiwa yang terpengaruh hukum dari energy di dalamnya, itu perkara lain, dan antara aku dan konsep, benar-benar harus lepas menjadi "swadaya pembicaraan". 

Dunia dan kebatinan manusia, selalu ada yang akan terganjal di dalamnya, apakah aku terlalu jauh jika di dalam lingkungan menafsirkan secara transendetal bahwa; setiap lingkungan adalah ruang bertemu dengan manusia-manusia yang ada di kehidupan masa lalu? 

Jauh aku berpikir, ketertarikan itu, biarlah ia dalam diam, menikmati tanpa harus dipaksa, meskipun berulang-ulang kita bertemu dengan orang yang sama, namun, pola-pola  pemikiran yang berbeda merupakan suatu jarak tersebut. Mengambil atau tidak jarak itu, paling menyakitkan adalah terbawa perasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun