Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sikapi Semua Dengan Tiarap

16 Juli 2019   12:27 Diperbarui: 16 Juli 2019   18:58 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti keresahan yang terus menerus asyik untuk diratapi. Banyak manusia kini sedang galau, mengapa ada saja kekhawatiran di dalam dirinya sendiri? Tentang rindu badan kurus atau rindu dengan penampilan ya tidak katrok-katrok sangat setiap harinya.

Namun kenyataannya sebagai manusia begini, haruslah untuk begitu, dunia memang begitu dan begitu saja, tanpa kompromi dan seharusnya tanpa "apa" yang harus dipikiri manusia. Namanya juga hidup dan masih manusia, pikir memikiri seperti sudah menjadi takdir yang harus dijalani.

Layaknya hirarki di dalam perusahaan itu sendiri. Semua orang tidaklah saling dukung mendukung satu sama lain. Tidak mungkin kini yang menjadi bawahannya menurut strukture perusahaan di dorong untuk lebih pintar dari dirinya, selama dia masih kurang puas dengan apa yang telah dicapainya.

Ruang perusahaan merupakan ruang gelap, mereka satu sama lainnya tidak mudah ditebak, tetapi apa yang dapat di tangkap dari ruang gelap mereka? Tentu adalah arah mereka, dimana semua menginginkan aman dibalik ruang kerja mereka, menikmati status quo dan sedikit menyikut bila terancam.

Berada di dalam ruang krumunan perusahaan atau ruang-ruang sosial lainnya jika ingin selamat memang tiarap. Bukan dia tidak harus maju, tidak! Hanya saja untuk maju perlu dengan strategi kapan dia harus berdiri. Terkadang berdiri terlebih dahulu melihat suasana mendukung atau tidak ada kalanya memang penting.

Disini pembaca situasi menjadi apa diri menjadi sangat menentukan. Seolah menjadi pengetahuan yang sudah terbukti, ruang perusahaan adalah ruang kapasitas, siapa dan berlaku untuk apa, disinilah yang harus diketahui. Perusahaan bukan ajang ujuk gigi, atau unjuk bakat apa pun, seperti yang telah banyak orang duga sebelumnya, dia "perusahan" adalah ruang mekanik yang teratur.

Entah apa yang mau akan dikata berikutnya, seolah menjadi seni diruang mekanik, itu tidak akan mulus terjadi. Ini merupakan tatanan, ini bukan sirkus siapa yang lebih menarik dia yang layak, tetapi ini merupakan bidikan siapa pantas untuk lebih layak membidik dan mengenai sasaran. Tentang harapan yang terlalu tinggi, dalam mekanisasi, ketinggian khanyal mimpi yang sama sekali tidak rasional.

Akhirnya bingkai dari semua kecerdasan yakni kecerdasan emosional dalam tatanan sosial kehidupan. Kesan pertama dalam "eksistensi" memang itu perlu, namun pada akhirnya hanya cukup tahu, ada tembok besar yang dicipatakan dari proses mekanik yang tidak dapat mencair begitu saja.

Dunia dan tetap adalah dunia, dia mewujud bukan pada prosesi kebatianan, hanya catatan kecil mekanikal yang ketika mereka terbentur akan saling membenturkan diri pada akhirnya. Jean Paul Satre tentang "orang lain adalah neraka" inilah secarik bentuk mekanikal yang terjadi, nyata dan benar-benar ada.

Diruang obrolan yang berkermun diselah-selah sepertiga sore, kopi, dan bahan orbrolan yang menghampiri. Ungkapan orang lain adalah neraka tersimpan, namun enyahlah itu dalam angapan. Yang jika terus disadari neraka itu diciptakan oleh dirinya sendiri.

 Nyatanya semua yang ada pada dunia mekanik adalah anggapan, tidak lain hanya perkara dia nyaman atau tidak nyaman dengan mereka, dan mereka nyaman atau tidak nyaman bersama dia. Perkara sempit yang membuat jengah tentu karena tingkah laku yang tidak susuai dengannya. 

Mungkin dari sinilah tercetus sebuah gagasan orang lain adalah neraka. Bukan dia neraka sebenarnya, tetapi hanya saja ketidaksesuaian ini berbicara, emosional dan selau kecerdasan emosional sebagai bahan untuk menyikapinya. Dia tidak memilih apa pun, sayangnya dibalik orang lain adalah neraka, dirinya sendiri pun mengundang neraka.

Ya, hidup memang tidak sesederhana ini, semua serba  perlu dan patut di banggakan, dengan tirap. Namun bagaimana dengan membanggakan diri secara tiarap? Seperti yang Zarathustra katakan pada Nithche atau yang Nithche katakan pada Zarathustra.

Semua fiksi itu khayal sebagai seni, dan mekanisasi sebagai realitas yang pasti dalam komunikasi data antara 1 dan 0, seperti itulah jalanan rumit tetapi sederhana bagi manusia.

Menunggu yang tidak ada berhenti, ingin lari sejenak bersama relung angin memanjakan diri. Manusia pekerja yang sedang menunggu apa yang dikerjakannya, seperti layu menunggu hari esok tiba, hal yang tidak mudah dipaksa, inilah diri bersama lamunannya, sepi yang ingin terjawab.

Terpinggir dan mulai terpinggir lagi, rasanya hentak diri ini memang bening. Mungkin saja sebening rasa ketidak percayaan diri yang hadir, ketidak pastian alangkah mengerikannya engkau, tidak hanya mempagari diri ini, tetapi mempagari angan ini untuk tidak terlalu jauh begitu saja dalam setiap apa yang menjadi keinginannya.

Menunggu dalam rasa, sesempit inikah menjadi orang baru dalam dunia yang lama? Seperti akan terus mengajak berdansa rasa, inginnya, di terpenuhi, mencoba mengutuk waktu, dalam bayangan yang tidak terpikirkan. 

Wajah ini dihitung bersama lamunan sampai terasa terik matahari telah menerkam. Jauh dari sana terlihat, pasti dan tidak pasti, hanya ada di dalam rasanya sendiri. Jangan pernah terkecoh lamunan, dia terasa mengejar hari tetapi nyatanya dia sedang tidak mengejar apa-apa.

Yang sedang ingin dianggap orang lain baik, nyatanya dia tidak akan baik jika apa yang menjadi ukuran adalah orang lain dalam menafsirkannya. Seperti omongan yang sana menyapa yang disini, disitu sinis kepada yang disana pula. Percayalah ini tidak akan pernah selsai.

Tiarap dan terus merendah, bukan berarti manusia tidak mempunyai martabat, hanya saja dia harus sadar, ketika tidak merasa tinggi, tidak akan ada yang akan merendahkan karena kerendahan dan ketinggian adalah dirinya yang harus disikapi sama saja. Hidup memang sudah begini, dunia memang begitu, "biasa saja".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun