Mungkin dari sinilah tercetus sebuah gagasan orang lain adalah neraka. Bukan dia neraka sebenarnya, tetapi hanya saja ketidaksesuaian ini berbicara, emosional dan selau kecerdasan emosional sebagai bahan untuk menyikapinya. Dia tidak memilih apa pun, sayangnya dibalik orang lain adalah neraka, dirinya sendiri pun mengundang neraka.
Ya, hidup memang tidak sesederhana ini, semua serba  perlu dan patut di banggakan, dengan tirap. Namun bagaimana dengan membanggakan diri secara tiarap? Seperti yang Zarathustra katakan pada Nithche atau yang Nithche katakan pada Zarathustra.
Semua fiksi itu khayal sebagai seni, dan mekanisasi sebagai realitas yang pasti dalam komunikasi data antara 1 dan 0, seperti itulah jalanan rumit tetapi sederhana bagi manusia.
Menunggu yang tidak ada berhenti, ingin lari sejenak bersama relung angin memanjakan diri. Manusia pekerja yang sedang menunggu apa yang dikerjakannya, seperti layu menunggu hari esok tiba, hal yang tidak mudah dipaksa, inilah diri bersama lamunannya, sepi yang ingin terjawab.
Terpinggir dan mulai terpinggir lagi, rasanya hentak diri ini memang bening. Mungkin saja sebening rasa ketidak percayaan diri yang hadir, ketidak pastian alangkah mengerikannya engkau, tidak hanya mempagari diri ini, tetapi mempagari angan ini untuk tidak terlalu jauh begitu saja dalam setiap apa yang menjadi keinginannya.
Menunggu dalam rasa, sesempit inikah menjadi orang baru dalam dunia yang lama? Seperti akan terus mengajak berdansa rasa, inginnya, di terpenuhi, mencoba mengutuk waktu, dalam bayangan yang tidak terpikirkan.Â
Wajah ini dihitung bersama lamunan sampai terasa terik matahari telah menerkam. Jauh dari sana terlihat, pasti dan tidak pasti, hanya ada di dalam rasanya sendiri. Jangan pernah terkecoh lamunan, dia terasa mengejar hari tetapi nyatanya dia sedang tidak mengejar apa-apa.
Yang sedang ingin dianggap orang lain baik, nyatanya dia tidak akan baik jika apa yang menjadi ukuran adalah orang lain dalam menafsirkannya. Seperti omongan yang sana menyapa yang disini, disitu sinis kepada yang disana pula. Percayalah ini tidak akan pernah selsai.
Tiarap dan terus merendah, bukan berarti manusia tidak mempunyai martabat, hanya saja dia harus sadar, ketika tidak merasa tinggi, tidak akan ada yang akan merendahkan karena kerendahan dan ketinggian adalah dirinya yang harus disikapi sama saja. Hidup memang sudah begini, dunia memang begitu, "biasa saja".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H