Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Musik dan Riwayat Penemuan Diri

10 Juli 2019   09:23 Diperbarui: 10 Juli 2019   13:22 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari; leafly.com

Upaya menghibur diri itu menyakitkan, lebih sakit dari pada menerima diri apa adanya. Kembali mengacu pada alunan musik yang sama waktu itu. Hanya upaya lagi dari kegelisahan yang membuat sesak nafas ini.

Semoga ini berlalu, berlalu dengan hembusan angin kencang dari bawah pohon yang rindang. Waktu, mengapa engkau berlalu begitu saja? Aku masih ingat dimana anak-anak kampung itu mengajak aku, menikmati hidup tanpa beban.

Bermain-main bola plastik dengan orang tua yang menginginkan kesehatnya. Tertawa, terhembus di ingatan, akan kah semua mudah dalam ingitan kalian? Yang berlalu, tetap menjadi lalu, tidak lebih!

Aku masih ingat rasa Serabi di ujung jalan sana, Mendoan yang lezat disamping rel kereta. Tahu yang kupesan dari anak-anak dengan imbalan seribu hingga seribu lima ratus. Makanku tanpa nasi, minumku hanya air putih, mainanku hanya buku yang kupegang untuk aku baca, no alkohol, no rokok.

Setiap sore bermain lepas tanpa beban yang aku sandang dengan mereka. Yang telah lalu, datang ke Kampus hanya ingin bertemu dengan teman, diskusi tanpa batas. Hanya materi itu, tidak semua antusias, tentang kerajinan, kemalasan yang akut, dan mereka yang sudah tidak bergairah lagi meneruskan pendidikannya.

Namun setelah sekian lama, menjadi apa antara aku dan mereka? Tetap menjadi dirinya sendiri dengan nasib yang tidak jauh berbeda dengan pertama kali, menginjakan "kaki" ke lingkungan kampus beberapa tahun yang lalu

Dulu kami berhayal, mau jadi apakah kita kedepan, ketika lulus dengan ijazah kita punya? Pendapat mereka tidak ada yang khusus, kebanyakan hanya bekal ketika karir dikantor memanggil ijazah.

Impian kita tak begitu tinggi, hanya harapan kecil pada hari Jumat dan Sabtu malam. Ngobrol-ngobrol di warkop dekat pendopo, sudut alun-alun, atau lesehan-lesehan pinggir jalan yang menjajakan nasi goreng.

Tentang pertengkaran pendapat, sampai saat ini belum selsai. Akhirnya memencar jauh dari tali-tali kita sendiri. Aku ingin mempertanyakan itu? Dari sinilah minat belajarku tumbuh, imajinasi agar lebih baik menjamur, dan khazanah berpikir supaya terlihat luas.

Sebenarnya tidak banyak yang bisa dilakukan, ketika berhitung hanya dengan nalar, asal terjawab dan hati senang. Nilai-nilai yang hancur, perjuangan dengan uang yang tidak gampang, kini hanya berhembus kenangan dibalut dalam renungan.

Hari-hari itu sudah berlalu, tidak ada diakusi, tidak ada tawa lagi, bahkan tidak ada tipu saat seseorang penasaran dengan cerita yang aku sajikan "fiktif tetapi rasional.

Masa kita indah waktu itu, cerah seperti hari Jumat dan Sabtu yang ditunggu banyak karyawan disana. Cerita visi, organisasi, dan semangat pantang menyerah walaupun "kopong" tanpa isi. 

Aku tertawa mengingat itu. Musik instrumental yang sama, mengumbar kenangan, saat ingin tenang bersama angin malam di teras Homebase sebagai tempat singgah dalam pekerjaanku.

Sudah beberapa tahun kita berlalu, mungkin dunia belum mempertemukan dimana tempat kita, aku harap kalian menemukan tempat dimana kalian ingin berada, tempat kalian menggantungkan harapan dan cita-cita kalian di hari depan. 

Aku kini bersama tulisan-tulisanku, untuk bagaimana kisah kita tetap ada, tetap menyala, walapun kusut dimakan jaman. Meski semua akan usang terlihat pada akhirnya, biarlah mereka menjadi milik mereka, dan kita menjadi milik kita seutuhnya

Nasib seperti kesesuaian, dia menyesuiakan bagaimana orang itu, hitung-hitungan, merebut waktu, dan memberdel apapun bentuk kepesimisan diri manusia

Dia yang melambat di ujung waktu, di ujung dimana semangat tetap menyala, kini semua itu mulai reda, tidak lagi ambisius. Saat kami menghendaki jalan-jalan sepi, pasar kerja mulai memilih, dan aku berjuang dengan tiarap, dengan suka, beribu-ribu derita dalam pikiranku.

Aku berpikir, "Aku" tetaplah masih orang yang sama, seperti musik instrumental relaxing yang sedang aku dengarkan ini, "membuat terperangah".

Dalam bayangannya, aku seperti diterjang jiwa yang pecah. Dimana keterbagian seakan lebih dominan. Dia cepat tertawa, dan dia pula akan cepat untuk menjadi cemas. Tentang yang menjadi kekhawatiran adalah suatu kesemuan, aku bersama diriku yang lelah malam ini.

Seakan duniaku ingin pecah kali ini, dia terbagi menjadi kecemasan yang berlangsung. Berpikir dan merasa. Andai semua dapat terlpaskan begitu saja. Aku sedang membayangkan asap-asap kedamaian itu dibalik polusi ibu kota yang sedang aku hirup saat ini.

Minuman-minuman anker terpajang yang membuat lupa daratan.Terkadang aku ingin mengutuk rokok yang mahal saat ini. Aku juga ingin mengeluh bir yang juga mahal, dan sulit di dapat abad ini.

Saat lelah menerjang, sebenarnya aku hidup ini untuk apa? Kerja dan uang, aku mengkhawatirkan waktu. Kemudian aku tahan untuk terlalu boros dengan uang mengingat besok pagi.

Apakah aku terlena dengan masa depan? Masa laluku yang bersih, apakah ingin aku kotori engkau dengan apa yang kurang di masa depanku nanti, termasuk mengabiskan semua uang untuk segala bentuk kepuasan-kepuasan membayar hiburan hidup ini?

Hujan yang turun, seakan hinggap pada negatifnya tubuhku ini yang sedang menunggu sarana sebagai jalan pulang. Mungkin penyakit psikologis sedang menyerangku. Aku tidak bisa menikmati hawa tenang dalam diriku.

Ilusi-ilusi yang aku ciptakan, akankah ia menjawab rasa gelisahku ini? Lelah dalam tuntutan hidup ini. Menjadi dingin, meyeruak kedalam tulang sum-sum. Kilat dan suara petir, menciptakan ketakutan yang beragam.

Aku, "aku" takut pada rasa fluktuasi diriku. Rasa yang memanggil menjadi kekalutan yang tertanam rapi. Rasanya aku ingin tenang namun ilusi menciptakan ketidaktenangan dimasa depan. Aku menjadi sayang membeli asap kedamaian dan minuman yang membuat lupa daratan.

Sudahlah, seakan logika ini ada dalam hitung-hitungan waktu yang belum ada. Ia mendorong diriku untuk punya, aku harus punya ini, aku juga harus punya itu. Namun kenyataanku masih diam, tanpa kata, hanya menikmati tubuh ini sendiri saja.

Dengan pusingnya kepala ini dalam kediamannya. Juga berpikir dalam imajinasi-imajinasinya. Mungkinkah ini akan menjadi selsai? Tidak, aku harus bekerja keras memperbaiki setiap perubahan mood ini.

Persetan dengan apa yang aku tananam saat ini. Terlebih aku hanya ingin diam tanpa gelora harapan. Kepribadian yang aneh, yang nyata, seakan manusia bertarung setiap saat dengan moodnya sendiri sebagai manusia.

Menjadi pecah lagi, dengan ketiadaan, aku ingin berselancar menuju awan-awan disana. Menikmati imaji keindahan yang mungkin masih tersisa dalam bak sampah tubuh ini.

Aku ingin mendengarkan musik yang tenang. Karena hanya musik hiburan yang murah bahkan bisa dinikamti secara gratis. Apa mungkin aku habiskan saja uang yang aku cari setengah mati ini, untuk beli asap dan air kedamaian?

Lupakanlah semua itu, jangan manja, dan sembuhkanlah dirimu sebisamu. Kalau bisa sembuhkan, tanpa membuat penyesalan dalam hidupmu di lain hari. Ah, hidup dengan kontradiksi memang melelahkan. Begitu menjadi sangat lelah, hari-hari manusia sangat aneh!

Aku harus mulai menyembuhkannya dengan musik. "Jiwaku tenanglah engkau, tenanglah, bayangkanlah indahnya alunan musik dalam ketradisionalan". Kecapi itu, seperti gundukan ketiadaan, engkau dan aku, pasati akan merasa tiada.

Degung sunda yang aku dengarkan, akan aku buat imajinasiku berlarian dipematang sawah undak-undakan khas pegunungan. Membayangkan Gunung Galunggung yang sangat mempesona.

Tidak lupa juga musik instrumental dari Bali sana yang dapat membuka romansa hiburan yang ditawarkan.

Bagi yang lelah jiwanya, tidak ada yang lebih indah dari musik instrumental, mengapa? Karena hanya dengan rasa kita dapat menikmatinya.

Terkadang instrumentasi musik juga dapat mengingatkan akan kenangan-kenangan kita. Mengenang suatu tempat, atau saat-saat tertentu yang berkesan.

Keindahan yang terlukiskan, seakan menghidupkan musik instrumental itu sendiri. Dengan musik jiwa berasa teremajakan dari kegaduhan hingar-bingar pemikiran memberatkan. Musik instrumental merupakan cara lari dalam pelarian yang indah, untuk jiwa yang akan dipikirkan pada kenyataannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun