Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sesat Berpikir Manusia yang Membudaya

24 Juni 2019   11:05 Diperbarui: 25 Juni 2019   13:13 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari news.detik.com

Apa yang akan habis dan tidak pernah habis dari manusia? Seperti rasa yang tidak pernah nyaman pada akhirnya. Dia merebak dengan suka rela bahwa; masih adakah celah tidak berpikir dengan perut ini? Memang terkesan tidak menjadi enak, namun dedikasi hidup lebih penting dari pada akan sakit perut setiap hari sepanjang hidup ini.

Alarm jam di sana, membuat suatu bukti, mengapa malam ini tidak aku cukupkan saja pada kualitas tidur yang membaik? Ah seperti kicau burung yang akan berbunyi pagi nanti. Dinginnya malam ini, seperti menarik lidah dan leherku. 

Dimanakah nyaman dalam bayang fiksi kehidupan ini? Yang tak menjadi suatu rahasia lagi, rasa hormat yang tertekan, ada kalanya aku masih curiga pada dunia sosial terpandang rancu ini.

Kemanakah akan ada nyaman membawa diriku sendiri? Kesangsian, skeptisisme, kecerdasan yang ambigu menurut banyak anggapan sosial, seperti tergeletak tragis dalam bayang alienasi diri secara sosial di kemudian hari. 

Tetapi pada kenyataannya, bukankah kita "manusia" membutuhkan bahagia dalam balutan sosial yang agung dalam kebersamaan, walaupun hanya perkara basi-basi hidup saja?

Rasanya memang seperti tergeser bak sampah yang penuh, dan akan hilang di larutkan ke sungai dengan debit air yang lumayan besar. Wajah dengan kilauan bercak membekas, tamparan yang keras bagai busur panah, menerjang hati sanubari ini, manusia dengan kehidupannya. 

Lelah diri, lelah memandang apa yang harus seyogiyanya di lakukan manusia. Bekas yang mungkin akan hilang, terkesan ini hanyalah masalah kepatutan, bagaimana diri memandang dirinya sendiri.

Aku merasa, bukan pada suatu bentuk anti sosial itu, bukan pula pada bentuk mengingkari dunia ini, hanya saja mental yang terkadang berubah drastis, membawa hidup ini hanya dalam perenungan saja yang mecoba ingin direkam untuk nanti. 

Lingkungan bentuk hidup yang kecil, bagai pisang tanpa warna kuning dimakannya, sepet, terlalu lama jauh memandang setiap alienasi kehidupan ini, "teralami".

Mungkin aku harus belajar pada riuhnya semesta pencarian kehidupan bertahan hidup ayam-ayam di belakang rumah. Akankah terbayang lampu hijau yang menjadi dasar dari ditunggunya lampu merah sana? 

Tidak tergambar jelas bahwa, lamunan membawa kesadaran baru akan hidup sekrumunan kecil ayam, yang sedang mengais makanannya sendiri di belakang rumah tanpa dia malu-malu pada manusia.

Bahwa, waktu itu pasti akan berlalu, sudah enyahlah, dalam ketelanjangan bentuk diri yang sebenarnya kecil di balik tantangan dunia yang agung. Romansa, bentuk diri dan upaya memendam rasa yang tidak tersampaikan, tetapkah burung itu akan berkicau di sana suatu saat nanti? Memandang gelap, bercampur riuhnya keabadian, dia bukan bentuk, hanya gurauan kecil bagai Singa jalang yang merapat ke sudut media konvensional sana.

Aku kembali merasakan jidat yang agak sedikit hangat di balik mulai dinginnya udara sore ini. Yang tidak lagi tergambar jauh oleh angannya sendiri, seakan hidup memang untuk mengisi, yang tidak terisi oleh lamunan kebaktian hari libur. Sudahkan ini akan menjadi aral, tentang bintang yang rapuh dalam lamunan kegelapan malam yang akan datang?

Terbayang, betapapun lamunan itu sungguh letihnya. Bukankah aku ingin menuju kebintang yang tidak bergerak itu lagi, keterasingan ini rapuh, mejalar bagai ubi yang tertanam diserambi rumah. 

Biarlah ini dengan gagapnya aku berbicara, mungkin tidak jumpa kawan-kawan pun tidak apa. Bertemu pun semua hanya sebatas orbrolan sana-sini, kalau waktu memang tepat, bolehlah kita sambung obrolan yang tertunda itu dalam bingkai sembari mencari tahu, antara nasib yang lebih baik atau buruk pada pandangan sosial.

Sudut sempit yang pilu, tentang obrolan politik di berbagai sudut media sosial, ah, adanya terstruktur, masif dan segala macamnya seperti bumbu dapur yang harus diisi oleh ibu-ibu rumah tangga. Perbincangan yang menuju percakapan di media sosial, apakah bukan di atur sebelumnya hanya ingin tenar saja bagi para pelakunya? 

Politik dan ekting, dia menyered siapa saja yang ingin numpang tenar bersamanya. Tentu tidak lah aku mempermasalahkan itu, terkadang aku juga ikut arusnya, sembari menyambar penghidupan, tetapi menurut saya, masih dalam tahap keteraturan.

Memang susah mencari seni di sini, apa lagi menjadi pembawa pengetahuan itu, rata-rata manusia Indonesia kebanyakan menyukai perdebatan, mistik dan gossip yang kini menjadi murah di ikuti orang.

Seperti sudah takdir yang tersurat, Indonesia sangat maju seperti hanya menjadi fiksi yang realitasnya setengah maju, dan akan menjadi mundur bila saatnya tidak dibutuhkan lagi oleh kemajuan.

Cerita di sana seorang anak SMP melihat tayangan dari Youtube tentang kesakitan sebuah Bambu. Dalam bayangannya, Bambu itu bertuah, sepeti yang tersaji dalam videonya, bahwa; ada kekebalan tubuh jika di silet sembari memegang Bambu tersebut. 

Kemudian dia berkata pada ayahnya, "di mana banyak tanah yang terdapat banyak bambu di desa ini, ayah?" Dengan sedikit rada sinis, ayahnya menjawab, "sekolah saja kamu yang benar, barang gitu-gitu belum tentu ada di sini, "daratan desa ini".

Dalam orang memproduksi video di Youtube, memang terkesan agak di lebih-lebihkan, tentu untuk menyasar banyak rupiah disana. Upaya gagah-gagahan, merasa tersakti dari yang lain, maka dengan Pring Petuk (Bambu Petuk) yang sedang di genggamnya. 

Gen mistik, gosip, dan kehebohan perdebatan, mungkin itu yang tidak dapat lepas dari semesta logika orang Indonesia, masa lalu maupun masa depan yang terus dibudayakan, kali ini semseta teknologi "media sosial".

Anak-anak itu pun secara langsung teracuni, memang mistik ada, tetapi tidak sebegitu mudahnya tanpa nalar akal sehat, dia dapat menjangkaunya, termasuk semseta berpikir anak SD dan SMP. 

Tayangan yang tidak berbobot itu, disaksikan dengan rasa penasaran anak yang ingin mencari "pring petuk" dan lain sebagainya yang mengilhami alam pikirannya. 

Mungkin benar kata Ayah itu, sekolah dulu yang benar, dan belajar agar pintar terlebih dahulu, baru berpikir dengan apa yang akan kamu mau pikirkan.

Sesat pikir terkadang terjadi, mistik memang akan berhenti pada mistik. Tentang kesaktian yang seharusnya tidak terpublikasi, apakah di sana "layar Youtube" benar tanpa motif lain, sebagai ajang pamer kesaktian tanpa ada motif uang di dalamnya? 

Seperti pertapa yang menyepi di sana dengan sakti, sebagai manusia yang dapat lepas dari kemanusiaannya. Apakah dia akan se-naif gemboran di media, bahwa dia yang telah berhasil itu sebagai manusia pertapa?

Tentu tidak, jika kesaktiannya ada, sebaiknya memang di pendam, seperti pendekar yang hanya memakai kesaktiannya tak kala ada yang mengancam hidupnya. 

Sunguhkah kini ingin "motif" pekerjaaan yang enak itu, kalau bekerja banting tulang keras menjadi ancaman kehidupan modern? Gampangnya mencari uang di Youtube tak kala konten kita digemari, tetapi bukan begitu pula caranya, sehingga membuat anak-anak bahkan dewasa "imajiner" menjadi sesat jalan pikirnya.

Pring petuk yang tidak bertuah itu, terkadang banyak komedi omong yang berlangsung terjadi di setiap ruang obrolannya, meracuni semesta pikiran yang menontonnya di ruang "youtube". 

Tak ayal, jika sudah percaya pada mistikus yang buta, tidak dalam berpikrinya, hanya akan menjadi bahan tipuan bagi orang-orang yang ingin mengambil nilai keuntungan "uang" di sana. Barang dan bisa bertuah, seperti menjadi sebuah janji imajiner, modal percaya, tanpa bisa membuktikannya dengan kasat mata, ah, yang sesat pikirnya memang hanya bermodal percaya.

Pelataran pasar menjual jimat yang katanya sakti, orang-orang percaya, hanya di bumbui batu dengan modal imaji yang terhipnotisasi. Katanya, dalam berbagai obrolan pencinta mistik, dua miliyar setengah tertipu hanya karena mau di bohongi dengan Pring Petuk palsu yang hanya modal Lem dalam bentukannya. 

Tetapi karena kencintaan dan kepercayaannya pada mistik, yang tidak di dasari dengan nalar, tertipu pun hal yang wajar, bermain gaib, mistik, atau apapun tanpa dasar rasional yang kuat, hanyalah akan menjadi kelinci keuntungan orang-orang di sana yang menggunakannya.

Seperti ungkapan Surga dan Neraka yang di ungkapkan para penceramah yang dia sendiri belum merasakan dan mengetahuinya. Apakah harus benar-benar di ikuti, apa yang menjadi dasar masuk Surga, dan tidak masuk neraka, jika yang berceramah didalamnya pun tidak ingin mati muda? beristri sampai empat atas dasar kenikmatan bidadari dunia? licik yang mendera, disana-sini ingin bidadari memuaskan syafatnya. 

Perkara jika dipikir secara rasional, sesat pikirnya juga, mereka bunuh diri, membunuh yang lain "mereka" yang berebeda dari dirinya, tentang janji surga, bukankah apa yang akan tersisa darinya dari tindaknnya, menjadi rancu bagi para korbannya yang tidak berdosa?

Di sana keluarganya kehilangan seseorang anggotanya, menjadi korban kebengisan tidakan tidak berdasar nalar sehat, hanya berdasar janji-janji. Begitu pulu tentang seseorang yang kehilangan bisnisnya, tempatnya di Bom, dan menciptakan ketakutan investor berikutnya, tetapi apa yang dilakukan para penceramah di sana? Merekapun tidak berani mati, dan tetap ingin menikmati pengaruhnya, dan nama besar yang di sucikan oleh para pengikutnya.

"Sudahlah untuk di akhiri, sesat pikir adalah bagian prodak budaya diri dari dalam kita sendiri yang bercokol subur menjadi ideologi. Ada istilah bahwa; kita dapat berubah selama kita mau mengubahnya sendiri."

Memang yang tidak terpikir secara berdasar, tidak hanya janji di ruang Surga dan Nerakanya sendiri saja, harapan janji kemakuran negara pun tetap, mereka bela tanpa nalar sehat yang menderanya. 

Politik dan akal sehat, rasanya bukan pada kebijakan dan apa yang dilakukan pelaku politiknya, tetapi mereka para pencinta elite politik yang mengikuti tanpa nalar membela, menjadi biang kerusuhan di sana, yang jelas dan pasti merugikan kehidupan masyarakat baik "keamanan atau ekonominya".

Selamanya gosip, mistik, dan keriuhan perdebatan tetap di perbicangkan pada ruang publik, yang menjurus bukan pada kesadaran kehidupan, mungkin akan terus menjadi budaya populer masyarakat yang digemari di "Indonesia". 

Bukan saja pada generasinya kini, tetapi lintas generasi dari dulu, sekarang, hingga masa depan nanti.

 Saat itu, memprovokasi masyarakat tentang apa yang sudah dicinta dan dibenci, menjadi lahan penting bagi meraka para pengekting dan penceramah yang di ikuti.

Didalamnya mereka dapat mengambil apa yang di untungkannya, tentang pesanan pembuat kisruh, agen-agen intelejen yang bermain peran di sana, tentang tokoh yang di agungkan padahal mereka sales "masa" yang ingin untungnya saja. 

Tentang tembok kotak pandora yang harus sudah terjebol oleh kesadaran menjadi maju, teknologi yang harusnya mengadopsi kemajuan itu, ternyata masih menjadi hal yang membelenggu, jadi kita akan berbicara tentang apa saat ini?

Konten-konten ruang teknologi yang konservatif, tayangan yang dicari masyarakat sendiri, memang semesta budaya masyarakat tidak menunujukan "dia" akan keluar dari lubang besarnya sendiri. Mereka masih terbungkus atas nama yang umum, mudah di mengerti, dan harapan akan sakti, tetapi nalar yang tidak sampai menghantui dirinya sendiri. 

Budaya yang membudaya, memang sulit ketika akan lepas ketika mereka menerpa, sesat pikir, dan selalu tersesat, merupakan bagian hilang untuk mengisi lagi hidupnya, dan tersesat mungkin selamnya akan menjadi tersesat.

Revolusi budaya yang mengakomodasi, mungkin teknologi pun tidak akan pernah dapat menjawabnya. Seakan ingin untuk menjadi menyerah saja pada apa yang dinamakan dinamika sosial. Umumnya yang mereka ingin lakukan menggali lubang besar miliknya, yang akan menjadi miliknya sendiri. 

Sebisa-nya memang, dia juga menarik untuk memasukan orang lain pada lubang besar itu, tetapi kau dan aku? Hanya tembok besar pemikiran yang membatasinya, tidak lebih dari itu.

Puing-puing memang dapat porak-poranda ke depan. Aku, tahu kau adalah kebangganan dirimu yang bersumber dari mereka, tentang apa dan siapa yang telah berkerumun denganmu. Tetapi sudahlah, ini perkara kami, maka sudahi-lah atas nama lepas dari sesat pikir. Mulai-lah lagi selama sesat pikir itu masih di cintai, sebagai pemukul yang digunakan orang mengambil keuntungan. 

Layaknya banyak konten yang beredar di Youtube dengan sejuta kesaktian akan barang, "dia" bisa hilang tak kala ada sikap sekeptis pada kegaiban ada, cerita janji-janji dan harapan-harapan kemakmuran palsu, jika bukan diri sendiri yang mengusahakannya.

Jika percaya yang gaib itu takdir, bukankah itu ruang privat yang tidak saling mendoktrin dan mengindoktinisasi? Entah siapa yang salah dan berkepentingan di sana, enyalah ini untuk hidup bersama kebebasan yang akan kita ciptakan. Pembelaan akan berujung terhadap yang di bela, tidakkah kau dan aku membela apa yang menjadi kepentingan diri sendiri saja, tanpa memandang figur hebat dari mereka? Tentang uang-uang itu, masihkah berharga dari hidup kita sendiri ketika nyawa menjadi "banten" dalam setiap apa yang akan dibelanya nanti?

Sudahlah untuk di akhiri, sesat pikir adalah bagian prodak budaya diri dari dalam kita sendiri yang bercokol subur menjadi ideologi. Ada istilah bahwa; kita dapat berubah selama kita mau mengubahnya sendiri. Memang jika tidak mampu merubahnya sendiri, sehat pikir haruslah menjadi pemandangannya.

 Tentang isu yang dibayar itu, kalau akal sehat berpikir di pakai, dia tahu, mana yang akan berarti untuk dirinya, dan mana yang akan menjadi "sampah" merugikan bagi dirinya. Sampai kapan pun hanya kualitas berpikir yang tidak dapat menipu manusia dari segala macam preferensi hidunya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun