Aku seperti jejak yang tidak terketahui itu. Semua hanya di belakang layar yang megah, revolusioner, bahkan catatan-catatan kecil perjuangan dengan kepalsuan para pemangku kepentingan disana.
"Ketika kita berjuang dengan cara untuk menang, tetapi menjadi kalah dalam tahap kehidupan selanjutnya".
Tetapi bagaimana sistem feodalisme ini tetap jalan dinegri yang katanya meraih merdeka dengan caranya sendiri? Tidak cukupkah para jelata berjuang sampai titik darah penghabisan untuk merdeka bersama?
Menyambung kembali harapan-harapan, tanpa orang-orang dari sana yang merebutnya? Bangsa yang baru menjadi republic namun berwajah feodal itu?
Realitasnya kini setelah semua berlalu, jelata hanyalah kaki politisi yang berkempentingan. Mungkin perjuangan politisi hanyalah mengganti orang-orang itu, kue kuasa itu atas nama negara.
Jelata akan di tempat perjuangannya sendiri, setelah perjuangan kebebasan bersama itu tercipta, tetapi kebasaannya terpenjara oleh hukum Negara yang dapat terbeli. Dalam kenyataannya "Jelata" harus mencari cara bagaimana kebebasannya untuk mencari penghidupan yang lebih layak dari waktu ke waktunya.
Bibitan politikus mungkin kini sedang bersenang-senang, tanpa rasa bersalah disana dengan segenap apa yang telah mereka kuasai. Ia ingin berkuasa terus dan menerus, kalau bisa sampai pada turunan ke tujuhnya.
Umumnya mereka tanpa tahu, bagaimana berjuang untuk diri mereka sendiri, bukan dari dinasti, bukan dari kapital yang meninggi, juga bukan dari pencucian-pencucian uang yang tidak terketahui atas nama rakyat jelata dan bangsa ini.
Kisah ini hanyalah narasi, bagaimana suatu bangsa berdiri atas nama para jelatanya yang progresif ini, sebagai petarung dan pejuang kebebasan atas nama politik dari politikus membelenggu.
Mimpi itu tidak akan pernah kosong seperti mereka "jelata" yang mengorbankan diri untuk diri mereka sendiri, keluarga mereka, tentu juga orang-orang yang mereka cintai. Terbolak-baliknya atas nama zaman pasti memenangkan pemenang yang sebenarnya.
Jelata adalah pemenang yang tertunda itu, dengan segenap apa yang mereka punya yaitu dirinya sendiri.Untuk itu salah satu dari mereka "jelata" harus berkuasa, mengadilakan bangsa dan negara.
Kuasa itu haruslah memihak jelata, menjadi fasilitator mimpi-mimpi mereka, dan menjadi payung terbaik, adil, bagi semua para warga Negara yang ada.
Jalan perjuangan yang dibangun bersama. Tidak hanya merek politikus-politikus yang menikmati buahnya kini. Para jelata dulu, yang anak-anaknya ingin menjadi seorang polisi, politisi, dan para dokter berjiwa malaikat.
Seharusnya negara menjawab harapannnya. Tetapi, mereka "jelata" hanya pejuang yang tidak diperjuangkan diwaktu berikutnya dalam bingkai ketata negaraannya. Khayalannya tentng negara merdeka, siarna dalam realitasnya, jelata masih terlunta-lunta berjuang sendiri walaupun katanya sudah merdeka.
Perjuangan tetap membawa mereka berjuang untuk diri dan keturunannya sendiri. Seakan negara melepas mereka begitu saja di padang rumput yang gersang ini. Perjuangan mereka yang layak untuk dibantu, tanpa kuwatir anak-anak mereka tidak dapat makan, sekolah, dan menikmati pendidikan gratis di masa depan.
Negara seharusnya mengadili terhadap sesuatu yang harus diadili dengan keberadaanya sendiri. Bukan, negara bukan menjadi tempat para penikmat kue adanya negara lewat apa yang dapat dikuasainya.Â
Cukupkan mereka, jangan ada lagi segelintir orang mengatasnamakan negara memeras rakyat jelata yang tidak pernah tahu nasib ke depannya. Dapat makan, membayar tagihan air dan listrik, dan tidur nyenyak adalah mimpi-mimpinya para jelata.
Korupsi, kolusi dan nepotisme berangkat dari politikus yang memeras negeri. Bangsa ini dibangun bukan atas nama pemerasan, bukan juga atas nama kekejaman, yang dikehidupan sebelumnya terima atas dasar kuasa lewat berbagai macam isu politik kolonial. Setiap orang harus bisa menjadi dirinya sendiri dengan bebas di Negara ini.
Apakah negara sudah dalam koridor kodratnya, mengatur semua apa yang dapat diatur dengan adil dan merata? Abdi negara yang gila harta, memeras, menyuap demi melanggengkan kuasanya. Apakah jelata akan dibohongi pesta kemerdekaannya atas nama kuasa akan negara?
Atau jangan-jangan mereka "jelata-jelata" yang tamak juga menikmatinya? Pesta demokrasi yang dijadikan pesta mencari uang dengan budaya pemerasan yang sama. Tidak kenal dia "politikus" hanya mencari untung kemudian memeras dirinya si jelata perlahan-lahan tanpa disadarinya.
Politikus hanya mengumpan jelata dengan janji, uang sedikit, yang menyandra diri mereka sendiri. Negaralah yang menjadi tunggangnya, pajak-pajak jelata yang hilang, tanpa bekas, sekedar pecucian uang yang tidak terketahui. Akhirilah jelata, jika kau tidak mengubah mentalmu, kau akan tetap jadi tikus yang menyuapi sapi selamanya.
Diam-diam politikus menghirupmu, menyiksamu, tanpa kau sadari. Menyodot darah dan tenagamu tanpa terasa kemudian energimu habis, yang nantinya jelata akan kalah, "ia kalah ditelan perjuangnya sendiri".
Untuk orang yang sama sekali tidak mempertanggungjawabkan perbuatnya karena kerja kerasmu jelata, mereka politikus lupa akan janji-janji. Jelata tetap akan jadi sampah yang bisa dijual kembali para pemulung bertopeng para politikus negara.
Pesta demokrasi, rasanya dia mengaburkan. Ia mendirikannya dengan uang, agar menjadi pohon uang yang selamanya dapat terpanen. Tidak hanya itu, pohon untuk berbuah, kehendak untuk kuasa para "politikus" adalah tujuannya.
Tanpa mereka sang jelata untuk berkuasa, mana mungkin "politikus" merasa dengan keringatnya. Tentang penderitaannya, harapan, dan keberlangsungan tatanan sosial yang sehat untuk kehidupannya. Tujuannya jelata hanya keberlangsungan kehidupan ini, agar pantas untuk dilajutkan, lebih baik, untuk semakin baik terhadap semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H