Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Ndaru" Mitologi Jawa sebagai Pertanda Pemimpin yang Terpilih

15 Juni 2019   08:39 Diperbarui: 28 Juni 2021   08:27 2884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Ndaru" Mitologi Jawa sebagai Pertanda Pemimpin yang Terpilih | Sumber: Kompas.com

Saya ingat cerita orang-orang dulu bahwa; untuk melihat siapa yang akan menjadi lurah biasanya terlihat nanti ada "ndaru" jatuh ke rumahnya. Maka tidak heran ketika Pemilihan Kepala Desa tiba, orang-orang penasaran terhadap ndarunya itu, akan jatuh dimana, itulah yang biasanya akan memberi tanda siapa yang akan terpilih.

Tidak bisa semua orang dapat melihat ndaru. Begitu pula dengan saya, belum pernah melihatnya. Aslinya saya juga agak kurang percaya karena belum membuktikan sendiri. Tetapi ok-lah jika itu memang hal berbau gaib, hanya orang-orang yang punya kelebihan supranatural yang bisa dan dapat membuktikannya dengan mata batinnya.

Ndaru yang sering di katakan oleh warga desa sendiri, menurut penjabaran saya seperti wahyu. Tentu karena pendekatan bahasa yang agak menjurus kesana sebagai "wahyu=ndaru". 

Dimana kita tahu, wahyu merupakan petunjuk atau madat dari alam semesta yang bersifat gaib. Begitu pula ndaru yang disebut warga desa sebagai petunjuk itu. Saya kira masih ada korelasi penafsirannya antara wahyu dan ndaru.

Baca juga: "Ndaru", Anugerah Allah pada Lailatul Qadar yang Dimitoskan

Karena saya juga tidak tahu pasti kebenaran ini, ndaru sebagai wahyu, bolehlah yang lebih tahu, khususnya orang-orang supranatural menyikapi dan memberi koreksi terhadap pengertian saya. 

Jika salah, mohon untuk diluruskan kembali, sebab kasus "ndharu" ini seakan legendaris jika akan ada kontestasi pilkades di Desa saya, pinggiran Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Dalam ruang obrolan warga desa sendiri katanya (adol jere), ndaru itu cahaya terang yang cepat jatuhnya dari langit. Jadi, ketika ada cahaya jatuh dari langit pada malam towong, atau malam hari yang esoknya akan dilangsungkan pemilu, itulah namanya ndharu. Jatuhnya ke rumah calon kades mana cahaya itu? Ia lah kemungkinan besar menjadi pemenangnya dalam pilkades yang berlangsung di Desa saya.

Setidaknya itulah tradisi dari dalam masyarakat Desa itu sendiri dalam memprediksi siapa yang akan menjadi lurah di waktu berikutnya. Memang ini terlihat kaku dan sangat irasional. Tetapi inilah kearifan lokal itu, dengan mitologi-mitologi warisan dari leluhur di Desa. 

Saya kira tidak untuk dipercaya, jika mau percaya ya silahkan. Tidak percaya juga, "lah wong engga rasional ya bener", ngapain di percaya. Tetapi apa salahnya dibahas sebagai wadah dari pengetahuan, analisa dari sudut pandang mistik.

Membaca Pilpres dan Presiden

ilustrasi diambil dari msn.com
ilustrasi diambil dari msn.com

Dengan adanya pengetahuan warga desa akan ndaru sendiri, saya ingin menjabarkan juga untuk pengetahuan, "setidaknya untuk diri saya sendiri". Jika anda mau tahu juga, ya mari, sama-sama berpikir untuk sama-sama sebagai pengetahuan kita semua.

Mungkin konteks ndaru dalam Pilpres saya tidak pernah mendengar. Lagian pula, Indonesia terlalu besar untuk hal-hal gaib menyangkut tanda yang dapat menjadi legenda perbincangan warga Desa saya.

Saya kira benang merah akan analisa Pilpres atau Pilkades mempunyai caranya sendiri. Jika pilkades analisanya untuk pengetahuannya sendiri melalui ndaru, pilpres saya kira dengan mengunakan trah-trah garis kepemimpinan raja-raja nusantara kuno yang berdiam di tanah Jawa sebagai pusat politik dulu di nusantara.

Baca juga: Ndaru dan Wahyu Keprabon

Untuk tidak gagal paham sendiri, saya juga pernah membahasnya, melihat pilpres dari sisi mitologi Jawa (kebudayaan), sebelum Pilpres dimulai. Mungkin tidak semua pembaca membacanya disini, karena artikel tersebut tidak masuk artikel utama, atau terpopuler.

Artikel ini penting, seperti judulnya, "Mitologi Jawa, Bagaimana memandang Pilpres? Karena pentingnya aritkel ini sebagai isi dari pembahasan, penulis sarankan untuk membacanya, berikut link nya ;

kompasiana.com/komitel

Pada intinya tradisi kepemimpinan masyarakat Jawa (nusantara) itu dapat di lihat dari sisi trah atau garis keturunan. Ini hanya pengetahuan saja, kembali lagi boleh percaya, boleh tidak. Leluhur kami memandang tanah Jawa bagian Kulon (barat) dan manusianya merupakan Ibu, dimana ia tempat mencari penghidupan 'materi" dan memberi petuah ilmu Filosofi hidup.

Berbeda dengan tanah di jawa bagian timur, merupakan Bapak atau Rama dalam istilah bahasa Jawa. Dimana tanah dan manusianya sebagai Bapak, yang mengatur keputusan dalam rumah tangga (politik), juga mencari ilmu pendidikan dunia.

Maka tidak heran jika dari sana, "tanah jawa bagian timur" melahirkan raja-raja Jawa atau Nusantara yang masyur pada jamannya. Tentu juga dalam hal ini "mencari pendidikan dunia", Kota yogyakarta sebagai kota budaya Jawa dan banyak Universitas disana, tempat mencari ilmu pendidikan dunia "sekolah".

Disinilah saya menganalisa presiden dari segi, baik kebudayaan atau mitologi Jawa. Dimana trah menjadi analisa yang tidak bisa di kesampingkan pemilihan Presiden atau pemimpin politik nusantara. Selama pusat pemerintahan masih di pulau Jawa, saya kira analisa ini relevan untuk di jadikan pertimbangan percaturan pucuk pemerintahan politik.

Berbeda jika pusat pemerintahan tidak di pulau Jawa, Kalimantan misalnya, nanti ketika jadi Ibu Kota di pindahkan kesana. Saya kira analisa melalui metode seperti ini "mitologi Jawa" akan tumpul. 

Manusia Jawa berjaya secara kekuasaan politik, jika masih di tanah Jawa sebagai pusat pemerintahannya. Jika keluar dari Jawa, tradisi trah kepemimpinan secara politik suku bangsa dunia yang tua, dan lebih kompeten dalam sejarah politiknya akan menang dalam setiap kontestasinya. "Dengan catatan trah garis politik tua dan kompeten ikut dalam kontestasi politik".

Untuk itu saya setuju jika Ibu Kota pindah, karena disana akan menciptakan politik kelas dunia. Selama ini, sejak berdirinya Indonesia, terlalu mewarisi tradisi politik Jawa, makannya kurang kompetitif kemajuannya di lapangan dunia secara politis. 

Baca juga: Pemilu, “Ndaru”, dan Erupsi Gunung Slamet

Kita tahu bagaimana tradisi lemahnya politik Jawa, dinasi politik, rongrongan musuh politik dalam tubuhnya sendiri, dan rawan kacau masyarakat di bumbui isu-isu fitnah. 

Maka dari itu, mana ada kerajaan Jawa yang langgeng, atau bertahan lama? Semua mentah dan hancur dengan sendirinya tidak menunggu waktu lama.

Jika jadi pindah ibu kota, begini analisa politik menurut, "intuisiku" pilpres 2024. Ingat bukan ilmiah apa lagi rasional. Jika tertarik baca link dibawah ini;

kompasiana.com/komitel

Kembali, semua ini untuk kepentingan pengetahuan secara intuitif. Jadi, jika ada yang salah, apa lagi keliru, ini analisa yang tidak untuk di percaya. Tetapi di telaah bersama sebagai wacana pengetahuan politik masa depan juga apa salahnya. 

Kalian yang fanatik pilihan politik, penulis jangan dimusuhi ya, piss. Karena politik akan sama saja, mereka-mereka pula yang menikmati Kuenya. Jadi jangan pernah ada saling membenci diantara kita karena politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun