Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kota dan Nasib Perantau Tanggung

7 Juni 2019   16:28 Diperbarui: 11 Juni 2019   16:35 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi diambil dari brilio.com

Kali ini aku merasa bahwa kekhawatiran telah berubah menjadi rimba-rimba itu di tengah gedung-gedung tinggi. Ketika diri ini berhenti, ada kalanya ia ingin melangkah menelusuri gemerlapnya kehidupan kota yang menggoda.

"Ah, rasanya seperti kekhawatiran yang ingin terus dilestarikan, tidak maju jika tidak merasakan dan melajutkan perjuangan hidup dalam kota".

Di mana-mana yang tengah terjadi kini orang sedang membangun kebersamaannya. Entah bagaimana caranya nyaman dengan kebersamaan itu? Setidaknya inilah kata yang akan dan harus aku ucapkan. Kebanggaan, menjadi lebih tinggi dan kuasa akan hingar-bingar, menjadi mimpi baru para perantau yang kini tengah mudik ke desa.

Tetapi di sudut ruang sempit ini, aku mulai merenungi, aku berpikir dan setidaknya ada aku dalam pikiranku. Sudah beberapa hari ini aku tidak menulis, ya tentu sibuk medera waktuku. Karena aku pun sama untuk melestarikan kebersamaan itu, sehingga melupakan waktu untuk sekadar melanjutkan menulis. 

Dalam narasi setahun dalam sekali ini, kita bercengkrama bersama, saling bertanya bagaimana kabar, dan himpunan basa-basi yang saling meungungkap suatu kebesaran atau kekecilan nasib sebagai kaum perantauan.

Lama nian rasanya seakan menjadi tradisi itu, setelah berpetualang jauh dari desa kampung halaman kita, apa yang telah engkau dapat? Tidak ubahnya tentang kendaraan roda empat itu, roda dua dengan sporty, atau anak-anak mereka yang digendong bersalaman ke tempat sanak-saudara, bahkan menapaki jejak ke rumah tetangga.

Gambar ilustrasi diambil dari brilio.com
Gambar ilustrasi diambil dari brilio.com
Yang tidak menjawab impian itu dalam bayangannya. Terkadang dari sana terdengar suara riuh yang sebenarnya upaya menunjukan bahwa, ia adalah perantau tanggung itu, "punya uang atau tidak terpenting mudik". 

Bagi perantau tanggung memang begitu, rupanya perantauan bukanlah lahan keberhasilan itu setidaknya ini bagi wacana semesta berpikir perantau tanggung. Hanya saja "tanah perantauan" merupakan lahan bermain sembari mencari makan, itu tidak lebih.

Beruntunglah mereka dengan embel-embel dapat membeli sesuatu yang lebih di tanah perantauannya untuk dibawa pulang ke desa setidaknya membekas sebagai bukti. 

Aku kira tidak ada kesombongan, ketika merantau, ia menunjukan hasil dari apa yang dicarai dari petualangan merantau di sana sangat wajar. Dalam setiap perjuangannya, menunjukan hasil pada apa yang telah didapatnya merupakan ciri, "tidak sia-sia upaya jauh berkelana dari Desa ke Kota".

Untuk itu, manusia tidak lepas dari membangun setiap nasibnya, tentu dalam hal ini membangun kebanggaan semua tentang dirinya. Oleh karenanya, hidup tidak selalu seberuntung mereka yang mulai membangun nasibnya di tanah perantauan itu. 

Banyak dari mereka pulang kampung karena tradisi, menikmati mudik asyik kala harus membawa roda dua, empat, bahkan pemandangan berbeda di terminal maupun stasiun yang mulai ramai.

Namun menjadi pertanyaan sendiri, apakah mereka puas dengan apa yang telah bisa di dapatnya setiap kepulangannya? Seperti menjadi sesuatu yang mengganjal itu dalam batin.

"Edapkan mimipimu sebagai perantau dengan kadar keberhasilan tinggi. Jika beruntung, mungkin dapat dikatakan kita sebagai yang berhasil."

Perantau tanggung, mengapa tidak dibuat seperti tradisi orang-orang dari tanah perantauan di luar Jawa sana? Tidak akan pulang ke desa jika mereka belum berhasil tersohor ketika pulang ke kampung atau desanya.

Tetepi entah "prinsip" itu sekarang demikian berlakunya atau tidak di kala kota semakin menantang bagi para pendatangnnya? Setahu-ku itulah budaya lama motif menjadi kaya (keberhasilan). Bahkan ini merupakan kata ungkapan bagi orang-orang yang putus asa hidup di kampungnya yang terjepit ekonomi hidupnya.

Ekonomi yang kompetitif, persaingan manusia dalam kota, dan perdagangan kian hari kian ramai saja di kota karena ambisi untuk menjadi kaya. Apakah keberhasilan sebagai prinsip perantau tidak pulang kampung sebelum berhasil "kaya" masih dipegang mereka yang berambisi karena budaya mengubah tatanan nasib itu?

 Ah, seperti mimpi di siang hari dengan sedikit tanah pasir yang mengelilipi mata di jalanan tanpa aspal. "Ia memang terlihat tetapi tak kala ada yang tidak pas dengannya, mata terasa sangat sakit jika tersambarnya".

Mungkin di sanalah bersemayam narasi perantau tanggung itu dengan semboyan "punya uang atau tidak yang penting mudik ke kampung halaman ". Rasanya jika dilihat kini, tanah rantau ibarat gelas kaca yang bersinar, tetapi dari dalam gelas tersebut ia tidak akan kuat menjadi kemilaunya gelas yang berkaca-kaca itu. 

Jumlah penumpang kereta api di Stasiun Purwokerto mulai naik memasuki musim mudik lebaran, Senin (11/6/2018).(Dok. Humas Daop 5 Purwokerto)
Jumlah penumpang kereta api di Stasiun Purwokerto mulai naik memasuki musim mudik lebaran, Senin (11/6/2018).(Dok. Humas Daop 5 Purwokerto)
Riilnya yang terjadi di tanah perantauan seperti menjadi ladang kekhawatiran baru, bahkan yang banyak berputus asa itu memilih pulang setiap tahun mengobati rasa kecewanya. Tentu tidak mampunya mimpinya sendiri menjawab setiap harapannya pada keadaan Kota dengan banyak hingar-bingarnya.

Cerita indah narasi lama akan seorang anak dari Desa lalu dipungut dan disekolahkan orang kaya di Kota atas dasar pengabdian, lalu menuju gerbang kesuksesan seperti kisah indah yang jarang terjadi kini.

Atau jangan-jangan narasi tersebut hanyalah dalih untuk para perantau Desa untuk bermimpi berhasil di Kota, yang hanya sebatas mimpi tidak di kondisi riilnya dengan berbagai keterbatasannya "pendidikan yang biasanya pas-pasan".

Merantau pada abad 21 ini seperti indah dalam kekhawatiran itu yang berjubel dalam semesta pikirannya. Ibarat bunuh diri jika merantau tanpa sertifikat pendidikan tinggi, keahlian, atau sanak-sodara siap dalam setiap akomodasi baik tempat tinggal, atau kebutuhan akan akses kerja di sana "dalam Kota". 

Aku kira inilah yang bukan ajang, dari setiap ajang permainanan kesuksesan itu di tanah rantau. Semua butuh modal terlebih dahulu, seperti cerita babad alas penduduk Desa yang bermukim satu kompleks wilayah suatu Kota. Karena ada sesepuh disana membutuhkan banyak tenaga dari Desa, kemudian mereka beranak pinak disana lalu menjadi kampung keduannya.

Hanya membawa diri tanpa bekal dari desa, aku kira yang menyaiakan kenyataan dalam impian itu. Kompetisi kota, perlunya relasi, dan bait-bait perekrutan kerja yang menuntut itu membuat "membawa diri tanpa bekal merantau mengadu nasib pada kerasnya kota hanya akan menjadi pesakitan impian keberhasilan indah kisah merantau ke Kota bagi manusia Desa".

Kota bagi manusia Desa bukanlah suatu genggaman yang menjamin mudah diraih sekejap mata. Meskipun narasi indah itu akan kesuksesan manusia Desa di Kota masih berkobar hingga saat ini, apakah mereka itu yang tidak membekali dirinya hanya modal nekad semata?

"Aku kira, tidak segampang itu anak muda! Keadaan terus berganti sama seperti pabrik-pabrik industri yang mulai hijrah ke desa-desa dengan tujuan mengurangi biaya tinggi produksi dalam kota".

Ada begitu banyak faktor lain merambah berhasil di kota. Impian kota bagai kolam keruh yang mengundang banyak Ikan di sana. Tetapi kenyataan itu begitu dengan mirisnya terdengar bahwa, kota kini hanya taman bermain sembari mencari makan bukan pencari impian kekayaan bagi manusia desa.

Saat ini tidak lebih hasil berkelana di kota hanya dapat untuk mencukupi kebutuhan makan hidup sehari-hari. Sewa tempat tinggal harga membawa rupa, apa lagi dengan membelinya disana, menjadi sesuatu yang berat ketika permintaan lebih sedikit dari ketersediaan hunian.

Tetapi tidaklah menjadi salah "engkau" yang terbuai dengan narasi beruntung mereka yang "beruntung" itu di Kota. Aku juga mengira, jika kau yang beruntung, kau dapat tidak hanya bisa makan di kota.

Pulang Ke Desa dengan nama besar akan pula kau dapat dari lelahnya perjuanganmu di kota. Ini bukan sesuatu yang mustahil seperti meteor yang dapat jatuh ke bumi, semua mungkin saja.

Tetapi, lihat dan lihatlah mereka yang pulang ke desa membawa sekedarnya, hanya bingkisan dari kantor sebagai bawaannya. Bukankah itu yang dapat menghalau impianmu yang besar-besar itu? Untuk berharap pada tanah rantau yang hanya akan membuatmu menjadi perantau tanggung, dengan asal bisa mudik ke Desa meskipun tidak membawa apa-apa?

Seperti keberuntungan yang memilih manusia memang, ada kalanya berhasil harus diraih sebagai barometernya jauh-jauh dari Desa. Tetapi lihatlah para perantau tanggung itu sekali lagi, adalah upaya mengutuk kerasnya menjadi kaum perantau kota.

Tidak ubahnya pulang kampung tanpa membawa apa-apa asal dapat mudik merupakan suatu upaya membayar kegagalan impiannya untuk berhasil di kota dengan berbagai problematikanya.

Dengan kata sejuta karya yang tergerus itu, keberhasilan orang beruntung di kota memang bukan ukuran kita untuk seperti mereka. Tidak semua perantau dapat beruntung, karena menjadi beruntung tidak mudah, banyak faktor pendukung di belakangnya yang setidaknnya menjadi dasarnya.

Sebagai perantau, mungkin romansa indah terkait dengan penaklukan kota dengan ukuran keberhasilan memang kini sangat tidak relevan. Sekali lagi, bahkan harus aku ulang berkali-kali agar paham.

"Kota bukanlah ukuran keberhasilan itu kini, pesonanya mulai luntur sehingga dapat hidup mencari makan di Desa saja lebih sexy dari gemerlapnya Kota".

Edapkan mimipimu sebagai perantau dengan kadar keberhasilan tinggi. Nyatanya tanah perantauan juga ibarat tanah yang sama dengan desa, kita mencari makan di situ. Jika beruntung, mungkin dapat dikatakan kita sebagai yang berhasil.

Jadi apa bedanya dengan kondisi dari dalam Desa ketika demikian? Berhasil atau tidaknya pun hanya cerita kita sendiri mencari keberuntungan itu. Seperti tidak ingin kebanyakan teori "keberuntungan tidak bergantung pada kota.

Di manapun asal mau berusaha, kita dapat beruntung baik di Desa maupun di Kota. Kembali lagi, pertanyaannya adalah bagimana kita menjemput keberuntungan itu? Mungkin pertanyaan seperti ini yang seharusnya menjadi dasar melangkah ke kota atau tetap tinggal di Desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun