Banyak dari mereka pulang kampung karena tradisi, menikmati mudik asyik kala harus membawa roda dua, empat, bahkan pemandangan berbeda di terminal maupun stasiun yang mulai ramai.
Namun menjadi pertanyaan sendiri, apakah mereka puas dengan apa yang telah bisa di dapatnya setiap kepulangannya? Seperti menjadi sesuatu yang mengganjal itu dalam batin.
"Edapkan mimipimu sebagai perantau dengan kadar keberhasilan tinggi. Jika beruntung, mungkin dapat dikatakan kita sebagai yang berhasil."
Perantau tanggung, mengapa tidak dibuat seperti tradisi orang-orang dari tanah perantauan di luar Jawa sana? Tidak akan pulang ke desa jika mereka belum berhasil tersohor ketika pulang ke kampung atau desanya.
Tetepi entah "prinsip" itu sekarang demikian berlakunya atau tidak di kala kota semakin menantang bagi para pendatangnnya? Setahu-ku itulah budaya lama motif menjadi kaya (keberhasilan). Bahkan ini merupakan kata ungkapan bagi orang-orang yang putus asa hidup di kampungnya yang terjepit ekonomi hidupnya.
Ekonomi yang kompetitif, persaingan manusia dalam kota, dan perdagangan kian hari kian ramai saja di kota karena ambisi untuk menjadi kaya. Apakah keberhasilan sebagai prinsip perantau tidak pulang kampung sebelum berhasil "kaya" masih dipegang mereka yang berambisi karena budaya mengubah tatanan nasib itu?
 Ah, seperti mimpi di siang hari dengan sedikit tanah pasir yang mengelilipi mata di jalanan tanpa aspal. "Ia memang terlihat tetapi tak kala ada yang tidak pas dengannya, mata terasa sangat sakit jika tersambarnya".
Mungkin di sanalah bersemayam narasi perantau tanggung itu dengan semboyan "punya uang atau tidak yang penting mudik ke kampung halaman ". Rasanya jika dilihat kini, tanah rantau ibarat gelas kaca yang bersinar, tetapi dari dalam gelas tersebut ia tidak akan kuat menjadi kemilaunya gelas yang berkaca-kaca itu.Â
Cerita indah narasi lama akan seorang anak dari Desa lalu dipungut dan disekolahkan orang kaya di Kota atas dasar pengabdian, lalu menuju gerbang kesuksesan seperti kisah indah yang jarang terjadi kini.
Atau jangan-jangan narasi tersebut hanyalah dalih untuk para perantau Desa untuk bermimpi berhasil di Kota, yang hanya sebatas mimpi tidak di kondisi riilnya dengan berbagai keterbatasannya "pendidikan yang biasanya pas-pasan".