Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rakyat Melawan Siapa?

22 Mei 2019   15:36 Diperbarui: 25 Mei 2019   23:21 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mimpi itu seakan tidak pernah hadir kembali. Terus terang disini aku mencoba mengingatnya kembali. Ah, rembulan sampai kapan kau tetap menampakan batang hidungmu? Seperti mimpi esok pagi yang harus aku isi. Tidak berhenti-berhentinya petir itu menyambar, tetapi mengapa hujan tidak kunjung turun? Tadinya petir itu suaranya begitu dekat, namun ia terus menjauh dan nyaris tidak terdengar lagi.

Kini aku ingin bertanya apakah yang sudah tidak sesuwai lagi dalam hidup ini? Terbaring lemah, sepertinya karya sastra hanya menjadi khiasan kini, tanpa perlawanan, tanpa sidiran dan tanpa kata-kata yang patut untuk dipikirkan.

Ya, mengingat masa lalu, tidak pernah ada gunanya, memikirkan masa depan apa lagi? hanya akan membuat gila pada akhirnya. Tetapi sastra ini perlu untuk di isi, perlu juga ada kalanya melihat masa lalu, apa lagi tentang masa depan yang menarik itu? Menarik yang sebetulnya sama sekali tidak menarik.

Apakah kini sudah tiada lawan lagi? Tulisan-tulisan itu, upaya perlawanan dan sejarah turun ke jalan membela kepentingan rakyat. Aku lihat kini, seakan organisasi-organisasi jalanan rakyat sudah tiada lagi. Tentu suara mereka nyaris tidak terdengar lagi seperti petir yang suaranya menghilang.

Menjadi segudang pertanyaan kita, kini rakyat melawan siapa? Lagi-lagi mereka melawan kekuasaan politik yang sah secara konstitusional, "yang kita pilih sendiri". Kini tidak ada lagi sosok yang dilawan itu. Penyair mulai kekeringan karya, sastrawan berkutat dengan dirinya sendiri, tetapi apa lah daya politik bagi seorang seniman saat ini? Tidak ubahnya seperti kata Semaun murid tjokroaminoto, "hanya komedi omong" dan ingin aku tambah lagi, politik menjadi "hura-hura" yang hanya menjadikan "huru-hara".

Ketika politik itu terbangun atas kehendaknya sendiri, mau bilang apa lagi para seniman? Rumput-rumput masih menghijau disana. Memang tidak ada lagi kini di antara siapa melawan siapa. Nyatanya kau dan aku dihadapkan pada kenyataan sendiri yang mulai menikmati semua ini. Mobil-mobil dibakar, rakyat-rakyat tidak berdosa berdarah-darah, ekonomi rakyat sedikit melumpuh.

Ya, sejarah bangsa kita seperti bukan bangsa-bangasa beradab lainnya. Kekuasaan politik sangat dan paling menarik. Orang-orang dari dulu sudah tidak peduli membangun kreativitas, DNA kita adalah melawan pada kekuasaan, titik tanpa koma. Lantas ketika kekuasaan itu terbangun atas kehendak kita, terus kita akan melawan siapa lagi? Kekuasaan politik lalu, dan ke depan, tetap akan menjadi kekuasaan politik orang-orang itu juga.

Kapitalisme? Liberalisme? Komunisme? Atau isme-isme yang lain, sisi teologisme dan demokrasi mungkin? Sama saja, kita melawan bagian dari kita sendiri. Pemikiran berasal dari rakyat, dan kita akan melawan pemikiran itu melalui rakyat? Manakah yang menjadi rakyat kini? Semakin buyar dan berujung dengan abu-abu.

Jika kapitalisme? kini bukankah kita sedang berbulan madu dengannya? Barang-barang mudah di dapat. Kita dapat bekerja meskipun gaji kecil. Ini kelihatan memang sama sekali tidak adil, tetapi kita sadar bahwa; kita punya potensi Kaya asal, mau, semangat dan giat bekerja, lebih krusial lagi "hemat" tanpa berkorban apapun.

Kini kita sedang menikmati kebebasan walaupun norma-norma sebagai bebas harus tetap di terapkan. Bebas bicara bukan berarti bebas ngomong apa keluarnya omongan. Kita bukan lagi diatur berbicara oleh negara, tetapi diatur oleh kepatutan berbicara. Ungkapannya adalah liberal, kita bebas secara pribadi menjadi apa, asal kita mau.

Walau pun pendidikan tetap menjadi pemandangan indah orang konservatif, tetapi zaman di dalamnya telah berubah. Kau bisa menjadi yang paling mungkin kau sukai, tanpa harus sekolah tinggi. Ketika kau ingin menjadi artis, tinggalah gali potensimu, lalu sebarkan di akun media sosialmu.

Menjadi pengamat dalam hal ini pun tidak sulit, kau dapat mengamati apapun yang kau ingin amati. Tidak perlu kau harus bergelar banyak seperti profesor di sana dalam ruang kampusnya. Dengan kemampuanmu menulis, berpikir, dan menanggapi isu-isu yang terjadi kau bisa seperti profesor itu, Meskipun tanpa gelar pendidikan berjejer-jejer, rumit ejaan dan artinya. Inikah sistem itu yang harus kita lawan? Tidak kan? Semua sudah nyaman dengan sendirinya.

Dan ketika kita ingin melawan, apakah mungkin kita melawan hantu? Komunisme sudah mati, tidak mungkin lagi kita melawan hantu yang keberadaannya tiada itu. Isme-isme juga lain, sepertinya  tidak akan di hiraukan lagi, karena demokrasi membentuk budaya baru dalam ruang publik. Termasuk dari dalam dunia maya itu sendiri.

Jika dari dalam ruang sosial kini terdapat isme-isme yang mengangggu kebebasan sebagai diri, terdapat kebebasan pula untuk meninggalkannya, termasuk dalam ruang keputusan orang-orang berpengaruh baik di ruang teologisme itu sendiri atau di ruang manifesto politik yang semakin menggelegar.

Saya kira semua sudah terbuai dengan daya beli untuk sekarang ini. Mereka bekerja untuk membeli setiap kebutuhan bahkan kesenangannya. Sepertinya musuh terbesar manusia abad ini hanya ketidak mampuan untuk membeli. Maka tidak jarang ketika ruang mereka tertutupi untuk membeli, mereka mencari cara, melalui politik, agama bahkan melalui serikat-serikat masyarakat yang menjadi komuditas di alam demokrasi Indonesia kini.

Petani mengurusi hidupnya sendiri, bagaimana tanamannya bisa membuahkan laba. Nelayan tetap mengayuh prahunya berharap mendapatkan ikan lalu dijual di pasar pelelangan. Buruh-buruh meskipun tetap miskin, mencoba mengobati rasa tidak puasnya dengan membeli apapun yang ia sanggup beli.

Kasarnya hidup sudah berjalan sendiri-sendiri. Setiap orang hanya mementingkan apa yang menjadi kepentingannya. Walaupun mereka berserikat tetap, "semua atas dasar kepentingan" yang mereka harus tempuh atas nama kebutuhannya sendiri. 

Singkatnya kita saat ini tidak melawan siapapun, setiap apa yang kita lawan tidak hanya berimbas pada kita, tetapi masa depan kita. Saat kita berbicara politik dan melakukan gerakan perlawanan, sebagai pribadi tidak ada untung, yang ada hanya rugi. Sebab, politik bukan musuhmu, ia "politik" hanya keuntungan bagi segelintir orang saja. 

Jadi tidak perlu kau jauh-jauh memusuhi, membela dan bertaruh untuk nyawamu sendiri untuk kepentingan semu dirimu, dalam hal ini melalui jalan politik . Dasarnya tetap, kita "rakyat" lemah pada apa yang dinamakan berkuasa secara struktural, jika kita tidak kuat-kuat modal. Carilah modal sebanyak-banyaknya jika kau ingin menang sebagai rakyat bermartabat.

Kini musuhmu adalah dirimu sendiri, ketika kau keras dan tidak punya daya, kau lah yang merugi itu. Aku ambil suatu contoh dalam strukture kerja, jika kau buruh, perlakukanlah dirimu sebaik kucing peliharaan. Sebab melawan ketika kau tidak puas, kau tidak akan menjadi kucing peliharaan kesayangan lagi oleh majikanmu itu.

Begitupun banyak di kehidupan-kehidupan lainnya, bahwa apa pun kehidupanmu, kau harus paham, nasibmu itu terawasi. Malah, jangan pernah sesekali membela apa yang bukan menjadi kepentinganmu itu, seperti baru-baru ini terjadi pada semesta politik.

Ia membela aktor politik pilihannya, lalu ketika aktornya tidak terpilih, kata-kata tak layak kelur dari mulutnya. Tetapi kita tahu, ia sedang masuk lubang yang ia gali sendiri, padahal ia tidak punya kepentingan dalam politik di hidupnya. Ia hanya berbekal cinta pada aktor politik, yang tidak pernah kenal secara langsung.

Karena ia melanggar norma melalui gaya bicaranya, ia harus rela mendekam dalam penjara. Bereda ketika kau menjadi kucing dalam dunia kerja. Itu kepentinganmu mendapat rupiah. Untuk itu, tak ubahnya dalam melawan sesuai konsep dirimu pun dari dalam zaman mutakhir ini harus ada upaya rasionalisasi, setidaknya apa keuntungan untuk dirimu sendiri?

Supaya kau tidak menggali lubangmu sendiri, karena kelakuan melawan dirimu yang tidak sesuai dengan porsimu sendiri namun kenyataannya menjebloskan. Jika kini kau merusak, tidak lebih kau hanya merusak tatanamu sendiri, citramu sendiri dan duniamu sendiri. 

Mereka siapa pun, entah itu atas nama politik atau lain-lain sebagainya, tidak pernah akan perlu untuk dibela. Tidak cukupkah kau hanya membela dirimu sendiri untuk hidupmu sendiri, dikala hidup pun harus kau tanggung sendiri? Ini adalah pukulan keras dari perlawanan, pada atau tidak di tempatnya, "yang penting melawan".

Mungkinkah karena DNA bangsa kita yang cenderung "pelawan" menjadikan tanpa sadar apa yang dilawan itu? Hanya satu kata lawan, rasionalkah? Memang menjadi masalah yang pelik, ketika menang dalam perlawanan pun yang diuntungkan tetap elit-elit disana yang, dari dalam perlawanannya ia hanya ungkang-ungkang kaki mengatur dan mengambil madu kekuasaan.

Sistem dunia memang begitu, kita yang tanpa kekuatan hanya akan digunakan oleh orang-orang yang berkempentingan atas nama kekuatan rakyat. Mereka "elit" tidak ubahnya hanya memanfaatkan rakyat, di dalam kapitalisme sendiri, rakyat di jadikan semut pekerja, di dalam politik? rakyat hanya dijadikan rayap-rayap penentang kekuasaan politik.

Segudang pertanyaan itu pun hadir, kesadaran kita, apakah sudah digunakan sesuai dengan kepentingan diri untuk melindungi dirinya sendiri? Di mana diri kita yang tidak dirugikan oleh ketidak sadaran kita? Tidak juga merugikan orang lain secara sadar karena kelakuan diri kita? 

Dan cukupkah diri dengan dirinya sendiri? tidak menjadi sapi perah orang lain dengan berbagai kepentingannya? Saya kira cukuplah kita di buat seperti membela orang-orang suci itu, padahal mereka tidak ubahnya yang tidak pernah suci itu. Percayalah, dirimu sendiri lebih penting dari apa pun termasuk tokoh panutanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun