Ia membela aktor politik pilihannya, lalu ketika aktornya tidak terpilih, kata-kata tak layak kelur dari mulutnya. Tetapi kita tahu, ia sedang masuk lubang yang ia gali sendiri, padahal ia tidak punya kepentingan dalam politik di hidupnya. Ia hanya berbekal cinta pada aktor politik, yang tidak pernah kenal secara langsung.
Karena ia melanggar norma melalui gaya bicaranya, ia harus rela mendekam dalam penjara. Bereda ketika kau menjadi kucing dalam dunia kerja. Itu kepentinganmu mendapat rupiah. Untuk itu, tak ubahnya dalam melawan sesuai konsep dirimu pun dari dalam zaman mutakhir ini harus ada upaya rasionalisasi, setidaknya apa keuntungan untuk dirimu sendiri?
Supaya kau tidak menggali lubangmu sendiri, karena kelakuan melawan dirimu yang tidak sesuai dengan porsimu sendiri namun kenyataannya menjebloskan. Jika kini kau merusak, tidak lebih kau hanya merusak tatanamu sendiri, citramu sendiri dan duniamu sendiri.Â
Mereka siapa pun, entah itu atas nama politik atau lain-lain sebagainya, tidak pernah akan perlu untuk dibela. Tidak cukupkah kau hanya membela dirimu sendiri untuk hidupmu sendiri, dikala hidup pun harus kau tanggung sendiri? Ini adalah pukulan keras dari perlawanan, pada atau tidak di tempatnya, "yang penting melawan".
Mungkinkah karena DNA bangsa kita yang cenderung "pelawan" menjadikan tanpa sadar apa yang dilawan itu? Hanya satu kata lawan, rasionalkah? Memang menjadi masalah yang pelik, ketika menang dalam perlawanan pun yang diuntungkan tetap elit-elit disana yang, dari dalam perlawanannya ia hanya ungkang-ungkang kaki mengatur dan mengambil madu kekuasaan.
Sistem dunia memang begitu, kita yang tanpa kekuatan hanya akan digunakan oleh orang-orang yang berkempentingan atas nama kekuatan rakyat. Mereka "elit" tidak ubahnya hanya memanfaatkan rakyat, di dalam kapitalisme sendiri, rakyat di jadikan semut pekerja, di dalam politik? rakyat hanya dijadikan rayap-rayap penentang kekuasaan politik.
Segudang pertanyaan itu pun hadir, kesadaran kita, apakah sudah digunakan sesuai dengan kepentingan diri untuk melindungi dirinya sendiri? Di mana diri kita yang tidak dirugikan oleh ketidak sadaran kita? Tidak juga merugikan orang lain secara sadar karena kelakuan diri kita?Â
Dan cukupkah diri dengan dirinya sendiri? tidak menjadi sapi perah orang lain dengan berbagai kepentingannya? Saya kira cukuplah kita di buat seperti membela orang-orang suci itu, padahal mereka tidak ubahnya yang tidak pernah suci itu. Percayalah, dirimu sendiri lebih penting dari apa pun termasuk tokoh panutanmu.