Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Imaji dan Realitas Hidup

21 Mei 2019   21:19 Diperbarui: 28 Mei 2019   03:21 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pixabay.com

Oleh karenanya, aku memang seakan dibuat bertanya kembali. Tentu tentang bagaimana orang-orang abad ini bangga dengan identitas mereka yang, menjadi dasar dari kelompoknya identitasnya sendiri. Aku rasa, hanya kebanggan semu yang mereka dapat, tanpa mereka mengerti hidup, bagaimana memperlakukan diri sendiri dan orang lain?

Tak ubahnya, mereka tetap menjadi mereka, jika dihadapkan pada kebanggaan atas diri, dan upaya penyelamatan nama mereka, dihadapan jabatan ekonomi, disuatu lembaga kerja.

Tetapi doktrin apa yang membuat, menganggap? Ia berbuat benar dengan segala hal itu? Seakan menjadi tuntutan yang wajib ia ikuti, oleh dirinya sendiri, dan orang lain.

Disamping ia diajarkan bagaimana memandang citra kebaikan, disamping itu pula, "ia harus menjadi perbaikan atas dirinya sendiri, tanpa memandang nasib  diri orang lain". Seperti menumpuk kebaikan untuk dirinya sendiri, dan mencoba mengamankan posisinya, akan kehendak kuasa yang dilebeli, oleh kelompok, baik semseta ekonomi, atau semseta-semseta lain.

Dimana tempat, dan saat berkerumun tersebut, ada kehendak akan kuasa manusia, atas kuasa nasib manusia lain. Tetapi persetan dalam memandang hal itu. Upaya menggiring opini memang sudah tidak dapat terbendung lagi, yang menang haruslah yang kuat, ini sudah menjadi suratan.

Bahkan jika dilihat, dan dirasa, lebih dalam rasanya. Setiap manusia hidup kini gila akan status kehidupannya, yang, "benar-benar rancu, dan penuh hitung-hitungan, dalam setiap kelas sosialnya". Termasuk dalam lingkup, ruang ekonomi, politik, atau pun kehedak yang lain.

Mereka bergeming; "aku yang lebih layak benar dari dirimu". "Statusku lebih tinggi darimu", dan "aku seperti banyak orang dalam pemenuhan ekonomi", bahwa; "bos tidak pernah salah, jika salah, kembali lagi pada anak buahnya dan itu, adalah"kamu".

Sebagai contoh diruang semesta tatanan ekonomi sendiri. Kini semakin banyak orang ingin membenarkan dirinya, bahwa; "aku lebih tinggi dari dirimu".

Enggannya mereka menyadari bahwa, tidak semua orang dapat di kebiri, dan patuh, menjadi nilai kurang dari dirinya yang, seakan menjadi semakin jumawa pada statusnya sendiri. Tetapi seperti apa yang aku maksud, bahwa: di dalam jiwa manusia tidak ada, "bos" maupun, "anak buah" dalam hal kehidupan ini.

Karena manusia dalam membentuk pikiran yang bersumber dalam jiwanya, sama-sama ingin berkuasa, dan tidak mau untuk di kuasai oleh manusia lain. Ini seperti hukum alam, yang adil pada sosok dualitas manusia, antara jiwa, dan tubuhnya.

Semua manusia ibarat kehendak, tentu bagi dirinya sendiri. Ketika berhadapan dengan tatanan jiwa kehidupan, dan juga, dengan manusia lainnya, ia bebas dan harus merdeka. Maka dari itu, hidup adalah hak kita. Mau seperti apapun, kita bebas menentukan sikap kita sendiri, untuk hidup sebagai bebas, dan tidak terbelenggu, baik oleh realitas, mau pun imajinasi, yang tergiring oleh opini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun