Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Konsep sebagai Manusia

18 Mei 2019   20:05 Diperbarui: 2 Juni 2019   12:10 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pixabay.com/id/illustrations/fantasi-manusia-tasawuf-mistik

Aku adalah bagian kecil dari dunia ini, yang mecoba mengisi kekosongan itu. Meskipun di isi pun tetap, akan menjadi kekosongan-kekosongan baru. Dunia sebenarnya yang tidak mengakui namanya, pengakuan diri secara abadi. Tidak pernah ada pengakuan tentang diri itu karena, diri sendirilah yang akan tetap mengakui "dirinya sendiri". Disinilah, apakah kita terus mengakui ketika sebelumnya sudah terakui oleh diri?

Inilah yang membuat ketidak percayaan pada diri itu sendiri. Semakin hari, manusia kekinian semakin tidak percaya diri saja kelihatan-nya. Kini, kita semua melekatkan kepada sesuatu yang ada diluar diri kita sendiri, dengan sejujur-jujurnya. Kita mempercayai bahwa, Ijazah adalah senjata mengadu nasib, Uang sebagi jaminan kebahagiaan, Smart Phone menjadi teman utama.  Begitupun kita menganggap memakai Baju bagus, punya rumah mewah, motor yang keren, mobil yang banyak, dan lain "sebagai sarana menambah kepercayaan diri".

Kalau memang kita tidak bisa lepas dari semua itu sebagai diri? Apakah kita masih layak disebut sebagai manusia yang percaya diri itu, dalam membawa hidup menjadi "Aku"?  Ketergantungan kita pada sesuatu diluar diri kita sendiri pertanda, bahwa; "kita hanyalah manusia yang tidak percaya akan keberadaan diri kita sendiri secara utuh.

Tetapi bagaimana dengan mereka yang saat ini berbicara dengan kebaikan menurut dirinya sendiri? Sebagai manusia, memang tidak terlepas dari kehendak menjadi baik meskipun, dasar pikirannya bukan dirinya sendiri. Tetapi, sudahkan kehendak itu di implementasikan secara nyata? Dan tidak hanya menjadi retorikanya belaka dalam menutupi keburukannya, yang dalam realitanya menjadi saudara kandungnya sendiri?

Selayaknya, menjadi manusia lebih baik adalah mereka yang tidak banyak berbicara kebajikan atas nama, baik optimisme, atau pesimisme sekali pun. Seharusnya  menjadi manusia lebih baik, yaitu manusia yang tidak peduli dengan manusia lainnya. Seperti Pertapa yang hanya hidup di dalam Goa-nya saja sendiri.

Memang, seperti  yang terlempar di dunia sebagai diri manusia. Dengan kehendak bebas manusia, saya begitu bebas, untuk memilih pelbagai pilihan hidup itu sendiri. Hak diri memilih berjalan dengan keburukan atau kebaikan. Aku menjadi sempat berpikir, bagaimana aku sebelum dilahirkan? Orang tua selaku sang pencipta, sudah pasti memiliki nilai-nilai harapan kebaikan pada diriku.

Jika memang anak manusia tidak pernah bisa membalas budi orang tua, atau sang penciptanya? Setidaknya aku harus tidak mau menjadi beban yang amat sangat berat bagi orangtua, atau sang pencipta diriku sendiri. Kita ada karena mereka ada, jika sudah begini, sudah tidak bisa lagi dipermasalahkan peri hal "anak durhaka dan orang tua durhaka".

Tidak ada yang benar, dan tidak ada yang salah, justru inilah kenyataanya, bahwa; kebaikan dan keburukan bersaudara sebagai "aku". Kita semua terlempar begitu saja di dunia. Juga dengan begitu saja sebagai "aku" menjadi manusia. Tidak ada kesempurnaan dalam realitas di dunia ini, karena jika ada kesempurnaan itu, merupakan milik mereka yang berbicara sempurna, untuk menutup alibi keburukannya sendiri kepada orang lain.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun