Kini ketendensiusan pada konsep orang lain ditiru. Bukan di analisa, kemudian dipikirkan, selaras dengan diri sendiri atau tidak? Dalam hati, cenderung ingin menjadi pengikut saja. Tetapi aku sadar, aku adalah kebebasan bagi diriku sendiri.
Memang menjadi autentik dewasa ini sangatlah langka. Karena, kita bertendensi menjadi konstruksi konsep bentukan motivator pilihan. Tetapi, ini yang seharusnya mengedap dalam pikiran kita. Apakah motivator itu benar-benar seperti apa yang dibicarakan oleh dirinya sendiri? Bahkan para filsuf, yang punya kategori orang bijaksana pun, tidak mau untuk ditiru. Bukankah kita tidak dianjurkan untuk berpretensi? Maka, jadilah diri kita sendiri tanpa mengikuti.
Meskipun tidak pernah dijadikan sebagai kepedulian, tentang suatu identitas yang melekat pada diri, justru, kita harus membangun identitas sendiri tanpa kotaminasi. Jadi apa yang kau pikirkan? Jika ada seseorang yang menanyakan identitas dirimu? Indentitas berarti ciri atau, keadaan khusus seseorang; menyangkut jati dirinya. Mungkin jika salah satu dari kita ditanya, mengenai identitas yang tergambar, adalah suatu konsep. Tetapi bukankah konsep itu terbangun atas dasar keakuan itu? Mengapa tidak menjadi aku saja?
Dari siapa kita berasal? Bagaimana keadaan ekonominya? Tentang karakter rasial? dan lain sebagainya yang masih menyangkut dengan keadaan diri kita. Tidak ada yang murni, pada waktu kita lahir sudah dilekatkan sebagai manusia yang bernama "Aku". Kita di kenalkan mereka diantaranya Ayah, dan Ibu, Kakak, Paman dan lainnya. Apakah ketika dalam hidup ada orang lain, ada aku, di dalam diri sendiri tidak pernah ditemukan?
Ini menjadi suatu hal yang menarik. Terkadang hal yang paling mendasar membentuk identitas diri kita adalah lingkungan, yang pertama kita kenal. Komunitas keluarga merupakan komunitas yang paling berpengaruh, dalam membentuk identitas sebagai "Aku". Tetapi, setelah beranjak dewasa, kita mulai menetang kosep identitas yang keluarga tawarkan, tentang  "aku" untuk terus menjadi aku, dalam komunitasnya sebagai entitas yang terpisah.
Kita sebagai diri "aku", mulai tertaik dengan kehidupan luar yang begitu menajubkan, dari apa yang ada sebelumnya. Diri perlu tahu, bagaimana cara mewujudkan identitas yang tergambarkan oleh pikiran kita sendiri. Berbagai macam cara kita tempuh demi mendapatkannya. Usaha yang terus menerus, membawa kita pada keadaan, di mana identitas yang kita mau menjadi nyata  dan terwujud.
Apa yang kita rasa, jika telah mewujudkannya? Sudahkah identitas yang sesuai dengan konsep pikiran kita, terbentuk merefleksikan diri kita sendiri sebagai "aku", yang digambarkan oleh diri sendiri? Prasangka yang sulit, namun tetap saja identitas "aku", tidak bisa menjawabnya.
Fluktuasinya pikiran dan perasaan, suatu tanda bahwa; identitas meskipun sebagai "Aku" adalah suatu yang kabur, dan tidak pernah merefleksikan diri sebagai itu sendiri.Â
Di mata identitas apapun, kita adalah orang yang sama sebagai "aku", dalam setiap prasangkanya yang tidak pernah tetap. Diri kita tidak akan bisa digantikan oleh identitas apapun, meskipun impian menjadi "aku" terwujud dalam kenyataan. Kita tetaplah kita, dan identitas sebagai seperti tidak pernah ada.
Pengakuan Sebagai diriku
Mungkin terlampau sudah, apakah dunia ini begitu mengakui aku? Aku bahkan bukan apa-apa, meskipun dengan menjadi apa, yang sedang terjadi dalam diriku sendiri saat ini. Tidak akan ada pengakuan dari orang-orang mengenai siapa pun, "termasuk pengakuannya sendiri, yang sedang ia formulasi sebagai pembenarannya". Tanpa adanya aku dunia, tetap akan berjalan semestinya. Yang harus dibuat adalah, sesuatu yang tidak dibuat-buat. Tidak lebih untuk hidup apa adanya tanpa yaitu, kekosongannya semata.