"Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, justru inilah kenyataanya bahwa; kebaikan dan keburukan bersaudara sebagai "aku". Kita semua terlempar begitu saja di dunia, juga dengan begitu saja sebagai "aku" manusia"
Ingin aku mengungkapkan, bahwa; Belalang berterbangan disana juga dapat dikatakan sebagai diri. Hujan begitu deras, angin begitu kencang, aku disini, dibukit yang menjulang tinggi. Cahaya ini redup kekuningan, menemaniku dalam kesendirian.
Di sana ada Belalang hinggap dipinggir lampu jalan itu. Mungkin dia sedang merasa bahwa, malam ini terasa dingin sampai menusuk ke tulang. Tetapi, siapa yang akan menyangka? Sungguh aku ingin tahu? Apa yang dirasakan Belalang itu? Dia begitu nyaman, tanpa ada, rasa curiga kepadaku, bersama rasa dinginnya yang menyelimutinya itu.
Tetapi, aku juga punya kepekaan, untuk sekedar, merasa sebagai makhluk yang sama. Kau (belalang), berjuang untuk membuat keadaan-mu lebih baik. Untuk itu, kau memberanikanya, dengan melawan ketidak nyamanan-mu bersamaku. Tidak lebih, demi secerca cahaya, dan kehangatan yang bisa menghangatkan tubuhmu.
Kau sekarang sedang bersamaku, mungkin beberapa hari kedepan, kau akan mati. Tetapi aku lihat ada cahaya dimatamu, kau tetap menerima keadaanmu. Dan aku, juga harus sepertimu, menerima keadaan yang sudah "sama-sama menjadi takdir kita hidup di dunia".
Memang, menjadi diri pribadi di dunia begitu rancu. Terkadang  harus menjadi syukur, yang harus terus di syukuri. Rasanya kehidupan  ini terlampau serius. Aku terkadang merasa dengan cara yang tidak terduga untuk merenungi.Â
Perbedaan cara mungkin akan menjadi acuan hidup itu sendiri. Bagaimana suatu bentuk mempengaruhi identitas diri manusia? Namun, perbedaan yang melekat seakan memberi sekat diri. Entah itu kondisi yang di inginkan, atau tidak di inginkan? Aku lah sang penanya itu?
Ada kalanya, aku mempertanyakan ketidaksamaan yang terkadang lucu. Aku ingin sepertinya, tetapi, di dalam hati mereka, dia mungkin ingin seperti diriku. Ini yang di namakan ketidakjelasan identitas itu, bahwa: "keterpandangan diri seakan datangnya dari luar diri itu sendiri". Banyak waktu untuk bertanya, mengenai hal apa yang memenuhi pertanyaan segala perasaaan? Seperti sedikit mempertanyakan kesadaran, sudahkah kita, "manusia" bangga dengan diri manusia itu sendiri?
Dituntut untuk bertanya, melupakan semua hubungan antar pribadi sangatlah menjadi mungkin. Jika diri ini tersadar, bahwa; keterwakilan diri milik pribadi, tidak ada harapan yang melegakan pikiran. Karena semua itu akan berangsur menjadi beban yang tidak terelakan, oleh diri ini juga pada akhirnya. Saat ini aku adalah diri pribadiku. Mereka itu mereka, bukan aku, dan mungkin itu dia, tidak akan pernah menjadi aku.
Upaya menjadi diri sendiri tidak akan lagi dapat ditawar pada akhirnya, walaupaun kemuktakhiran zaman membuat materialisme semakin tidak terelakan. Aku kini seakan hidup di dalam angan - angan orang lain, bukan ada, dalam angan-angan diriku sendiri.Â