Kita dapat membayangkan apapun, mebayangkan keindahan, kebaikan bahkan keburukan yang akan ia kehendaki. Begitu juga ketika kita membicarakan ide-ide. Tidak ada ide yang kecil, semua ide besar, bahkan semua adalah kebaikan untuk sang pencetus ide itu sendiri.
Bayangan tentang apapun memang baik, bayangan juga memenuhi harapan kita yang akan datang. Begitupun tentang Ide-ide dimunculkan untuk tahu bagaimana cara kita menjemput harapan itu. Namun terkadang ketika bayangan dan ide itu menyeruak dalam batin kita, seakan kita lupa pada apa yang harus dirasakan saat ini, apa yang dibutuhkan saat ini dan apa yang bisa dibangun dari saat ini.
Membayangkan dan menciptakan ide jauh ke masa depan membutuhkan energi yang besar. Terkadang energi yang besar itu juga memberatkan diri kita. Habisnya waktu untuk berpikir, untuk membayangkan dan untuk menciptakan pengharapan-pengharapan baru yang masih tanda tanya. Lagi-lagi semua ini akan menjadikan diri tetap berkutat pada diri sendiri.
Nantinya ketika bayangan dan ide bekerja melampaui dirinya, hasrat kita terbawa jauh kedepan, ego kitapun juga menginginkan untuk melampaui. Keadaan inilah yang membuat kita tidak pernah selsai dengan diri kita sendiri. Selamanya hanya akan ada rasa ingin dan ingin yang tidak akan pernah selsai. Jika hal itu disadari seakan kita jauh dari hidup pada saat ini. Saat dimana kita sadar akan waktu kita, keadaan kita dan kesadaran kita.
Kita akan kehilangan saat-saat berarti kita seperti kenyamanan dan kebahagiaan yang bisa kita ciptakan saat ini. Juga memunculkan ide yang jernih, membayangangkan hal-hal yang diprioritaskan untuk jangka dekat tanpa terkatung-katung egoisme masa depan juga masa lalu. Kadang jika dipikir lebih tenang, menyelasikan masa lalu lebih penting ketimbang berpikir lebih jauh kedepan. Dengan catatan kita punya masa lalu yang menganjal dan membayangi langkah kita saat ini.
Menjalani hidup memang berwarna-warni, banyak pilihan jalan. Entah mau seperti apa hidup kita tergantung bagaimana maunya kita. Berkutat dimasa lalu, saat ini, juga masa depan. Kecemasan, kuwatir dan takut mungkin sudah bawaan sifat dari insting kemanusiaan sejak leluhur kita. Wajar kuwatir pada nasib masa depan nanti, menakuti hasil apa yang diperbuat dari perbuatan masa lalu, maupun cemas terhadap hasrat-hasrat terpendam saat ini. Tetapi bagaimanapun hidup, kita adalah kontrol bagi hidup kita sendiri. Keputusan mau seperti apa kita, ada pada diri kita sendiri.
Meskipun jika dirasa-rasa terjebak dalam masa manapun itu pahit. Bahkan tidak sedikit harus dengan penderitaan dan ilusi menjalaninya. Tetapi jika semua disyukuri lebih dalam dan dinikmati prosesnya semua terjadi secara tidak sadar. Kita merasa tiba-tiba sudah sampai sejauh ini. Rasanya hidup adalah kesempurnaan yang indah apa adanya. Dan kehidupan selamanya akan seperti menarik lagi, dunia tempat kita tinggal merupakan tempat belajar dan bertumbuh setiap makluk-mahkluknya, antara kita, dia dan mereka.
Tetapi ada apa dengan pilihan? Rasanya memang tidak lagi masuk akal tentang mereka yang betah akan segala penderitaannya. Terpikir apa yang mengelabui sehingga mereka betah akan hal yang tetap dideritanya? Apakah ia tertutup akal sehatnya? Bagikan teka-teki pada siang hari, benderang, terlihat, tetapi tetap dilakukan.
Tidak jarang sang penderita sebelumnya sudah ditentang, bahkan diacam untuk mengamankan penderitaanya oleh orang-orang disekitarnya. Namun ia bebal seperti tertutup awan, tetap dilakukan dan tetap pula menderita. Yang menjadi teka-teki memang selalu tidak masuk akal. Tetap bertahan meskipun hidup dengan pesakitan.
Aku memang tidak berperan tetapi semua hal tentang penderitaan mengandung sejumlah perhatian. Bagaimana sang penderita tetap mempertahankannya? Sekali lagi tidak masuk dalam akal. Sepertinya penderita seperti dikutuk alam, alam dunianya sendiri. Yang pasti tak akan bisa dinalar bahkan dipelajari dan tidak bisa pula terkatakan.
Mungkin dalam hal ini aku akan mengutip petuah lama dimana akan sengsara jika tidak nurut dengan orang tua. Memang semua tidak akan bisa terbantah, tetapi ketika hal membutuhan suatu hal untuk berbicara. Ketika ketiadaan orang dekat hadir seperti merana didalam dunianya sendiri. Manusia adalah makluk yang butuh orang lain yang tanpa perlu menjelasakan. Ketika hubungan saling membutuhkan Ia dilawan akan menguap bagai es yang meleleh ditelan gelap.