Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia, Pemuja Sekaligus Pengkritik

1 Mei 2019   17:52 Diperbarui: 27 Mei 2019   00:55 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari pixabay.com

Malam ini seperti halnya kemarin "bersama suara-suara keras dari pojok-pojok perumahan". Saya tidak mengerti apa yang mereka rasakan? bahagia ataukah tertekan oleh budaya yang mereka yakini. Yang mungkin saya tidak tahu, ini sudah terjadi sejak sebelum saya dilahirkan.

Mereka melakukan ritual-ritual ini setiap hari di bulan yang tertunggu dalam satu tahun hanya satu bulan. Saya merasa dunia ini tidaklah berbeda, hanya saja saya yang perlu membiasakanya. Perkara itu menjadi budaya yang dijalankan semua orang, dan saya hanya duduk terdiam, hanyalah bentuk kehendak dari pilihan.

Saya merasa yang perlu berubah adalah diri saya sendiri, saya tidak mungkin bisa berjuang hidup tanpa mereka dengan berbagai perbedaan yang manusia miliki. Ketetapan mungkin bisa saja berganti menjadi lebih baik atau lebih buruk. Saya akan menjadi sangat naif jika mengkritiknya. Mungkin hari-hari selamanya akan tetap sama, tetapi setiap generasinya berbeda dalam memandang kehidupannya sendiri.

Namun saya harus paham bahwa; semua ini milik kita semua, ketika cara hidup itu memanggil, biarlah yang hanya terpanggil melakukan dan membangun budayanya tersebut. Saya mengira perbedaan budaya buakanlah soal, "yang menjadi persoalan adalah ketika kita mempersoalkan itu". Untuk itu, janganlah menghancurkan tatanan yang sudah ada yang dibangun lewat tenaga, tangisan, keringat, dan juga darah.

Tidaklah kita untuk berharap pada dunia tetapi, "kita yang merubah dunia dengan cara kita sendiri tanpa mendeskriditkan orang lain". Memang hidup mereka hanya mereka yang dapat merasa dan menikmatinya. Begitu pun kita sendiri, "hanya kita yang tahu mana yang baik untuk kita".

Meskipun terkadang hidup harus menjadi pemuja sekaligus pengkritik sebagai manusia tetapi biarlah. Menjadi sama "mereka pun harus membiarkan kita". Jika ada sesuatu yang tidak kita mengerti ya, karena itu kita harus mengetahuinya "meskipun kita tidak menyukainya" terpenting hidup bersama menjadi tujuannya.

Pengkritik dan pemuja dalam masyarakat kata-kata

Sudut kota meyampaikan petuahnya setiap pagi, siang, sore, malam. Tetapi petuahnya tidak saya mengerti. Pemakaian bahasa menjadi kendala yang sangat besar. Terlalu lama petuah itu tidak berhenti-henti, pertanda petuah yang tidak saya maksud itu sudahlah membosankan. Saya berpikir dialah (petuah) yang membuat saya bosan. Karena "dia tidak punya daya kreatif yang tinggi untuk membuat saya tertarik". Petuah disampaikan begitu kuatnya, yang asli petuah itu adalah ajaran hidup bermakana ambigu. Tetapi bermakna indah dan tersembunyi bagi mereka.

Mengapa saya katakan ambigu? Karena tidak ada sinkretisme dengan budaya pada setiap masanya. Keaslianya sungguh dipertahankan, sehingga ia menjadi asing karena berasal dari budaya yang asing. Namun karena keaslian itu, menjadikannya "dia hanyalah produk sia-sia belaka yang bermakna, tetapi tidak syarat akan makna". Tetapi, bukankah mereka masih memujanya? Jadi mengapa? Tanyakan ada apa?

Bahasa dalam ajarannya haruslah yang mudah dimengerti, supaya hanya mendengarkan pun menjadi maksud, dan ajarannya bisa menyentuh relung hati terdalam manusia.

Enggannya menjadi budaya yang berdampingan dengan budaya asli menjadikan itu ajaran dari sana, yang sebenarnya hanya untuk orang sana. Rasanya saya ingin mengkritik budaya ketuhanan. Tuhan apakah engkau tidak universal sebagai identitas yang teryakini? Apakah eksistensi engkau begitu banyak di dunia ini, sehingga engkau diklasifikasikan asal daerah mana itu tumbuh?

Mungkinkah engkau produk akal mereka yang haus akan kekuasaan politis, sehingga dapat dengan mudah mereka mengtasnamakan "engkau" untuk segala kepentingannya? Termasuk, menguasai dunia yang dalam sejarah kerap ditunganggi atas nama tuhan, "perkara pemilihan ras manusia yang unggul menurut mereka"? Saya menunggu engkau "Tuhan", menunggu engkau dengan perwujudan kebaikan tanpa permusuhan abadi sebagai dalih kepentingan-kepentingan manusia untuk golongannya.

Saya lihat kini, ada banyak sekali orang yang kenal dengan engkau (tuhan). Tetapi sangat sedikit yang mengenali engkau. Kau di agungkan bak sesuatu yang tak bisa dikritik, tidak bisa ditentang, dan tidak dapat dinalar oleh kekuatan manusia yang ingin mengenal engkau.

Seharusnya seorang pemuja juga harus menjadi seorang pengkritik. Mengapa seperti itu? Mereka kenal, mereka juga harus mengenali. Biar pun setiap pagi dan malam mereka memuji Tuhan, tanpa mengenalinya, saya yakin tuhan tidak akan mengenal mereka. Bahkan untuk masuk dalam relung batinnya pun tidak. Karena ia menutup untuk mengenal kebaikan Tuhan dengan cara lain.

Untuk itu, bukan mereka yang setuju dengan konsep bertuhan secara kaku yang lebih mengenal Tuhan. Melainkan orang yang tidak setuju kekakuan cara Tuhan-lah ungkapan banyak manusia yang lebih mengenal tuhan itu sendiri. Tidak setuju pada sebuah konsep berarti lebih mengetahui konsep itu. Bukankah ini bertentangan dengan pandangan umum? Namun di sinilah hal yang mendekati kebenaran itu (Paradoks).

Inilah kehidupan yang sesungguhnya tanpa mengenali dia tidak dapat mengenal. Hidup tanpa tedeng aling-aling bermakna "menjalani hidup yang benar-benar hidup sepenuhnya menjadi diri sejati". Oleh sebab itu, "Menjadi diri sendiri seharusnya menjadi prioritas dalam makna menjadi manusia".

Kita sampai saat ini pun masih bertanya, mengapa kita hidup disini bersama problematika kehidupan yang ada sebagai manusia? Hidup dengan kesadaran akan manusia, budaya dan kosmos, akan membuat kita tidak jatuh pada ketidaktahuan atau kebodohan kita, "sebagai makhluk yang berpikir". Dalam hidup, saya kira tidak ada yang patut dipertentangkan apa lagi dimusuhi. Jika akan memuja sesuatu, pujalah dengan nalar. Sama halnya ketika kita akan mengkritik sesuatu, "harus juga sama dengan nalar".

Untuk menjadi  manusia bermasayrakat, filosofi menjadi manusia gila sangatlah perlu. Terkadang untuk menjadi manusia yang waras harus menjadi gila terlebih dahulu. Lihatlah orang gila, justru karena gilanya, "dia menjadi orang yang paling waras di dunia ini".

Hidup orang gila tidak memikirkan apapun , dan tidak berkeinginan apa pun. Lihat yang menurut anda, "masyarakat kata-kata" waras hidupnya, dia penuh kekhawatiran, bahkan memberi kesan yang berbeda dengan dirinya sebagai keburukan, dan perlu diluruskan menurut pandangann mereka sendiri. Sebagai salah satu contoh adalah, dia yang berpikir bagaimana menjadi sukses dalam pandangan orang waras. Sukses menurut mereka merupakan bagaimana manusia dapat menghasilkan banyak uang.

"Terlebih lagi katanya dia orang yang pikirannya waras, tetapi justru dia yang kejam pada sesamanya, pada alamnya dan pada setiap makluk hidup yang ada untuk mengakumulasi kekayaannya".

Menurut anda siapa yang waras dan siapa yang gila? Pada dasarnya, orang gila lah yang waras, dan orang waraslah yang sebenarnya telah gila. Mungkin manusia yang baik pada masa kini adalah mereka yang tidak mengumbar kata-kata. Saat ini, masa dimana menjadi "masyarakat kata-kata  sangat-sangat benar  membosankan". 

Setiap hari semua orang disuguhkan kata-kata yang tidak menarik lagi tentang yang mencoba untuk peduli. Kalau dahulu ada kata perumpamaan indah, banyak-banyaklah mendengarkan. Tetapi hari ini sangat tidak relevan, karena kata-kata itu, bagi masyarakat kata-kata, "diam berarti bodoh". Kata-kata membodohkan keluar ketika kata-kata itu sangat murah di ucapkan siapa saja dengan kepentingan apa saja.

Perang kata-kata sangatlah mempusingkan bagi seorang yang mendengarkan. Dimana letak yang benar saat  semua yang berkata-kata ingin diakui kebenaranya? Ini sulit, dan sangat bisa dibilang yang tersulit "sebagai pemuja dan pengkritik". Kata-kata sepanjang hari di berbagai media membuat muak bahkan menenggelamkan nalar. Perkataan ini ditentang, dan perkataan itu dipuja bak tidak ada salahnya. Sampai-sampai tidak ada titik temu dari perkataan antara pengkritik dan pemuja itu sendiri.

Kebebasan kata-kata bukan saja membuat masyarakat bingung, tetapi mengurangi kadar kerja itu sendiri saat manusia akan tumbuh dengan pikirannya sendiri. Semua waktu di habiskan untuk kepuasan berkata-kata melengkapi kebutuhan kelompoknya. Rasanya ingin saya hentikan denyut nadi dunia berkata-kata ini. Semakin banyak orang berkata-kata semikin ia potensial menjadi munafik.

Lewat kata-kata kebenaran bisa disalahkan, dan kesalahan dibenar-benarkan. Dengan arti dan tujuan yang baik, kata-kata memang baik adanya. Kata-kata yang baik ketika kata-kata itu keluar dari mulut-mulut para ahli di bidangnya. Bagaimana mungkin orang yang tidak sesuai dibidangnya berbicara seakan-akan dia yang paling benar memberi pernyataan perihal "bidang tertentu"? Bukankah ini bisa keliru jika dipahami? Sepertinya di manapun zaman masyarakat kata-kata ini, disitu ada kesalahan memahami kata-kata itu sendiri.

Ketika sebagain besar masyarakat berkata-kata berkuasa, diam adalah pilihan yang utama. Bukan tidak peduli tetapi, akan lebih berbahaya ketika lebih banyak orang yang bicara tanpa makna. Diam menjadi emas ketika keriuhan berkata-kata berjaya seperti saat ini. Jika perlu bicaralah yang baru, dan mecerahkan pikiran-pikiran yang sedang bingung. Untuk ini tulisan ini diciptakan setidaknya menerangi diri tersendiri terlebih dahulu, yang menginginkan menjadi peduli yang bersikap tidak peduli.

Memang haruslah mengambil jarak pada kemunafikan. Mereka tidak banyaknya hanyalah ingin menjadi sama, satu warna dengannya. Namun itu yang sulit, terkadang ungkapan tidak rasional pun hadir, akan janji-janji, konsekwensi dan lain sebagainya.

Ketika tidak sedikit pun saya peduli dengan apa yang mereka ucapkan, terus-menerus dihujani ungkapan. Memandang sinis bahwa di hatinya terdapat kecongkakan akan kebenaran yang, ia juga belum tentu itu benar dan mengerti. Tetapi dengan percaya dirinya kemudian menghakimi, merendahkan, bahkan tak sedikit menjelekan yang lain untuk menarik simpati untuk satu ideologi dengannya.

Entah hidup bersama mereka musibah atau anugerah? Tetapi setidaknya saya tahu bahwa ada dimensi lain dari ideologi. Kadang hebat katanya membuat saya tidak merasa nyaman, mengikuti sedikit menjadi munafik, menjadi apa yang tidak saya mau. Yang ada dalam pikiran adalah agar kata-kata kemunafikan yang tidak membuat nyaman berhenti dari ingatan hari-hari dan pendengaran saya saat ini.

Akhir-akhir ini saya merasa ideologi untuk menjadi palsu semakin hebat. Terkadang bagi mereka yang fanatik, sudah memulai merusak psikologis yang lain. Saya pun bertanya, dimana cahaya ia berkuasa atas dirinya ada? Dan sedikit banyak orang-orang seperti mereka sebenarnya hanyalah mengikuti saja, apa yang dikatakan peran panutan bagi mereka. Hidup bagikan ada ditangan yang lain, bagi saya, mereka akan tetap menjadi lain, dan tetap akan menghakimi yang lain.

Beragamnya pilihan memang memaksa kita untuk memilih. Bukan anti saya dengan ideologi lain, tetapi saya tidak mungkin bisa sepemahaman dengannya. Cara hidup saya berbeda, pengalaman pun berbeda, dan saya, merasa hidup akan lebih indah dengan harmoni perbedaan yang ada. Tanpa menghakimi, tanpa umpatan, dan tanpa kebenaran fana tetapi menjadi acuan.

Sepantasnya saya memang tidak harus terus berkata-kata, biarkanlah semua tentang ini menjadi makna. Makna dari pengalaman yang nyata dalam hidup bersama. Sejengkal, saya pun sedikit menjadi munafik untuk menyelami apa yang baik dan benar untuk saya. Tidak semua orang sama, semua berbeda, bahkan semua mencari. Sepertinya hidup memang tidak mencari yang benar, tetapi mencari yang tentram, damai dan membahagiakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun