Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Pemikir" Dilema Sebagai Rakyat

14 April 2019   15:13 Diperbarui: 20 April 2019   21:16 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari archive.tabloidbintang.com/ Film "Sang Penari"

Ritual memberi minyak pada rambut, apakah ini akan dapat terus aku lakukan? Kian hari rambutku kian panjang, mengeriting, bahkan jika di sentuh rasanya seperti sarang burung yang jaraknya amat dekat. Tetapi apa? Aku hanyalah orang yang tidak berhenti berpikir.

Janggut yang mulai panjang bulu rambutnya, kumis juga semakin menebal, apakah sebagai seorang pemikir hidup harus tanpa memperhatikan dirinya sendiri? Mungkinkah ini akan berguna pada akhirnya? Nyamuk-nyamuk di hadapanku, disamping ia menari di depan mataku, ia juga ingin seperti bermain denganku. Kata yang ingin aku ucapkan, hisaplah embun-embunku agar aku bisa tidur nyenak malam ini tanpa terus berpikir lagi.

Rokok aku ambil dari dalam tas, ketenangan setelah hujan kini, hanya menyisahkan aspal basah di depan tempat tinggalku. Oh, hangatnya cairan yang katanya penolak angin ini, segar dan semriwing. Aku membelinya tadi sore, agar aku bisa lebih cepat tertidur malam nanti. Semalam tidurku tidak pulas sama sekali, pagi-pagi buta dihadapkan pada gairah berpikir yang rancu. Sebenarnya aku pun selalu ingin menanyakan mengapa berpikir bagiku seperti kecanduan. Apa mungkin ini adalah karakter yang harus menjadi laku dalam hidupku? Lelah seakan tubuh ini, tetapi jari ingin terus bergerak, pikiran ingin teruas berselancar dengan kata.

Yang lelah pada dirinya kini, akankah ia terkenang? Selama ini ia hanya sendiri, hidup berpindah-pindah, rasanya tidak sanggup menatap kebersamaan dengan receh untuk membayar kos yang nyaman nilainya setengah gaji. Dalam hati terdalam sebenarnya ia sudah ingin bersama, berpelukan ketika lelah, dan ada bahu untuk menyandarkan diri ketika sedih dan sendiri menerjang. Seakan nyamuk ini terus menyerangku, sembari merenung, aku menangkap suara hatiku pada realitas yang pilu.

Meskipun terkenang atau tidaknya nanti, aku masih ada kesempatan untuk melanjutkan kehidupan. Aku masih begitu muda, dan aku akan membuat, "bisa nanti cicit-ku mengenal diriku lewat berbagai tulisan-tulisanku". Seperti Fajar Merah yang mengenal bapaknya Widji Tukul dengan berbagai puisinya. Mungkin tulisan adalah jalan yang mempertemukan antara aku dan setiap keturunanku kelak.

"Terkadang ide tidak selamanya mengikuti keinginan nurani, ada kalanya menjadi manusia biasa-biasa aja itu perlu, tanpa banyak berpikir, mengharap, dan dominasi diri atas dirinya sendiri. Tetapi mengapa panggilan jiwa ini seakan lebih nyata dari pada keinginan rasa itu sendiri? seakan tidak bisa tapi jiwa ingin terus melakukan"

Mungkin seperti tokoh Srintil dalam Film "Sang Penari", ia tidak bisa membohongi kehendak jiwanya. Meskipun orang yang ia cintai tidak setuju dengan keputusannya menjadi Ronggeng tetapi, menjadi ronggeng adalah pangilan jiwa yang harus ia jawab dalam kehidupannya.

Ya, jiwa merupakan yang transenden itu. Keinginannya sama sekali tidak bisa di lawan. Seperti mimpi yang selalu teringat pada bayanganku, suatu kali aku bertemu sorang Resi bergaya Majapahit Kuno dari dalam Goa, "ia berkata padaku teruslah kamu belajar". Aku pun masih mencari taha apa arti mimpi-mimpi itu. Mungkin inilah tongak bahwa aku harus terus belajar untuk menulis. Seperti seorang "Resi" yang hidupnya untuk "sebagai pencerah".

Tanpa lelah aku memang sudah tidak harus bertanya lagi, biarlah rambut ini memanjang dan berputar pada porosnya seperti bentuknya yang keriting. Rasus yang kecewa terhadap Srintil akan berbagai keputusannya untuk tetap menjadi Ronggeng, ia pergi dan akhirnya menjadi Tentara yang ikut dalam membantai warga kampung yang sudah Rasus anggap sebagai sanak sodaranya sendiri di Dukuh Paruk. Alasanya pembantaian warga yang tidak berdosa tersebut adalah sentimen akan gerakan anti komunisme yang sedang di gencarkan lawan politik waktu itu di tahun 1965.

Menjadi catatan sendiri dari dalam semseta pengetahuan pengalam akan budaya Banyumasan sebagai tanah kelahiranku. Aku tidak tahu bahwa Ronggeng adalah wanita penghibur, tidak hanya berjodeg, tetapi penghibur di atas ranjang juga. Dalam hal ini, ia tidaklah hina seperti apa yang kita anggap sebagai wanita penghibur di tempat prostitusi atau ruang karoke. Dia di istimewakan karena profesinya itu, tidak hanya penghibur hasrat sexsual tapi juga penghibur rasa senang yang legal oleh budaya. Dan para istri dari lelaki yang meniduri Ronggeng itu-pun tidak keberatan dan cenderung mempersilahkan, karena itu sebagai kebaikan dari kebudayaan leluhur yang mereka jaga.

Nalar saya menangkap bahwa, mungkin dalam budaya Manusia Jawa dahulu, prostitusi adalah dalam bentuk penari Ronggeng itu sendiri. Tidak lebih ini sebagai sarana laki-laki setia pada pasangan resminya. Kita tahu hasrat laki-laki yang cepat bosan jika harus mensetubuhi istrinya secara terus menerus tanpa ada selingan wanita lain. Mungkin wanita Jawa dulu tidak ada yang rela bila ia harus di madu, lebih baik mengalah suami melakukan praktik prostitusi dari pada menikah lagi.

Menurut saya inilah keluhuran dari budaya, dimana stigma-stigma bahkan kemarahan seorang wanita kepada suami yang bersetubuh dengan nyai ronggeng tidak tampak dalam film tersebut. Mereka para wanita bukannya memusuhi Ronggeng itu sendiri tapi memuliakannnya. Disamping keluhuran budaya, Film ini juga mengandung sejarah yang amat kaya dan sangat layak untuk dijadikan pelajaran melaui budaya dan sejarah.

Pada dasarnya prahara G 30 S pembantaian yang di tuduh komunis adalah mereka yang tidak tahu apa-apa. Ketika rakyat yang tidak tahu apa-apa di didik bahasa tulis dan pengertian politik oleh Partai, ya senang dan menurut saja. Karena latar pendidikan dulu yang kurang memungkinkan, belajar secara gratis lewat guru dari kekuatan partai adalah hal yang baik.

Sebagai catatan, mereka tertarik dengan sistem komunisme tidak lebih karena sebagai buruh tani bayaran sangat sedikit. Ide tanah untuk rakyat tentu menggoda mereka yang ingin mengubah nasib dari buruh tani menjadi petani yang punya lahan. Dimana ia tidak lagi menjadi buruh tuan tanah yang membayar sangat murah.

Dalam narasi bagaimana sejarah "bourjuis" semasa dahulu memang terasa. Hampir mayoritas tanah di kuasai oleh para tuan tanah, menjadi dilema ketika salah satu anggota Partai ingin memesan makan di warung Dukuh Paruk, ia meminta Nasi, pemilik warung bilang " sudah lama tidak ada beras". Anggota sekaligus agen partai-pun bilang "miris warung dekat sawah tidak ada beras". Disisi lain Tentara dengan membawa mobilnya terus mengangkut beras dari Pasar disekitar Dukuh Paruk.

Dalam politik konflik kepentingan sangatlah dominan. Dahulu mungkin karena gerakan rakyat melalui Partai merongrong bisnis Tentara itu sendiri yang berkoalisi dengan para tuan tanah. Adanya armada dalam tentara sendiri memungkinkan menjadi fasilitator penjualan hasil bumi dari Desa ke Kota. Kita bisa melihat bagaimana setelah G 30 S sendiri menjadi awal mula Tentara menguasai bisnis, dalam hal ini bekerja sama dengan kapitalisme.

Politik sendiri pada prakteknya memanfaatkan yang lemah, baik lemah secara structural, intelektual maupun kekuatan. Tidak jarang rakyat dalam hal ini akan terus menjadi korban bagi berbagai praktik politik. Dalam praktik politik sendiri, siapa yang berkepentingan membela rakyat akan ditumpas oleh kekuatan yang memanfaatkan keuntungan dari praktek-praktek politik yang menindas rakyat. Dalam hal ini para oligarki baik aparatur negara atau kaum kapitalis itu sendiri yang sebenarnya menidas dan memanfaatkan kebodohan dari rakyat.

Tetapi ketika daya upaya untuk membela dirinya sendiri pada rakyat ditekan, bahkan di represi untuk tumbuh seperti gerakan rakyat yang terjadi pada masa lampu silam, akan memunculkan madegnya kekuatan rakyat itu sendiri. Narasi inilah yang terjadi pada semesta politik Indonesia dimana rakyat dibuat untuk lemah dan bodoh secara intelektual. Tujuannya adalah mereka tetap mempertahankan "status quo" kedigdayaan dalam struktural kenegaraan.

"Selamanya, ketika tidak ada gerakan rakyat itu sendiri, selama itu pula, politik yang digunakan sebagai sarna membela rakyat menjadi sarana penindas atas nama memanfaatkan rakyat. Dalam sejarah politik dunia sekalipun, politik adalah suatu sarana yang menindas"

Ontologi Filosofis berpikir Rakyat

Untuk berpikir sebagai rakyat sendiri begitu rancu. Disamping menjadi kelainan dalam sejarah politik itu sendiri. Sebagai pemikir dari rakyat juga terus dibendung agar ruang geraknya semakin sempit oleh penguasa. Tetapi dengan berbagai fasilitas informasi untuk berpikir saat ini, memungkinkan bahwa, bukan tidak mungkin menciptakan rakyat pemikir itu sendiri.

Bagi sebagian orang yang berpikir menyeluruh menyimak keadaan saat ini sangatlah membuat mereka gusar. Berbagai fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menandakan bahwa peristiwa kecil juga butuh perhatian agar mereka tidak menjadi besar dan meresahkan dikemudian hari.

Aku-pun tidak tahu apakah memang orang-orang yang tidak lagi mau peduli dengan apa yang terjadi? Ataukah merekapun jengah dengan hidup mereka sendiri? Sehingga terlalu berat untuk memperdulikan keadaan yang terjadi diluar keadaan dirinya?

Politik indentitas kini, justru keadaannya sangat memanfaatkan ketaatan rakyat itu sendiri pada keyakinan otoritasnya. Upaya pembodohan untuk menjadi bebas dan merdeka tanpa terkekang pemikiran mengekor sangat masif di kampanyekan untuk rakyat. Dalam hal ini harapan palsu politik masih menjadi mimpi bagi rakyat sendiri yang sebenarnya keadaan hanya memanfaatkan mereka sebagai jalan bourjuis berkuasa.

Semua tidak ada yang salah, semakin hari memang semakin menyulitkan kita semuanya sebagai rakyat. Diluar sana media-media memperberat pikiran rakyat dengan berita kekewatiran, kejahatan yang mengintai kita dan hal-hal yang menarik memicu keinginan rakyat.

Yang media inginkan, kita menjadi manusia yang hanya sok untuk memperdulikanya berbagai opini-opini baik politik atau prodak-prodak indutri maju. Bahkan kalau bisa kita jatuh untuk merangkul media-media itu  agar tidak melepaskannya, untuk terus bergantung dan mengantungkan diri kemudian mati tergantung.

Jika kita rasa lebih dalam membuat sesuatu yang kecil menjadi besar? Siapa yang membuat permusuhan menjadi abadi? Dan siapa penebar kecemasan masal tersebut? Siapa juga yang mengganggu ketentraman berkeyakinan pada rakyat? Yang membuat semua itu adalah ideologi yang bertrasformasi menjadi informasi kemudian diyakini.

Dengan gerakan masa yang membela setaiap kepentingan oligarki, mungkin narasi ketentraman sebagai rakyat tergadai. Suatu saat ia "rakyat" dapat digoncangkan dengan isu-isu identitas yang selama ini melekat pada rakyat. Identitas seperti racun yang berkrumun dalam tubuh rakyat sendiri yang dapat menyerang dirinya sendiri tanpa ampun.

Manusia berideologi untuk mencipta suatu yang baik, tetapi apa? Ideologi yang katanya lebih hina dari keyakinan itu hanyalah penghalang kemudahan hidup manusia. Tetapi apakah keyakinanpun dampaknya lebih baik dari ideologi? Mereka sama saja, konsep antara ideologi dan keyakinan bersumbu pada akar yang sama. Tujuannya hanya-lah pengontrolan tanpa batas di balut dengan informasi sehingga semakin mudah mereka mengatur manusia untuk diambil sari dan madunya.

Di dunia yang semakin bertarung informasi ini menjadi menghewatirkan. Ideologi masih berdengung, keyakinan semakin menjadi-jadi. Apakah bisa hidup di dunia tanpa informasi? Mungkin kah ideologi mati? Akankah keyakinan hangus seperti Hutan-Hutan Kalimantan? Semakin manusia terjaring ketiga entitas itu semakin dia lebih cepat mati terbauai oleh narasi sebagai manusia itu sendiri. Yang terjaring mati dengan ketidakpekaan pada nilai-nilai solideritas sesama manusia atau makhuk lain yang berjuang untuk hidup.

Cahaya fajar terbit setelah bencana, akan lebih bersinar terbit setelah perang. Aku rasa perubahan dunia tercipta karna hal itu. Mungkinkah aku harus percaya dengan bencana dan perang akan membuat sejenak dunia memberhentikan kehidupan? Tidak, setelah bencana dan perang, merupakan titik awal dari peduli untuk tidak peduli lagi.

Sepertinya aku hanya bermimpi tentang realitas keberadaan mengabdi pada kebaikan yang tiada saling memperhitungkan. Baik dalam politik hanyalah semu, seperti kebanyak politikus yang tidak ingin mereka mengambil gaji ketika berkuasa nanti. Mengamankan usaha mereka dan menambah usaha mereka akan lebih besar berkali-kali lipat jumlah uangnya dari gajinya sebagai pejabat Negara itu sendiri..  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun