Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Pemikir" Dilema Sebagai Rakyat

14 April 2019   15:13 Diperbarui: 20 April 2019   21:16 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari archive.tabloidbintang.com/ Film "Sang Penari"

Nalar saya menangkap bahwa, mungkin dalam budaya Manusia Jawa dahulu, prostitusi adalah dalam bentuk penari Ronggeng itu sendiri. Tidak lebih ini sebagai sarana laki-laki setia pada pasangan resminya. Kita tahu hasrat laki-laki yang cepat bosan jika harus mensetubuhi istrinya secara terus menerus tanpa ada selingan wanita lain. Mungkin wanita Jawa dulu tidak ada yang rela bila ia harus di madu, lebih baik mengalah suami melakukan praktik prostitusi dari pada menikah lagi.

Menurut saya inilah keluhuran dari budaya, dimana stigma-stigma bahkan kemarahan seorang wanita kepada suami yang bersetubuh dengan nyai ronggeng tidak tampak dalam film tersebut. Mereka para wanita bukannya memusuhi Ronggeng itu sendiri tapi memuliakannnya. Disamping keluhuran budaya, Film ini juga mengandung sejarah yang amat kaya dan sangat layak untuk dijadikan pelajaran melaui budaya dan sejarah.

Pada dasarnya prahara G 30 S pembantaian yang di tuduh komunis adalah mereka yang tidak tahu apa-apa. Ketika rakyat yang tidak tahu apa-apa di didik bahasa tulis dan pengertian politik oleh Partai, ya senang dan menurut saja. Karena latar pendidikan dulu yang kurang memungkinkan, belajar secara gratis lewat guru dari kekuatan partai adalah hal yang baik.

Sebagai catatan, mereka tertarik dengan sistem komunisme tidak lebih karena sebagai buruh tani bayaran sangat sedikit. Ide tanah untuk rakyat tentu menggoda mereka yang ingin mengubah nasib dari buruh tani menjadi petani yang punya lahan. Dimana ia tidak lagi menjadi buruh tuan tanah yang membayar sangat murah.

Dalam narasi bagaimana sejarah "bourjuis" semasa dahulu memang terasa. Hampir mayoritas tanah di kuasai oleh para tuan tanah, menjadi dilema ketika salah satu anggota Partai ingin memesan makan di warung Dukuh Paruk, ia meminta Nasi, pemilik warung bilang " sudah lama tidak ada beras". Anggota sekaligus agen partai-pun bilang "miris warung dekat sawah tidak ada beras". Disisi lain Tentara dengan membawa mobilnya terus mengangkut beras dari Pasar disekitar Dukuh Paruk.

Dalam politik konflik kepentingan sangatlah dominan. Dahulu mungkin karena gerakan rakyat melalui Partai merongrong bisnis Tentara itu sendiri yang berkoalisi dengan para tuan tanah. Adanya armada dalam tentara sendiri memungkinkan menjadi fasilitator penjualan hasil bumi dari Desa ke Kota. Kita bisa melihat bagaimana setelah G 30 S sendiri menjadi awal mula Tentara menguasai bisnis, dalam hal ini bekerja sama dengan kapitalisme.

Politik sendiri pada prakteknya memanfaatkan yang lemah, baik lemah secara structural, intelektual maupun kekuatan. Tidak jarang rakyat dalam hal ini akan terus menjadi korban bagi berbagai praktik politik. Dalam praktik politik sendiri, siapa yang berkepentingan membela rakyat akan ditumpas oleh kekuatan yang memanfaatkan keuntungan dari praktek-praktek politik yang menindas rakyat. Dalam hal ini para oligarki baik aparatur negara atau kaum kapitalis itu sendiri yang sebenarnya menidas dan memanfaatkan kebodohan dari rakyat.

Tetapi ketika daya upaya untuk membela dirinya sendiri pada rakyat ditekan, bahkan di represi untuk tumbuh seperti gerakan rakyat yang terjadi pada masa lampu silam, akan memunculkan madegnya kekuatan rakyat itu sendiri. Narasi inilah yang terjadi pada semesta politik Indonesia dimana rakyat dibuat untuk lemah dan bodoh secara intelektual. Tujuannya adalah mereka tetap mempertahankan "status quo" kedigdayaan dalam struktural kenegaraan.

"Selamanya, ketika tidak ada gerakan rakyat itu sendiri, selama itu pula, politik yang digunakan sebagai sarna membela rakyat menjadi sarana penindas atas nama memanfaatkan rakyat. Dalam sejarah politik dunia sekalipun, politik adalah suatu sarana yang menindas"

Ontologi Filosofis berpikir Rakyat

Untuk berpikir sebagai rakyat sendiri begitu rancu. Disamping menjadi kelainan dalam sejarah politik itu sendiri. Sebagai pemikir dari rakyat juga terus dibendung agar ruang geraknya semakin sempit oleh penguasa. Tetapi dengan berbagai fasilitas informasi untuk berpikir saat ini, memungkinkan bahwa, bukan tidak mungkin menciptakan rakyat pemikir itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun