Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tetap Menjadi Rakyat

11 April 2019   07:32 Diperbarui: 12 April 2019   14:38 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebuah keluarga kecil. (shutterstock.com)

Malam ini aku ingin berdayu-dayu, memandang dirimu dalam imajinasiku. Gemericik air dari kran menemaniku malam ini. Ember yang di isi air lalu ditungkan diterjen dengan sedikit kain. Semoga esok hari panas terik dan cucianku kering agar kainku dapat aku pakai esok hari.

Rasanya berharap pada kebaikan diri adalah hal yang lumrah terjadi. Aku merenung lagi, ada kalanya aku sangsi pada harapan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Terkadang lelah menunggu, lelah juga untuk dijalani. Pengahasilan yang mentok, tetapi hidup minimalis seperti ini tidak begitu penting tentang pendapatan yang besar.

Namun hasrat ini tidak pernah habis, aku masih terbuai dengan kristal lautan keglamoran yang diagungkan kehidupan. Mengapa, entah diriku sedang kenapa? Berkelana jauh mungkin yang ingin aku tuju.

Tetapi untuk apa segumpal emas jika itu hanya dijadikan bahan pendaman yang tidak akan dipakai? Yang berpikiran absrud malam ini, sungguh tidak ada yang bisa disangkal dari kuatnya keinginan tetapi minim esensi dan tindakan.

Masih dengan kecemasan yang sama, seakan boros bila harus merokok. Tetapi hasratku butuh untuk terlepas, bagaimana melepaskan itu? Dan aku masih terjebak dalam kesedirian semu. Air jeruk yang sedang aku minum, rasanya aku ingin melepaskan dengan sedikit asap rokok yang mengepul terbang ke langit. 

Akhrinya dadaku tidak lagi nyaman dengan asap rokok ini. Ah, mau bagaimana lagi, semoga esok dapat beristirahat lagi merokok, biar satu bungkus ini aku simpan dalam tas sampai ingin merokok lagi.

Setiap yang hidup pasti merasakan kesia-sian bahkan kenihilan. Pertanyaan untuk apa dan selalu untuk apa? Dalam kesia-sia-an kita menjalaninya. Apa bukan sia-sia uang yang dengan susah payah kita cari hanya untuk membeli rokok? Tetapi mengapa rokok begitu menggiurkan ketika itu yang kita inginkan dalam pikran.

Seperti memilih dalam pemilu saja, ingin memilih tetapi politik tetap berjalan seperti itu-itu juga. Dilema hidup hanya mengundang dilema, bersandar opini lagi, dan lagi-lagi opini. Bagiku setiap opini adalah bohong seperi tulisan-tulisan dengan berbagai kepentingannya.

[ilustrasi diambil dari hidstudio.blogspot.com]
[ilustrasi diambil dari hidstudio.blogspot.com]

Ada yang menulis untuk uang, mengusir kesuntukan dan bersuara melepaskan beban dalam pikirannya. Sembari mengetik lalu mendengar rintik air seperti meledek itu. Bagaimanakah ketika aku ingin keluar lagi menjadi orang yang bebas? Tanpa ada kepentingan, harapan dan tidak untuk dibenarkan.

Ini mungkin tidak akan terbagi, lelah dengan semua ini. Menjadi bintang ada kalanya ketinggian, menjadi tanah-pun tidak pantas untuk diriku. Sebenarnya aku ingin apa? Dan diriku untuk apa? Lantunan musik instrumental kini. Hari yang lelah untuk jiwa yang lelah pula. Bagimana dengan naskahku hari ini? Apa yang kau harapakan dari naskah yang kau tulis sepenggal-penggal itu? Dan akhirnya aku harus berharap, untuk menjadi benar dan berbagai kepentingan kapital. Semua hanya ada satu kata 'butuh dalam hidup'

Ya akulah si-materialis itu, lagi-lagi aku harus seperti dia, hidupku kecukupan, tetapi mentalku nol. Ada upaya ketidakpercayaan diri yang mengedap subur dalam rasa terdalam batin yang kosong. Dengan gaji yang kecil dapatkah aku menjadi menarik?

Setiap malam bertanya-tanya. Setidaknya dengan ini aku bisa mendulang rupiah dari karya ini. Akankah aku kembali dengan mental terbaikku? Seperti menunggu masa itu datang, harapanku hanya tertuju pada penghasilan yang lebih, "untuk menarik diriku pada mental terbaikku".

Aku bisa seperti mereka yang penghasilannya melebihi upah minimum regional. Dengan penghasilan lebih aku-pun dapat ber-gaya lebih baik khas milenial. Menjadi pertanyaan, apakah itu seperti jiwaku? Sederhana, masa bodo dan pemikir? Sepertinya aku harus menulis serius, dan apa yang harus aku tulis? Politik supaya viewnya bagus? Seperti tiada pengetahuan lain saja. Tahun politik semua "didungukan juga oleh aktor politik".

Apakah kau juga ingin aku dungukan malam ini? Lelah dan tidurlah para kancil-kancil politik kini. Hidupmu hanya menghebohkan hal-hal yang sebenarnya sampah pikiran yang terlalu serius. Sudahlah, lemaskan urat-uratmu, jangan hanya pilpres, kamu tetap menjadi kamu? Puas?

Tidak ubahnya politik akan membuat kita sama saja, kasarnya ya begini-begini aja. Gaji naik baru hidup kita berubah, toh kalau biaya kos naik, atau nasi telor di warteg naik? Sama lagi dan lagi-lagi sama.

Nasib-nasib, lagi-lagi rakyat tetap menghidupi dirinya sendiri. Apakah seorang presiden di jakarta tau kau sedang kesusuahan? Ya temenmu, tetanggamu yang tahu, makannya jangan kau musuhi untuk hanya perbedaan pilihan aktor politik yang sedang ekting.

Dengan celoteh tetangga sebelah? Bagaimana dengan ekonomi? Memang selama ini negara yang menggerakan ekonomi? Ekonomi bergerak karena modal, itu sudah sejak zaman adanya barter. Kamu punya apa dan dapat menghasilkan apa?

Selama itu, masih aman dalam peredaran produksinya, ekonomi akan aman. Kalau kau masih bisa menanam padi, bekerja dan dapat uang, lalu apa yang dikhawatirkan? Hanya pikiran semu tentang ekonomi. Ekonomi terganggu ketika kau tidak bisa kerja, itulah mengapa orang banyak yang benci terhadap demo yang belum tentu suaranya di dengar.

Hanya saja politik dapat mengubahmu jika pajak itu dihapus dalam ruang kehidupannmu bernegara. Kini apakah mungkin pajak itu dihapus? Merka akan makan apa yang selama ini menjadi benalu negara?

Mungkin ada salah satu partai politik menghapus pajak, aku yakin hanya namanya saja yang diganti, "sodakoh" itulah yang mungkin. Ya pajak negara sendiri adalah sodakoh yang dipaksa oleh negara atas rakyat. 

Ia memaksa berpenghasilan tinggi membayar pajak, miskin-pun dipajaki dan barang-barang konsumsi tetap dipajaki. Jadi dalam hal ini yang untung siapa? Kamu untung menjadi fanatik membela politikus? Coba dipikir lagi deh biar kamu lebih mirip filsuf beneran bukan kaleng-kaleng.

Dan mulailah bertanya lagi? Ketika engkau membela yang akan menjadi bagian negara dalam arti kekinian "Presiden". Apa yang akan kamu dapat? Tidak ubahnya ketika kau buta akan politikus sebagai penyelamat hidupmu, kau sedang terbuai janji surga ketika kau bangun tidur besok. Apakah mungkin ketika kau hanya tertidur pulas setiap hari tanpa kerja ingin mendapat uang?

Ah, aku jadi batuk-batuk lagi sisa rokok pengepul inspirasi ini. Mimpilah yang indah malam ini kau para penunggu pemilu hari rabu besok. Semoga harapanmu tidak memalsukan dirimu sebagai manusia.

Kau-pun sama halnya absrud seperti mereka yang sedang merias diri kini. Berjoged dengan salam berjari-jari, sampai orasi geprak podium, kerja-kerja-kerja tapi hanya untuk citra. "Politik hanya secuil narsis yang ingin berkuasa", kau lihat bagaimana baliho-baliho memenuhi jalan yang berlubang. Dipajang dengan bambu akhirnya jomplang dan sobek oleh angin dan kau menuduh lawan politik sewot. Kau sama saja, melihat realitas lapangan hanya dari foto para politikus saja.

Ketika masa kampanye tiba, kau dibayar dengan dalih membeli bensin dan mengganti uang makan. Sepertinya nasrisime baru abad 21 muncul sebagai politikus. Mengapa? Hanya ingin dilihat, dipilih dan semua serba keinginannya.

Lucunya mereka harus membayaranya, menurutmu itu bukan upaya narsis? Kamu baca tulisanku, aku-pun aslinya sedang narsis sama seperti politikus. Jika politikus berharap uang dan kuasa tetapi dengan mengeluarkan uang juga.

Aku tentu berbeda, berlagak ingin seperti sastrawan sukses, tetapi anehnya masih dalam kandang yang sama itulah aku. Terus bagaimana aku mendaptakan uang yang aku perlukan? Apa harus seperti para politikus kini yang jika terlahir sebagai miskin tidak sah menjadi politikus? Hmm, tanpa modal, aku hanya ingin meng-eksplorasi diriku dengan berlagak sebagai sastrawan.

Dan sastrawan seprti apakah aku ini? Menghela napas, sembari tersenyum, aku hanya ingin terus berpikir dan di tulis. Perkara politikus dengan berbagai kepentingannya, bodo amat, aku ingin bebas menjadi rakyat.

Terpenting aku tidak jatuh pada kedungguan mereka sendiri yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang buta akan kuasa. Menjadi bermusuhan dengan teman. Jika aku memilih untuk golput pada pemilu kali ini mau apa?

Duit banyak yang dikeluarakn untuk biaya pemilu, seberapa peduli? Yang menarik kini, dengan adanya pemilu, aku dapat libur panjang. Tetapi membuat kekhawatiran, apakah aku akhirnya tidak golput? Karena ketakutan, nantinya aku tidak bebas untuk menulis, jika politikus hebat bersandiwara berkuasa disana? Sadarlah aku, ini hanya acara Televisi yang dibentuk untuk hiburan semata.

Tetapi tunggu dulu, seberapa keras dalam realita jika dalam ber-ekting terlampau keras? Paling dihadapkan pada modal, menjadi mlepes, pada identitas yang membawa pada kemenangannya, setuju, dan apa yang diharapkan?

Jika natinya rezim tetap penjara dan memenjarakan dengan dalih undang-udang ITE, apakah ia mampu membendung manusia berpikir? Tentu politikus tangan besi akan dilawan juga oleh rakyat tangan besi pula. Tetapi siapapun yang menjadi, mau dengan latar belakang ideologi apa? Rakyat tetap menjadi rakyat.

Enaknya menjadi rakyat, jika krisis ekonomi ditanggung bersama, krisis politik tinggal lihat saja, kerusuhan terjadi diam saja, yang rusuh biarlah rusuh. Toh apa yang akan rakyat bela jika sudah rusuh? Tidal lebih, rakyat membela dirinya sendiri, agar tidak dijadikan alat politik yang merugikan diri rakyat itu sendiri. 

Bagi rakyat politik sama sekali tidak penting, harga kebutuhan naik dirasakan bersama, turun juga enteng bersama. Tidak membela dan tidak untuk dibela adalah prinsip dari rakyat.

Yang telah terjadi jika ada pembelaan politik hanya janji. Mengapa harus janji? Karena mereka butuh untuk dipilih. Kenapa memilih? Sebab ada pilihan, pertanyaannya mengapa membela? Dipikir sendiri mungkin karena cinta, se-sakit apa dan se-lelah apa tetap memperjuangkan!

Ya "dungu" jika hanya di hibur janji-janji percaya. Untuk itu, jadilah rakyat, hiduplah rakyat, jayalah rakyat, tanpa dan ada politik, rakyat tetap akan menjadi rakyat. Sampai kapanpun hidup dari keringat sendiri karena kita hanya rakyat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun