Namun apakah cukup kemapanan diasosiasikan sebagai yang rapi, berdasi dan kulit yang bersih? Mungkin dari berbagai pandangan kulit hitam yang terpanggang sinar matahari adalah seorang kuli yang jauh dari kemapanan itu sendiri.
Sepertinya zaman ini merupakan tonggak keganjilan baru dari suatu perspektif. Seakan penampilan yang menyehatkan mata dan patut sebagai ajang ketertarikan adalah mereka dengan ciri penampilan yang mencolok. Jika dasi adalah suatu bentuk ukuran berarti kemapanan milik siapa saja yang mampu membeli dasi dan baju kerah ala pekerja kantor.
Penampilan ala kantor nan rapi juga menjadi ilusi dimana untuk merekrut orang dalam perusahaan Multi Level Marketing membutuhan penampilan rapi tersebut. Tidak lain hanyalah untuk meyakinan bahwa mereka yang di bidik untuk direkrut dijamin untuk sukses. Tetapi dalam realitanya dengan sistem yang pelik cenderung menguntungkan posisi teratas manejemen itu sendiri. Sistem multi level marketing membuat tatanan posisi bawah MLM itu sebagai semut pekerja yang hanya dimanfaatkan berdasarkan sistem.Â
Tidak jarang mereka hanya dibohongi oleh penampilan ala kesuksesan muktahir. Propaganda dari manajemen diilustrasikan dengan kemewahan, dari penampilan bahkan mobil-mobil yang mereka pamerkan. Untuk itu ketika seminar pertemuan perusahaan MLM itu diwajibkan memakai dasi, pakaian rapi ala kantoran. Supaya asosiasi "sukses" melekat dari sumua kalangan yang mengikuti bisnis eceran tersebut.
Namun dalam realitasnya apakah mereka benar sesuai dengan penampilannya? Sukses? Bukankah kesuksesannya hanya sebatas salam dari para anggota yang diyakinkan bakal sukses? Padahal mungkin benar, lebel pakaian rapi adalah ciri kesuksesannya sendiri. Atau jangan-jangan persepsi dalam tanda kutip "sukses" masyarakat muktahir dilihat dari penampilan saja?
Tetapi bagaimana melihat kesuksesan dari penampilan itu dapat dipercaya sebagai kebenaran aslinya? Bukankah bagaimana MLM itu bekerja dengan segala atributnya dapat menjadi suatu patokan kebenaran bahwa kesuksesan penampilan hanyalah kulit yang dapat digonta-ganti sebagaimana ia mau? Dalam bekerjanya sendiri MLM sering menggunakan cara penipuan, rayuan bahkan pengharapan akan kesuksesan itu sendiri.Â
Tetapi inilah cara pandang keliru dari peradaban muktahir. Hanya didoktrin dengan penampilan, mereka lantas percaya tanpa bertanya lagi bagaimana kemapanan itu tercipta dari hanya menjul produk recehan? Ditambah regulasi yang harus merekrut anggota-anggota baru yang sejatinya hanya jualan omongan dengan trik jualan produk sebagai dasarnya. Terbukti produk dari MLM bukanlah produk masa yang digandrungi konsumen.Â
Untuk itu cara dapat dibeli konsumen prodak MLM adalah menggunakan Multi level Marketing itu sendiri. Rayuan dan bujukan menjadi pengusaha sukses dalam memasarkan produk tidak lain hanyalah dijadikan agen dengan dalih sebenarnya untuk pembelian prodak tersebut agar laku. Tidak mungkin jika memang prodak itu sukses dalam pasarannya, level marketing tidaklah mungkin ada. Â Karena sejatinya bagi para pengusaha level marketing hanya akan menjadi keuntungan krumunan yang tidak terpusat lagi.
Multi level marketing hanyalah dijadikan ilusi dengan berbagai doktrin dalam penampilannya. Tidak lebih keberhasilan dari MLM itu sendiri karna masyarakat yang salah kaprah dalam menginterpretasi kesuksesan juga kemapanan. Atas dasar inilah jualan ala Multi Level Marketing itu laku.Â
Sayangnya tetap, alih-alih sukses dengan menjadi anggota MLM malah justru rugi. Mengapa rugi? Karna mereka  menjual produk tetapi tetap keuntungan ada dipihak pertama yang menjual barang itu. Mereka hanya digunakan sebagai sales-sales lepas yang dapat dibayar murah. Bayaran mereka hanyalah nilai dari barang tersebut yang tidak seberapa.
Kemapanan Sesungguhnya Terstuktur
Jika suatu kemapanan seseorang dikaji lebih dalam, sebenarnya tidak ada suatu kemapanan yang instan. Mungkin ada berapa dalam cerita-cerita film "Orang Kaya Baru" misalnya. Namun jumlahnya tidak seberapa karna hanya manusia-manusia beruntung yang dapat mapan secara instan.Â
Mari kita hitung rata-rata upah kerja pada  perusahaan level bawah samapi level atas. Top manajemen seperti pengusaha tidak masuk dalam rata-rata penilaian ini, jelas Top manajemen dalam segi pengupahan diatas rata-rata pekerja milenials kebanyakan. Kita ambil contoh dari upah para pekerja kantor di Jakarta. Meskipun penampilan mentereng pakai jas, dasi dan rapi upah mereka hanya disandarkan pada Upah Minimum Regional. Kita sama-sama tahu upah UMR dapat fasilitas apa saja hidup di ibu kota?
Biaya kos, jika kos, biaya makan, biaya untuk gaya hidup dan masih banyak lagi. Apakah mungkin dengan kebutuhan sebegitu banyaknya potensi kemapanan juga kesuksesan pantas untuk melebeli mereka? Saya merasa penilaian tidaklah semudah dalam pengelihatan kita. Ungkapan sawang-sinawang dalam budaya jawa mungkin benar adanya. Siwang-sinawang adalah budaya yang hanya disandarkan pada pengelihatan bukan pada kenyataan dari apa yang dilihatnya.
Untuk itu kesukesan dan kemapanan ekonomi seseorang bukanlah dilihat dari bagaimana cara dia menampilkan dirinya. Seharusnya melebeli kemapanan dalam peradaban muktahir haruslah disandarkan pada struktural riwayat keluarga seseorang itu. Didalam peradaban pasca modern tidak mungkin ada kemapanan secara instan tanpa bantuan dari struktural. Upah pekerja muktahir dapat diukur, kebutuhan akan hidup sendiri-pun bisa terukur.
Menurut saya mereka yang mapan adalah mereka yang tetap mau bekerja dengan nilai warisan yang banyak dari keluarganya. Dimana sarana kemapanannya sendiri adalah warisan dari keluarganya yang sebelumnya sudah memastikan bahwa dia mapan.Â
Jadi sekali lagi, kemapanan adalah suatu keadaan struktural bukan keadaan instan. Maka dari itu tidak perlu gagap pada penampilan luar dengan asosiasi mapan. Mungkin mereka hanya ilustrator yang mengaku mapan jika riwayat dari keluarga mapan tidak membuktikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H