Jika suatu kemapanan seseorang dikaji lebih dalam, sebenarnya tidak ada suatu kemapanan yang instan. Mungkin ada berapa dalam cerita-cerita film "Orang Kaya Baru" misalnya. Namun jumlahnya tidak seberapa karna hanya manusia-manusia beruntung yang dapat mapan secara instan.Â
Mari kita hitung rata-rata upah kerja pada  perusahaan level bawah samapi level atas. Top manajemen seperti pengusaha tidak masuk dalam rata-rata penilaian ini, jelas Top manajemen dalam segi pengupahan diatas rata-rata pekerja milenials kebanyakan. Kita ambil contoh dari upah para pekerja kantor di Jakarta. Meskipun penampilan mentereng pakai jas, dasi dan rapi upah mereka hanya disandarkan pada Upah Minimum Regional. Kita sama-sama tahu upah UMR dapat fasilitas apa saja hidup di ibu kota?
Biaya kos, jika kos, biaya makan, biaya untuk gaya hidup dan masih banyak lagi. Apakah mungkin dengan kebutuhan sebegitu banyaknya potensi kemapanan juga kesuksesan pantas untuk melebeli mereka? Saya merasa penilaian tidaklah semudah dalam pengelihatan kita. Ungkapan sawang-sinawang dalam budaya jawa mungkin benar adanya. Siwang-sinawang adalah budaya yang hanya disandarkan pada pengelihatan bukan pada kenyataan dari apa yang dilihatnya.
Untuk itu kesukesan dan kemapanan ekonomi seseorang bukanlah dilihat dari bagaimana cara dia menampilkan dirinya. Seharusnya melebeli kemapanan dalam peradaban muktahir haruslah disandarkan pada struktural riwayat keluarga seseorang itu. Didalam peradaban pasca modern tidak mungkin ada kemapanan secara instan tanpa bantuan dari struktural. Upah pekerja muktahir dapat diukur, kebutuhan akan hidup sendiri-pun bisa terukur.
Menurut saya mereka yang mapan adalah mereka yang tetap mau bekerja dengan nilai warisan yang banyak dari keluarganya. Dimana sarana kemapanannya sendiri adalah warisan dari keluarganya yang sebelumnya sudah memastikan bahwa dia mapan.Â
Jadi sekali lagi, kemapanan adalah suatu keadaan struktural bukan keadaan instan. Maka dari itu tidak perlu gagap pada penampilan luar dengan asosiasi mapan. Mungkin mereka hanya ilustrator yang mengaku mapan jika riwayat dari keluarga mapan tidak membuktikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H